PENGERTIAN
PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA
Pengertian Konsumen Menurut UU Perlindungan
Konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga bagian, terdiri atas:
1. Konsumen dalam arti umum, yaitu
pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan
tertentu.
- Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang /jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha; dan
- Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
Sedangkan pengertian Konsumen Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, “Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk di perdagangkan.”
Konsumen ialah orang yang memakai barang atau jasa guna untuk memenuhi
keperluan dan kebutuhannya. Dalam ilmu ekonomi dapat dikelompokkan pada
golongan besar suatu rumah tangga yaitu golongan Rumah Tangga Konsumsi (RTK),
dan golongan Rumah Tangga Produksi (RTP).
- Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
- Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821.
- Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
- Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
- Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
- Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota.
- Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen.
Menurut
Undang- undang no.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen:
Pasal 1 butir 1,2 dan 3:
1. Perlindungan Konsumen adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen.
2. Konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan
3. Pelaku usaha adalah setiap orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun buka
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi.
UU Perlindungan Konsumen Pasal 3,
disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
- Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
- Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan / atau jasa;
- Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
- Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
- Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
- Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang, menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Prinsip- Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen
1. Let The Buyer Beware
Pelaku Usaha kedudukannya seimbang dengan konsumen
sehingga tidak perlu proteksi.
Konsumen diminta untuk berhati hati dan bertanggung
jawab sendiri.
Konsumen tidak mendapatkan akses informasi karena
pelaku usaha tidak terbuka.
Dalam UUPK Caveat Emptor berubah menjadi caveat
venditor.
2. The due Care Theory
Pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati hati
dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama berhati hati ia
tidak dapat dipersalahkan.
Pasal 1865 Kuhperdata secara tegas menyatakan,
barangsiapa yang mengendalikan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya
atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristirwa, maka ia
diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristirwa tersebut.
Kelemahan beban berat konsumen dalam membuktikan.
Prinsip ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai
kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika
diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak
dapat disalahkan atas hal hal diluar yang diperjanjikan.
Fenomena kontrak kontrak standar yang bantak beredar
di masyarakat merupakan petunjuk yang jelas betapa tidak berdayanya konsumen
menghadapi dominasi pelaku usaha.
Asas Perlindungan Konsumen
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada
lima asas perlindungan konsumen.
1. Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk
mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen
harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingan konsumen dan
pelaku usaha secara
keseluruhan.
2. Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh
rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya
secara adil.
3. Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan
konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik
pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
Hak-hak Konsumen
J.F Kennedy menentukan ada empat Hak Dasar konsumen,
adalah sebagai berikut:
a. Hak
memperoleh keamanan (the tight to safety);
b. Hak
memilih (the right to choose);
c. Hak
mendapat informasi (the right to be informed);
d. Hak untuk didengar (the right to be heard).
Adapun sesuai Hak konsumen sebagaimana tertuang
dalam Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK),
Hak-hak Konsumen adalah :
- Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
- Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
- Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
- Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
- Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
- Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
- Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
- Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
- Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
- Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
- Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
- Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
- Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Hak dan Kewajiban
Produsen Terhadap Konsumen
Produsen ialah orang yang menghasilkan barang atau jasa untuk
keperluan konsumen. Barang atau jasa yang dihasilkan produsen disebut produksi,
sedangkan yang memakai barang dan jasa disebut konsumen. Dalam ilmu ekonomi
dapat dikelompokkan pada golongan besar suatu rumah tangga yaitu golongan Rumah
Tangga Konsumsi (RTK), dan golongan Rumah Tangga Produksi (RTP).
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki
hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK
adalah:
- Hak menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
- Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
- Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
- Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
- Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban produsen
- Beritikad baik dalam kegiatan usahanya;
- Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan;
- penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ;
- Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu dan/atau jasa yang berlaku;
- Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan ;
- Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
- Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian bila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan
dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik
dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah
kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban
konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan
dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa
pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan
kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha
yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
Perbuatan yang dilarang dilakukan oleh seorang pelaku usaha
Pelaku usaha dilarang menawarkan jasa yang tidak
memenuhi atau tidak sesuai standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan, tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan keterangan, iklan
atau promosi atas penawaran jasa tersebut. Tidak membuat perjanjian atas
pengikatan jasa tersebut dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. (pasal 8).
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan suatu barang dan atau jasa secara tidak benar, dan atau
seolah-olah secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan atau
jasa lain (pasal 9).
Pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau
menyesatkan mengenai (Pasal 10)
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau
mengiklankan suatu barang dan atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian
hadiah berupa barang dan atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak
memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya (pasal 13).
Pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara
undian, dilarang untuk:
a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas
waktu yang dijanjikan;
b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang
dijanjikan;
d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai
hadiah yang dijanjikan. (pasal 14)
Tanggung Jawab Produsen terhadap Konsumen Pasal 19
- Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
- Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
- Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila
pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan
konsumen
Sengketa tidak lepas dari suatu konflik. Dimana ada
sengketa pasti disitu ada konflik. Begitu banya konflik dalam kehidupan
sehari-hari. Entah konflik kecil ringan bahkan konflik yang besar dan berat.
Hal ini dialami oleh semua kalangan. Karena hidup ini tidak lepas dari
permasalahan.
Sengketa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan
antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu
objek permasalahan. Sedangkan menurut Ali Achmad sengketa adalah pertentangan
antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang
suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi
keduanya.
Sedangkan pengertian Konsumen Menurut pengertian Pasal
1 angka 2 UU PK, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain.dan.tidak.untuk.diperdagangkan.”
Pengertian Konsumen menurut
Philip Kotler (2000) dalam bukunya Prinsiples Of Marketing adalah semua
individu dan rumah tangga yang membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk
dikonsumsi pribadi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen tidak memberikan batasan apakah yang dimaksud dengan sengketa
konsumen. Definisi ”sengketa konsumen” dijumpai pada Peraturan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan yaitu Surat Keputusan Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001
tanggal 10 Desember 2001, dimana yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah:
“sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang
menutut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau yang menderita kerugian
akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa.”
Jadi, sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen
yang menutut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau yang menderita
kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasad.
Melalui pasal 45 ayat (1) ini dapat
diketahui bahwa untuk menyelesaikan sengketa konsumen , terdapat dua pilihan
yaitu :
- Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha, atau;
- Melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
- Alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara berikut :
- Konsultasi
- Negosiasi
- Mediasi
- Konsialisasi
- Penilaian ahli
SANKSI-SANKSI
A. Sanksi Perdata
Ganti rugi dalam bentuk :
- Pengembalian uang
- Penggantian barang
- Perawatsan keehatan, dan/atau
- Pemberian santunan
- Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi.
Maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta
rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
- Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
- Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
- Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
- Hukuman tambahan , antara lain :
- Pengumuman keputusan Hakim
- Pencabuttan izin usaha;
- Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
- Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
- Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
BAB III
ANALISIS KASUS HUKUM PERLINDUNGAN
KONSUMEN
Perlindungan Konsumen di Bidang Pangan
Contoh kasus pelanggaran UU Perlindungan konsumen di bidang pangan. Kasus
di bidang pangan ini adalah kasus yang paling mengkhawatirkan masyarakat. Kasus
tersebut adalah kasus – kasus tentang masalah penyalahgunaan zat-zat berbahaya
pada produk pangan ataupun bahan yang diperbolehkan untuk digunakan tetapi
penggunaannya oleh sang pelaku usaha dalam produk pangan melebihi batas yang
telah ditentukan. Zat-zat yang berbahaya diantaranya formalin, boraks, rhodamin
– B, Metanil Yellow dan lain sebagainya. Jika zat-zat ini masuk ke dalam tubuh
konsumen, maka akan menimbulkan efek
yang berbahaya bagi tubuh dalam jangka panjang karena zat-zat tersebut telah
terakumulasi dalam tubuh.
Demi menekan ongkos produksi, para pelaku usaha tega mencampurkan zat-zat
berbahaya ke dalam produk yang mereka jual agar produknya bisa tahan lama.
Misalnya saja produsen yang menggunakan boraks atau formalin ke dalam produk
makanan yang dijualnya agar produk tersebut lebih tahan lama. Kalau produk
mereka tahan lama, bisa dijual lagi keesokan harinya, sehingga ongkos produksi
juga bisa ditekan.
Konsumen yang telah membayar sejumlah uang untuk mendapatkan produk yang dijual
oleh pelaku usaha tersebut malah dicurangi. Konsumen tidak mendapatkan kualitas
produk yang sesuai dengan yang diinginkannya. Tetapi justru membahayakan
kesehatan mereka di kemudian hari. Kasus seperti ini jelas telah melanggar UU
Perlindungan konsumen. Di dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 4 point ke 3
disebutkan salah satu hak konsumen yaitu “hak atas informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”.
Kasus tersebut jelas sudah bertentangan dengan bunyi pasal tersebut tentang hak
konsumen. Hak konsumen telah diabaikan. Konsumen tidak mendapatkan informasi
yang jujur dari pelaku usaha mengenai produk yang mereka jual. Para pelaku
usaha seolah tidak jera dan tetap melakukan hal itu lagi. Bahkan seperti tidak
ada tindakan yang tegas dari pemerintah untuk menghadapi para pelaku usaha yang
demikian.
Dalam kasus ini tidak hanya para pelaku usaha yang salah. Namun konsumen juga
harus lebih teliti lagi dalam membeli suatu barang. Konsumen harus lebih
mengamati produk yang dibelinya. Jangan sampai tertipu. Dalam membeli suatu
barang, konsumen juga harus memperhatikan tanggal kadaluarsa dari produk
tersebut. Jangan sampai membeli produk yang telah kadaluarsa. Namun, sang
pelaku usaha juga harus selalu mengontrol produk yang mereka jual, jangan
sampai ada produk yang telah kadaluarsa tetapi masih saja dijual. Jadi, dalam
hal ini dibutuhkan peran dari kedua belah pihak.
Untuk mengatasi kasus pelanggaran UU Perlindungan Konsumen dalam bidang
pangan tersebut sebaiknya pemerintah sebagai badan yang melakukan pengawasan
terhadap penyebaran dan pemasaran barang – barang yang telah beredar di
masyarakat luas, selalu melakukan pengawasan – pengawasan terhadap para pelaku
usaha maupun para distributor yang menyediakan barang. Selain itu, diperlukan
juga sosialisasi kepada masyarakat secara terus-menerus. Salah satu media yang
diperlukan adalah iklan layanan masyarakat yang mengajak atau mendorong
konsumen untuk lebih bijak dalam menentukan pilihan, artinya konsumen harus
memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang barang dan ketentuannya.
Analisis Hukum
Berdasarkan kasus dan teori diatas masih banyak pelaku
usaha yang tidak menjalankan kewajibannya dan masih banyak konsumen yang merasa
dirugikan akibat oknum-oknum pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.
Jika dilihat menurut Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, kasus pelaku usaha dibidang pangan tersebut menyalahi ketentuan.
Berikut adalah beberapa pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang
dilangar oleh pelaku usaha dalam bidang pangan:
1.Pasal 4, hak konsumen adalah :
- Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”
- Disini pelaku usaha bidang pangan melanggar hak konsumen tersebut. Ini terbukti Berdasarkan penyebab terjadi KLB (per-23 Agustus 2006) 37 kasus tidak jelas asalnya, 11 kasus disebabkan mikroba dan 8 kasus tidak ada sample. Pada tahun 2005 KLB yang tidak jelas asalnya (berasal dari umum) sebanyak 95 kasus, tidak ada sample 45 kasus dan akibat mikroba 30 kasus. Hasil kajian dan analisa BPKN juga masih menemukan adanya penggunaan bahan terlarang dalam produk makanan Ditemukan penggunaan bahan-bahan terlarang seperti bahan pengawet, pewarna, pemanis dan lainnya yang bukan untuk pangan (seperti rhodamin B dan methanil yellow).
- Ayat 3 : “Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.”
- Para pelaku usaha bidang pangan terutama pada makanan cepat saji seperti bakso, mie ayam dan lainnya para pelaku usaha tidak jarang mencantumkan komposisi makanannya bahkan mencampur adukan boraks pada sajiannya, hal ini mempersulit konsumen dalam mengetahui informasi komposisi bahan makanannya.
2. Pasal 7, kewajiban
pelaku usaha adalah :
- Ayat 2 : “Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.”
- Pelaku usaha bidang pangan tidak pernah memberitahu kondisi serta penjelasan komposisi makanan apa yang terkandung didalamnya. Terkadang juga pelaku usaha tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa pada makanan kemasan dan kaleng.
3. Pasal 19
- Ayat 1 : “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.”
- Ayat 2 : “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
- Ayat 3 : “Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.”
Hukuman Bagi Para Oknum Penyalahgunaan Zat Berbahaya dalam Produk Pangan di
Indonesia
Hukuman bagi pelaku usahapun masih terlalu ringan, misalnya yang terbukti bersalah hanya divonis penjara 3-6 bulan sedangkan dendanya hanya Rp. 200.000, Dasar hukum yang dipakai oleh hakim dan jaksa hanya KUHP atau peraturan daerah. Sedangkan dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 pelanggaran terhadap kesehatan konsumen dapat dikenakan hukuman maksimal 5 tahun berikut denda hingga Rp 2 milyar.
Hukuman bagi pelaku usahapun masih terlalu ringan, misalnya yang terbukti bersalah hanya divonis penjara 3-6 bulan sedangkan dendanya hanya Rp. 200.000, Dasar hukum yang dipakai oleh hakim dan jaksa hanya KUHP atau peraturan daerah. Sedangkan dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 pelanggaran terhadap kesehatan konsumen dapat dikenakan hukuman maksimal 5 tahun berikut denda hingga Rp 2 milyar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar