KUH Perdata dalam
Perjanjian Pengangkutan
Asas perjanjian
pengangkutan
Ada empat asas pokok yang mendasari perjanjian pengangkutan:
1.
Asas Konsensual
Asas ini tidak mensyaratkan bentuk perjanjian angkutan
secara tertulis, sudah cukup apabila ada persetujuan kehendak antara
pihak-pihak. Dalam kenyataannya, hampir semua perjanjian pengangkutan darat,
laut, dan udara dibuat secara tidak tertulis, tetapi selalu didukung dokumen
pengangkutan. Dokumen pengangkutan bukan perjanjian tertulis melainkan sebagai
bukti bahwa persetujuan diantara pihakpihak itu ada.
Perjanjian pengangkutan tidak dibuat tertulis karena
kewajiban dan hak pihak-pihak telah ditentukan dalam Undang Undang. Mereka
hanya menunjuk atau menerapkan ketentuan Undang-Undang.
2.
Asas Koordinasi
Asas ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara
pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan walaupun perjanjian pengangkutan
pada perjanjian perburuan tidak berlaku pada perjanjian
pengangkutan.
3.
Asas Campuran
Perjanjian pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis
perjanjian, yaitu pemberian kuasa dari pengirim kepada pengangkut, penyimpan
barang dari pengirim kepada pengangkut, dan melakukan pekerjaan pengangkutan
yang diberikan oleh pengirim kepada pengangkut dan jiika dalam perjanjian pengangkutan
tidak diatur lain, maka diantara ketentuan ketiga jenis perjanjian itu dapat
diberlakukan karena hal ini ada hubungannya dengan asas konsensual.
4.
Asas Tidak Ada Hak Retensi
Penggunaan hak retensi bertentangan dengan fungsi dan tujuan
pengangkutan. Penggunaan hak retensi akan menyulitkan pengangkut sendiri,
misalnya penyediaan tempat penyimpanan, biaya penyimpanan, penjagaan dan
perawatan barang.
Tujuan perjanjian
pengangkutan
Perjanjian pengangkutan mempunyai tujuan untuk melindungi
hak dari penumpang yang kurang terpenuhi oleh ulah para pelaku usaha angkutan
umum karena dengan adanya perjanjian pengangkutan maka memberikan jaminan
kepastian hukum bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Kitab Undang Undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (3) telah
memberikan suatu asas keadilan yaitu asas pelaksanaan perjanjian secara itikad
baik jaminan keadilan itu juga di pedomani pada Pasal 1337 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata bahwa suatu perjanjian akan dapat dibatal kan jika bertentangan
dengan Undang Undang Kesusilaan yang baik dan atau ketertiban umum.
Perjanjian pengangkutan dibuat agar maka para pelaku usaha
angkutan umum harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi sewaktuwaktu
terhadap penumpang karena menyangkut penumpang melebihi kapasitas.
Undang Undang Lal u Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 192 ayat
(1) ka pelaku usaha angkutan umum merugikan penumpang maka pelaku usaha
angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita seperti meninggal
dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu
kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan
penumpang.
Sifat Perjanjian
Pengangkutan
Pengangkutan barang dan atau orang itu merupakan suatu
pekerjaan tertentu yang harus dilaksanakan oleh pengangkut dan atas
terselenggarakannya pengangkutan oleh karena itu pengangkut berhak atas
pembayaran upah.
Perjanjian pengangkutan pada umumnya dalam hubungan hukum
antara pengangkut dengan pemakai jasa pengangkutan berkedudukan sama tinggi dan
sama rendah, atau bersifat sederajat. Hal ini tidak seperti dalam perjanjian
perburuhan di mana dua belah pihak tidak sama tinggi yaitu majikan mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dari pada buruh (Utari 1994 : 9). Mengenai sifat
hukum perjanjian pengangkutan terdapat beberapa pendapat, yaitu :
1. Pelayanan berkala artinya hubungan
kerja antara pengirim dan pengangkut tidak bersifat tetap, hanya kadang kala
saja bila pengirim membutuhkan pengangkutan atau tidak terus menerus,
berdasarkan atas ketentuan Pasal 1601 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
2. Pemborongan sifat hukum perjanjian
pengangkutan bukan pelayanan berkala tetapi pemborongan sebagaimana dimaksud
Pasal 1601 b Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Pendapat ini didasarkan atas
ketentuan Pasal 1617 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Pasal penutup dari bab
VII A tentang pekerjaan pemborongan).
3. Campuran perjanjian pengangkutan
merupakan perjanjian campuran yakni perjanjian melakukan pekerjaan (pelayanan
berkala) dan perjanjian penyimpanan (bewaargeving). Unsur pelayanan berkala
(Pasal 1601 b Kitab Undang Undang Hukum Perdata) dan unsur penyimpanan (Pasal
468 ( 1 ) Kitab Undang Undang Hukum Dagang).
Perjanjian pengangkutan mempunyai sifat adalah perjanjian
timbal balik yang artinya masing-masing pihak mempunyai kewajiban
sendiri-sendiri dimana pihak pengangkut berkewajiban untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu
dengan selamat, sedangkan pengiriman berkewajiban untuk membayar uang angkutan.
Sah Perjanjian
Pengangkutan
Perjanjian pengangkutan dalam pengangkutan barang maupun
penumpang antara pengangkut dengan pemakai jasa pengangkutan dapat disebutkan
empat syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum
Perdata, yaitu :
1. Adanya kesepakatan antara para pihak.
2. Adanya kecakapan unutk membuat sebuah perjanjian.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat yang pertama dan kedua adalah syarat yang menyangkut
subyeknya, sehingga disebut syarat subyektif, yaitu syarat yang harus dipenuhi
oleh subyek perjanjian (sepakat dan cakap) seperti disebutkan dalam Pasal 1330
Kitab Undang Undang Hukum Perdata, tak cakap untuk membuat suatu perjanjian
adalah orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.
Undang Undang telah melarang membuat perjanjian terhadap dua
syarat terakhir mengenai obyeknya atau syarat obyektif, yaitu syarat yang harus
dipenuhi oleh subyek perjanjian (hal tertentu dan sebab yang halal) sesuai
dengan Pasal 1332 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyebutkan hanya
barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu
perjanjian.
Kitab Undang Undang Hukum Perdata Menurut Pasal 1338 ayat
(1) menjelaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
Undang Undang bagi mereka yang membuatnya.
Perjanjian tidak dapat ditarik kembali, selain dengan
sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang Undang
dinyatakan cukup untuk itu dan suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik.
Perjanjian kedua belah pihak adalah sah dan para pihak wajib
melaksanakan hak dan kewajibannya, apabila syarat sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata terpenuhi dan apabila persyaratan
sebagaimana disebutkan angka 1 dan 2 tidak dapat dipenuhi oleh penumpang, maka
perjanjian dapat dibatalkan dan apabila tidak terpenuhinya syarat angka 3 dan 4
maka perjanjian batal demi hukum.
Pihak dalam perjanjian yang mana salah satunya melakukan
wanprestasi (melalaikan kewajiban) maka pihak lain yang dalam hal ini adalah
pihak yang merasa dirugikan berhak mengajukan gugatan pembatalan perjanjian
atas kelalaian pihak yang melalaikan kewajibannya.
Menurut sistem hukum yang berlaku di indonesia dewasa ini,
untuk mengadakan perjanjian pengangkutan barang-barang atau penumpang tidak
disyaratkan harus secara tertulis, sesuai dengan empat syarat yang disebutkan
diatas. Jadi, cukup diwujudkan dengan persetujuan kehendak secara lisan saja
maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian pengangkutan itu bersifat konsensual
(Utari 1994:12-13).
Asas-Asas Hukum
Perjanjian Pengangkutan
Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Perdata
menyebutkan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang
Undang bagi mereka yang membuatnya, sehingga dengan asas itu hukum perjanjian
menganut sistem terbuka, yang memberi kesempatan bagi semua pihak untuk membuat
suatu perjanjian ketentuan di atas memberikan jaminan kepastian hukum bagi
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Kitab Undang Undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (3) telah
memberikan suatu asas keadilan yaitu asas pelaksanaan perjanjian secara itikad
baik jaminan keadilan itu juga dipedomani pada Pasal 1337 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata bahwa suatu perjanjian akan dapat dibatalkan jika bertentangan
dengan Undang Undang Kesusilaan yang baik dan atau ketertiban umum.
Asas-asas hukum perjanjian meliputi :
1.
Asas kebebasan berkontrak
Setiap orang bebas menentukan isi dan syarat yang digunakan
dalam suatu perjanjian yang diambil untuk mengadakan atau tidak mengadakan
suatu perjanjian (Pasal 1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata).
2.
Asas konsesualisme
Dengan adanya konsesual isme Kontrak dikatakan telah lahir
jika telah ada kata sepakat atau persesuaian kehendak diantara para pihak yang
membuat.
3.
Asas pacta sunt servanda
Keseimbangan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak
seimbang, maka asas kepastian hukum ini dapat dicapai semua perjanjian yang
dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang Undang bagi mereka yang membuatnya
(Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Perdata) dan pihak ketiga wajib
menghormati perjanjian yang dibuat oleh para pihak artinya tidak boleh
mencampuri isi perjanjian.
4.
Asas kepribadian
Pada umumnya
tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkan
suatu janji dari pada untuk dirinya (Pasal 1315 Kitab Undang Undang Hukum
Perdata) bila dibuat maka pihak ketiga tidak rugi dan mendapat manfaat
karenanya. Pada dasarnya seseorang dapat minta ditetapkan dirinya sendiri
kecuali Pasal 1317 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yaitu janji untuk pihak
ke-3 (ketiga).