Rabu, 24 Februari 2016

UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan




PDF UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan




Mengenali UU Nomor 22 Tahun 2009

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 26 Mei 2009 yang kemudian disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 22 Juni 2009. Undang-Undang ini adalah kelanjutan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992, terlihat bahwa kelanjutannya adalah merupakan pengembangan yang signifikan dilihat dari jumlah clausul yang diaturnya, yakni yang tadinya 16 bab dan 74 pasal, menjadi 22 bab dan 326 pasal.
Jika kita melihat UU sebelumnya yakni UU Nomor 14 Tahun 1992 menyebutkan Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, transportasi memiliki posisi yang penting dan strategis dalam pembangunan bangsa yang berwawasan lingkungan dan hal ini harus tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh sektor dan wilayah. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara.
Berbeda dengan undang-undang Nomor 22 Tahun 2009, UU ini melihat bahwa lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari
upaya memajukan kesejahteraan umum. Selanjutnya di dalam batang tubuh di jelaskan bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh Undang-Undang ini adalah :
  1. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;
  2. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan
  3. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
aman, selamat, tertib, dan lancar melalui:
  1. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di Jalan;
  2. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
  3. kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Mencermati lebih dalam dari semangat yang telah disebutkan di atas, maka kita harus lebih dalam lagi melihat isi dari Pasal-Pasal yang ada di UU Nomor 22 Tahun 2009. Dari sini kita akan tahu apakah semangat tersebut seirama dengan isi dari pengaturan-pengaturannya, atau justru berbeda. Selanjutkan kita dapat melihat bagaimana UU ini akan berjalan dimasyarakat serta bagaimana pemerintah sebagai penyelenggara negara dapat mengawasi serta melakuakn penegakannya

Perbandingan Pengaturan
UU Nomor 14 Tahun 1992
UU Nomor 22 Tahun 2009
Bab I Ketentuan UmumBab I Ketentuan Umum
Bab II Asas dan TujuanBab II Asas dan Tujuan
Bab III PembinaanBab III Ruang Lingkup Keberlakuan Undang-Undang
Bab IV PrasaranaBab IV Pembinaan
Bab V KendaraanBab V Penyelenggaraan
Bab VI PengemudiBab VI Jaringan Lalu Lintas danAngkutan Jalan
Bab VII Lalu LintasBab VII Kendaraan
Bab VIII AngkutanBab VIII Pengemudi
Bab IX Lalu Lintas dan AngkutanBab IX Lalu Lintas bagi Penderita Cacat
Bab X Dampak LingkunganBab X Angkutan
Bab XI Penyerahan UrusanBab XI Keamanan danKeselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Bab XII PenyidikanBab XII Dampak Lingkungan
Bab XIII Ketentuan PidanaBab XIII Pengembangan Industri dan Teknologi Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Bab XIV Ketentuan Lain-LainBab XIV Kecelakaan Lalu Lintas
Bab XV Ketentuan PeralihanBab XV Perlakuan Khusus bagi Penyandang Cacat, Manusia Usia Lanjut, Anak-Anak, Wanita Hamil, dan Orang Sakit
Bab XVI Ketentuan PenutupBab XVI Sistem Informasi danKomunikasi Lalu Lintas danAngkutan Jalan

Bab XVII Sumber Daya Manusia

Bab XVIII Peran Serta Masyarakat

Bab XIX Penyidikan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Bab XX Ketentuan Pidana

Bab XXI Ketentuan Peralihan

Bab XXII Ketentuan Penutup

Dari sekian banyak ketentuan yang ada, beberapa pasal yang mendapatkan respon beragam dan menjadi perdebatan di masyarakat, beberapa pasal tersebut adalah :
Ketentuan
Isi
Catatan
107 ayat (2)Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hariJika alasannya adalah untuk keselamatan, maka harus diyakinkan hubungan langsung lampu dengan keselamatan pengendara. Selain itu dukungan data-data mengenai penyebab kecelakaan di jalan raya
112 ayat (3)Pada persimpangan Jalan yang dilengkapi Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Pengemudi Kendaraan dilarang langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain oleh Rambu Lalu Lintas atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.Seberapa banyan sarana yang teah disediakan
273 ayat (1)Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).Kementerian PU mempermasalahkan pasalpemidanaan penyelenggara jalan yang memang secara hukum tidak berdasarkan konsep yang kuat. Fungsi pemerintahan, termasuk penyelenggaraan jalan, pada prinsipnya adalah pelaksanaan undangundang.Wajarkah aturan perundangan yang memidanakan pelaksana undang-undang?
Bab XIIIpengembangan industri dan teknologi sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalanHal ini cukup menarik untuk digarisbawahi, karena tidak cukup jelas mengapa harus adapengaturan tersendiri dalam UU Lalu Lintas dan Jalan Raya menyangkut sektor industri dan pengembangan teknologi.
302Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang yang tidak berhenti selain di tempat yang telah ditentukan, mengetem, menurunkan penumpang selain di tempat pemberhentian, atau melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam izin trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).Seberapa banyak sarana halte yang disediakan pada satu trayek angkutan umum. Kita bisa bercermin pada wilayah-wilayah di daerah khususnya di luar Pulau Jawa
310Terkait dengan kelalaian pengemudi hingga mengakibatkan korban jiwaSudah diatur dalam Pasal 359 KUHP

Banyak Pekerjaan Rumah
Untuk melihat UU ini bisa dilaksanakan atau tidak, kita bisa menggunakan satu indikator yakni mengenai sejelas apakah ketentuan-ketentuan yang mengatur, hal ini bisa dilihat seberapa banyak pasal yang harus diterjemahkan lagi dalam peraturan pelaksana dan teknis. Jika diinventaris, maka dapat ditemukan ada 58 peraturan pelaksana dan teknis yang dapat menunjang berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2009 ini. Peraturan tersebut beraneka macam, mulai dari Peraturan Desa, Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, peraturan Presiden hingga pada Peraturan Pemerintah. Lebih lengkapnya dapat di lihat pada tabel dibawah

No.
Pasal
Bentuk
Tentang
1
13 ayat (5)Peraturan Pemerintahforum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
2
18Peraturan Pemerintahpenyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan.
3
19 ayat (5)Peraturan Pemerintahmengenai jalan kelas khusus
4
20 ayat (3)Peraturan Pemerintahpengelompokan kelas jalan dan tata cara penetapan kelas jalan
5
21 ayat (5)Peraturan Pemerintahbatas kecepatan
6
25 ayat (2)Peraturan Pemerintahperlengkapan Jalan
7
27 ayat (2)Peraturan Daerahpemasangan perlengkapan Jalanpada jalan lingkungan tertentu diatur
8
32Peraturan Presidenorganisasi dan tata kerja unit pengelolaDana Preservasi Jalan
9
39 ayat (3)Peraturan DaerahLingkungan kerja Terminal
10
42Peraturan Pemerintahfungsi, klasifikasi, tipe, penetapan lokasi, fasilitas, lingkungan kerja, pembangunan, dan pengoperasian Terminal
11
43 ayat (4)Peraturan PemerintahPengguna Jasa fasilitas Parkir, perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum
12
46 ayat (2)Peraturan Pemerintahpembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, serta spesifikasi teknis fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
13
48 ayat (4)Peraturan Pemerintahpersyaratan teknis dan laik jalan
14
50 ayat (4)Peraturan PemerintahUji tipe kendaraan bermotor
15
51 ayat (6)Peraturan Pemerintahmodifikasi dan uji tipe kendaraan bermotor
16
56Peraturan Pemerintahuji berkala
17
57 ayat (4)Peraturan PemerintahPerlengkapan Kendaraan Bermotor
18
59 ayat (6)Peraturan Pemerintahpersyaratan, prosedur, dan tata cara pemasangan lampu isyarat dan sirene
19
59 ayat (7)peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesiatata cara penggunaan lampu isyarat dan sirene
20
60 ayat (6)Peraturan Pemerintahpersyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum
21
61 ayat (4)Peraturan PemerintahPersyaratan keselamatan
22
63 ayat (2) dan (3)Peraturan Daerahjenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor
23
64 ayat (6)Peraturan KepalaKepolisian Negara Republik IndonesiaRegistrasi kendaraan bermotor
24
67 ayat (4)Peraturan Presidenpersyaratan dan prosedur serta pelaksanaan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap
25
68 ayat (6)Peraturan KepalaKepolisian Negara Republik IndonesiaSurat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor
26
69 ayat (3)Peraturan KepalaKepolisian Negara Republik Indonesiapersyaratan dan tata cara pemberian dan penggunaan Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor KendaraanBermotor
27
72 ayat (1)Peraturan Panglima TentaraNasional IndonesiaRegistrasi Kendaraan Bermotor Tentara NasionalIndonesia
28
76 ayat (5), 92 ayat (3)Peraturan Pemerintahkriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif
29
88Peraturan KepalaKepolisian Negara Republik Indonesiatata cara, persyaratan, pengujian, dan penerbitan Surat Izin Mengemudi
30
89 ayat (3)Peraturan KepalaKepolisian Negara Republik Indonesiapemberian tanda atau data pelanggaran
31
91 ayat (2)Peraturan KepalaKepolisian Negara Republik Indonesiatata cara dan prosedurpengenaan sanksi administratif bagi anggota kepolisian
32
95 ayat (1)Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan DesaPenetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas
33
101Peraturan Pemerintahpelaksanaan analisis dampak Lalu Lintas
34
102 ayat (3)Peraturan Pemerintahkekuatan hukum Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan
35
103 ayat (4)Peraturan MenteriRambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan/atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas
36
130Peraturan KepalaKepolisian Negara Republik Indonesiapenggunaan Jalan selain untuk kegiatan Lalu Lintas
37
133 ayat (5)Peraturan PemerintahManajemen kebutuhan Lalu Lintas
38
137 ayat (5)Peraturan Pemerintahmobil barang yang digunakan untuk angkutan orang
39
141ayat (3)Peraturan MenteriStandar pelayanan minimal angkutan umum
40
164Peraturan Menteriangkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum
41
165 ayat (4)Peraturan Pemerintahangkutan multimoda, persyaratan, dan tata cara memperoleh izin
42
172Peraturan Pemerintahpengawasan muatan angkutan barang
43
178Peraturan Pemerintahizin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek
44
182 ayat (4)Peraturan Menteritarif penumpang
45
185 ayat (2)Peraturan PemerintahSubsidi angkutan Penumpang umum
46
192 ayat (5)Peraturan PemerintahGanti kerugian yang diderita penumpang akibat penyelenggaraan angkutan umum
47
198 ayat (3)Peraturan Pemerintahstandar pelayanan dan persaingan yang sehat penyelenggaraan angkutan umum
48
202Peraturan KepalaKepolisian Negara Republik Indonesiapenetapan program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
49
205Peraturan Pemerintahpenetapan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta dankewajiban Perusahaan Angkutan Umum membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan serta persyaratan alat pemberi informasi Kecelakaan Lalu Lintas
50
207Peraturan Pemerintahpengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
51
209 ayat (2)Peraturan Pemerintahpencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
52
210 ayat (2)Peraturan Pemerintahtata cara, persyaratan, dan prosedur penanganan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan yang diakibatkan oleh KendaraanBermotor
53
218 ayat (2)Peraturan Pemerintahtata cara dan kriteria pengenaan sanksi administratif
54
225Peraturan Pemerintahpengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
55
228Peraturan KepalaKepolisian Negara Republik Indonesiatata cara penanganan Kecelakaan Lalu Lintas
56
242 ayat (3Peraturan Pemerintahpemberian perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit
57
252Peraturan PemerintahSistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
58
255Peraturan Pemerintahpengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 320 : Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

Akan Tertatih-tatih pelaksanaannya
Norma-norma peraturan tanpa adanya sarana pendukung seperti struktur keorganisasian yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan pastinya akan berjalan tidak efektif dan efisien. Selain itu, budaya dalam melakukan dan melaksanakan norma-norma peraturan juga harus dinilai, apakah memang sudah tepat masyarakat dapat melaksanakan. Hal ini berkaitan dengan bagaimana nantinya UU Nomor 22 Tahun 2009 diimplementasikan. Melihat hal ini makan kita dapat menggunakan pendekatan substansi, sutruktural, dan kultural.
Secara substansi, UU Nomor 22 Tahun 2009 masih dapat diperdebatkan. Mulai dari banyaknya amanat untuk membuat aturan pelaksana dan teknis; nilai keefektifan dari penegakan hukum berupa sanksi administrasi, perdata hingga pada pidana; pengaturan mengenai hak dan kewajiban dari penyelenggara negara dan masyarakat, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan ini adalah untuk lebih mendalami apakah peraturan ini dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Selain itu, apakah norma peraturan tersebut memang lahir dari masyarakat, hal ini guna menjawab kebutuhan siapa yang memang hars dipenuhi. Dengan memperhatikan ini, maka kita dapat melihat apakah suatu peraturan ini akan efektik dan efisien jika dilaksanakan.
Secara struktur, UU Nomor 22 Tahun 2009 telah menjelaskan mengenai pihak yang terkait. Jika kita cermati maka kita dapat melihatnya sebagai berikut :
  1. Pembinaan menjadi tanggung jawab negara. Pembinaan mencakup perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.
  2. Urusan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan;
  3. Urusan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
  4. Urusan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab dibidang industri;
  5. Urusan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan
  6. Urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  7. Mengkoordinasi penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Tidak hanya cukup siapa yang akan menjalakan apa, tapi juga bagaimana ia harus melakukan dan kapan harus dilaksanakan. Sebagai masyarakat tentunya adalah menjalankan hukum posistif dalam hal ini UU Nomor 22 Tahun 2009, namun perlu diterjemahkan lagi bagaimana situasi dan kondisi dilapangan dapat menunjang masyarakat dapat melaksanakannya. Keharusan yang diterjemahkan sebagai kewajiban harus di dukung oleh seberapa besar dan seberapa banyak petunjuk-petunjuk dilapangan. Terkait dengan UU Nomor 22 Tahun 2009 ini maka kita bisa mempertanyakan seberapa banyak rambu-rambu dan fasilita-fasiitas penunjang di jalan raya. Harus diingat, pemberlakuan UU tidak hanya pada satu wilayah saja namun berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia, apa yang akan terjadi nantinya jika diterapkan di Kalimantan atau bahkan Papua. Struktur itu harus mampu menunjang masyarakat agar dapat melaksanakannya. Kita bisa lihat diagram di bawah ini, bagaimana kota Semarang masih kekurangan rambu-rambu lalu lintas.
Dari contoh statistik diatas, maka dapat dinilai apakah UU Nomor 22 Tahun 2009 dapat dilaksanakan atau tidak. Sepanjang alat-alat penunjang seperti rambu-rambu serta fasilitas-fasilitas umum di jalan belum terpenuhi kebutuhannya maka pelaksanaan UU juga akan tidak efektif dan efisien.
Sebelum membicarakan kultur, hendaknya kita melihat sejenak hasil survey yang dilakukan oleh tabloit otomotif terkait dengan alasan mengapa tidak yakin UU Nomor 22 Tahun 2009 dapat memperbaiki masalah:
Alasan
Jumlah (%)
Kesadaran / disiplin masalah
30
Volume kendaraan terus bertambah / sudah banyak
10
Mental aparat kurang baik
8
Pelaksanaan belum efektif
6
Infrastruktur kurang (jalan, rambu, fasilitas)
6
Jadi lebih macet
6
Tergantung kesadaran masyarakat
5
Jumlah responden 10.045 orang
Dari tabel diatas, hampir keseluruhan berkaitan dengan kultur. 30% misalnya merasa tidak yakin UU Nomor 22 Tahun 2009 dapat memperbaiki masalah karena alasan kesadaran. Diikuti juga ketidakyakinan oleh 8% bahwa mental aparat kurang baik serta 5% tergantung kesadaran masyarakat. Kultur-kultur dari masing-masing pihak ini akan menentukan bagaimana suatu norma dapat dijalankan dengan efektif dan efisien. Akan menjadi tantangan bagi penyelenggara negara ketika kultur-kultur tersebut tidak mendukung untuk melakukan social engineering. Sehingga didapat bagaimana masyarakat sadar untuk melaksanakan peraturan karena ia tahu apa hak dan kewajibannya, atau bagaimana aparat penegak hukum yang benar-benar menjunjung tinggi hukum.
 
 sumber :
Oleh : Edy Halomoan Gurning, SH.
Pengacara Publik dan Staf Penelitian Pengembangan pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
[divider]
Lihat Penjelasan UU Nomor 22/2009 pada bagian umum paragraf kedua
Lihat Pasal 3 UU Nomor 22/2009
Lihat Pasal 4 UU Nomor 22/2009
Lihat “PU Tolak Jika Dipidanakan”, www.kompas.com, 12-01-2010
Imam Nasiman, UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan: Tidak Efisien dan Tidak Efektif
Lihat Pasal 5 UU Nomor 10/2004
Lihat Pasal 5 UU Nomor 22/2009
Lihat Pasal 13 ayat (2) UU Nomor 22/2009
Lihat http://semarang.go.id/perhubungan/index.php?option=com_content&task=view&id=44&Itemid=77

UU No. 17 TAHUN 2008 Tentang PELAYARAN


PDF UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran




Identifikasi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran

A.  URGENSI HUKUM PENGANGKUTAN PERAIRAN
Urgensi pengangkutan perariran dalam menunjang percepatan pencapaian cita-cita negara sebagaimaan yang tercantum pada Pancasila dan UUD 1945 tertuang dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran selanjutnya akan disebut UU Pelayaran. Mengingat hal tersebut maka akan dipaparkan bunyi penjelasan umum sebagaiamana yang dimaksud di atas.   Berikut penjelasan umum UU pelayaran Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dianugerahi sebagai negara kepulauan yang terdiri atas beribu pulau, sepanjang garis khatulistiwa, di antara dua benua dan dua samudera sehingga mempunyai posisi dan peranan penting dan strategis dalam hubungan antarbangsa. Posisi strategis Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dimanfaatkan secara maksimal sebagai modal dasar pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mewujudkan Indonesia yang aman, damai, adil, dan demokratis, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional dan perwujudan Wawasan Nusantara, perlu disusun sistem transportasi nasional yang efektif dan efisien, dalam menunjang dan sekaligus menggerakkan dinamika pembangunan, meningkatkan mobilitas manusia, barang, dan jasa, membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis, serta mendukung pengembangan wilayah dan lebih memantapkan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, turut mendukung pertahanan dan keamanan, serta peningkatan hubungan internasional.
Transportasi merupakan sarana untuk memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, dalam rangka memantapkan perwujudan Wawasan Nusantara, meningkatkan serta mendukung pertahanan dan keamanan negara, yang selanjutnya dapat mempererat hubungan antarbangsa. Pentingnya transportasi tersebut tercermin pada penyelenggaraannya yang mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara serta semakin meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas orang dan barang dalam negeri serta ke dan dari luar negeri. Di samping itu, transportasi juga berperan sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang besar tetapi belum berkembang, dalam upaya peningkatan dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya. Menyadari pentingnya peran transportasi tersebut, angkutan laut sebagai salah satu moda transportasi harus ditata dalam satu kesatuan sistem transportasi nasional yang terpadu dan mampu mewujudkan penyediaan jasa transportasi yang seimbang sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tersedianya pelayanan angkutan yang selamat, aksesibilitas tinggi, terpadu, kapasitas mencukupi, teratur, lancar dan cepat, mudah dicapai, tepat waktu, nyaman, tarif terjangkau, tertib, aman, polusi rendah, dan efisien.
Angkutan laut yang mempunyai karakteristik pengangkutan secara nasional dan menjangkau seluruh wilayah melalui perairan perlu dikembangkan potensi dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung antarwilayah, baik nasional maupun internasional termasuk lintas batas, karena digunakan sebagai sarana untuk menunjang, mendorong, dan menggerakkan pembangunan nasional dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menjadi perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengingat penting dan strategisnya peranan angkutan laut yang menguasai hajat hidup orang banyak maka keberadaannya dikuasai oleh negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
B.  GAMBARAN UMUM
a.      Cakupan Materi Undang-undang Pelayaran
Sebelum membicarakan perihal cakupan dari UU Pelayaran, maka akan dikaji secara ringkas tentang pengertian dari pengangkutan air/peraian dan pelayaran. Hal tersebut dianggap perlu karena konsep atau pengertian akan sesuatu, tentu akan mempengaruhi cakupan dari suatu itu. Begitu pula halnya dengan pengertian dari pengangkutan air/perairan dan pelayaran, oleh karena itu demi menghindari tumpang-tindih pengertian dan cakupanya maka, berikut ini akan dijelaskan batasan dari pengangkutan air/perairan dan pelayaran.
Pengertian pengangkutan air adalah kegiatan pengangkutan – menurut penulis tidak perlu lagi dijelaskan pengertian pengangkutan – yang berlangsung di perairan (sungai, danau, dan laut). Kemudian yang dimaksud dengan pelayaran berdasarkan pasal 1 angka 1 UU pelayaran, yaitu satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim. Berdasarkan rumusan pasal 1 angka 1 UU Pelayaran tersebut maka dapatlah bahwa materi UU Pelayaran mencakup :
1.      Angkutan di perairan,
2.      Kepelabuhanan,
3.      Keselamatan dan keamanan,
4.      Serta perlindungan lingkungan maritim
b.      Ruang Lingkup Undang-undang Pelayaran
Mengenai ruang lingkup undang-undang pelayaran diatur dalam pasal 4 UU Pelayaran, yang berbunyi :
Undang-Undang ini berlaku untuk:
a.    semua kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim di perairan Indonesia;
b.    semua kapal asing yang berlayar di perairan Indonesia; dan
c.    semua kapal berbendera Indonesia yang berada di luar perairan Indonesia.
c.       Asas-asas yang Digunakan
Asas hukum adalah jantungnya peraturan hukum karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya peraturan hukum atau ia adalah sebagai ratio legisnya peraturan hukum, demikianlah ungkapan Soetjipto Rahardjo. Dari pernyataan tersebut kiranya dapatlah dimengerti arti pentingnya dari suatu asas hukum. Arti penting tersebut diantaranya ialah mengarahkan, atau memberikan arah pada hukum. Karenanya penting untuk disampaikan mengenai asas-asas yang digunakan dalam UU Pelayaran. Asas-asas tersebut diatur pada pasal 2 UU Pelayaran, yang menyatakan :
Pelayaran diselenggarakan berdasarkan:
a.    asas manfaat;
b.    asas usaha bersama dan kekeluargaan;
c.    asas persaingan sehat;
d.   asas adil dan merata tanpa diskriminasi;
e.    asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;
f.     asas kepentingan umum;
g.    asas keterpaduan;
h.    asas tegaknya hukum;
i.      asas kemandirian;
j.      asas berwawasan lingkungan hidup;
k.    asas kedaulatan negara; dan
l.      asas kebangsaan.
d.      Tujuan
Sebelum berbicara mengenai tujuan dari UU Pelayaran, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai perbedaan mendasar antara Tujuan dengan Latar Belakang dari pada UU pelayaran ini, sebab dikhawatirkan (pen) akan ada anggapan bahwa antara tujuan dengan latar belakang adalah sama. Latar belakang daripada suatu undang-undang merupakan hal mendesak untuk diberlakukanya suatu undang-undang, latar belakang dari pada undang-undang pelayaran telah dijabarkan pada bagian Urgensi Hukum Pengangkutan Perairan, sedangkan tujuan adalah hal-hal yang hendak dicapai dengan diberlakukanya suatu undang-undang.
Tujuan dari pada UU Pelayaran tercantum pada penjelasan umum UU Pelayaran yang berbunyi sehingga (diharapkan. pen) penyelenggaraan pelayaran sebagai sebuah sistem dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat, bangsa dan negara, memupuk dan mengembangkan jiwa kebaharian, dengan mengutamakan kepentingan umum, dan kelestarian lingkungan, koordinasi antara pusat dan daerah, serta pertahanan keamanan negara.
C.  KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas maka dapatlah dimengerti bahwa UU Pelayaran diberlakukan mengingat wilayah Indonesia yang bercorak kemaritiman sehingga peranan pengangkutan perairan bagi percepatan pencapain cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sangat penting. Kemudian tujuan-tujuan yang dijewantahkan pada UU Pelayaran ini berorientasi pada pemaksimalan manfaat pengangkutan perairan di Indonesia.

UU No. 23 Tahun 2007 Tentang PERKERETA APIAN



PENGERTIAN PERKERETA APIAN

Pasal 1 angka 1 UU Nomor 1 Tahun 1992 mendefenisikan kereta api sebagai kendaraan dengan tenaga gerak baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan kendaraan lainnya yang akan ataupun sedang bergerak di jalan rel. kemudian oleh pasal 1 butir 1 tersebut ditambah lagi bahwa yang dimaksud dengan akan dan sedang berjalan di jalan rel adalah terkait dengan urusan perjalanan kereta api.
Ketentuan pengangkutan dengan kereta api sebagai materi pokok dalam perjanjian diatur dalam pasal 90 ayat 1, pasal 91 sampai pasal 97 KUHD. Disamping materi aturan umum tersebut, pengangkutan dengan kereta api ditentukan secara khusus dalam stb 1972-262 yang disebut  peraturan pengangkutan dengan kereta api. Sebagai perusahaan Negara dibebani kewajiban mengangkut yang dilihat pada Pasal 234 yang bermaterikan ketentuan hukum sebagai berikut :
  1. Perusahaan jawatan kereta api sebagai pengusaha angkutan atas beban exploitasi kereta api Negara harus menjalankan mengangkut barang-barang yang diserahkan masyarakat banyak kepada perusahaan pengangkutan untuk diangkut. 
  2. Kebebasan atas kewajiban bagi pengangkutan dengan KA apabila pengangkut terhalang oleh force mayeure, barang yang diangkut tidak memenuhi syarat, si pengirim tidak menurut pada aturan yang ditetapkan. 
  3. Perusahaan KA tidak dibenarkan menyimpang dari tanggung jawab pelayanan pengangkutan. Dan tidak dibenarkan mengadakan kondisi-kondisi yang berakibat kerugian pada pengirim. 
  4. Macam-macam cara pengiriman barang pengangkutan KA dapat dilakukan pengiriman barang sebagai Vrachtgoed, kiriman cepat, pengiriman hingga ke alamat rumah, barang titipan dari penumpang. 
  5. Ketentuan pasal 36 PPKA, pengangkut harus memberikan pada pengirim barang baik dikirim dengan empat cara di atas, pengangkut memberikan surast angkutan yang ditandatanganinya sendiri. 
  6. Surat angkutan diberikan sebagai bukti saat pengiriman barang dan sebagai bukti penerimaan pada alamat barang yang dituju oleh penerima dan surat angkutan tersebut sebagai persetujuan antara pengirim dan pengangkut.
B.     Pengertian Perjanjian Pengangkutan.
Definisi perjanjian pengangkutan menurut Purwo Sucipto adalah sebagai perjanjian timbal balik dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lain atau tujuan tertentu dengan selamat.
Perjanjian pengangkutan niaga adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan/ atau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan penumpang atau pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan.
Dari segi hukum, khususnya hukum perjanjian, pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim barang, dimana pihak pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggaraka pengangkutan barang kesuatu tempat tujuan tertentu, dan pihak-pihak pengirim barang mengikatkan dirinya pula untuk membayar ongkos angkutannya.
Berdasarkan pengertian perjanjian pengangkutan diatas, didalam perjanjian pengangkutan terlibat dua pihak, yaitu :
  • Pihak Pengangkut
Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Nomor 65 Tahun 2007), diundangkan, yaitu 25 April 2007 bahwa pengangkut adalah Penyelenggara Sarana Perkeretapian, yaitu badan usaha yang mengusahakan sarana perkeretaapian umum, wajib memliki izin usaha dan izin operasi dari pemerintah. Dalam hal tidak ada badan usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum, pemerintah atau pemerintah daerah dapat menyelenggarakan sarana perkeretaapian. Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang sudah ada hingga kini adalah Badan Usaha Milik Negara, yaitu PTKAI (Persero).[1] Jadi, pengangkut pada pengangkutan kereta api adalah Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang berbentuk perusahaan PTKAI yang mendapat izin operasi dari pemerintah menggunakan kereta api atau gerbong dengan memungut bayaran.
PT Kereta api wajib mengangkut penumpang yang telah memiliki karcis. Karcis adalah tanda bukti pembayaran bagi penumpang berbentuk lembaran kertas, karton, atau tiket elektronik. Penumpang yang telah memiliki karcis berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih. Karcis merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian pengangkutan penumpang. Pelayanan pengangkutan penumpang harus memenuhi standar pelayanan umum yang meliputi pelayanan di stasiun keberangkatan, dalam perjalanan, dan di stasiun tujuan. Standar pelayanan umum adalah kondisi pelayanan yang harus dipenuhi oleh perusahaan PTKAI sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah.
Pengangkutan penumpang dengan kereta api dilakukan dengan menggunakan kereta api. Kereta adalah gerbong khusus kereta api yang digunakan untuk mengangkut penumpang. Dalam keadaan tertentu, misalnya; keadaan darurat, bencana alam, jumlah orang yang jauh di atas jumlah rata-rata orang yang diangkut, dan tidak tersedia kereta pada saat itu, maka PT KAI dapat melakukan pengangkutan orang dengan gerbong yang digunakan untuk mengangkut barang atas persetujuan pemerintah atau pemerintah daerah. Pengangkutan penumpang dengan menggunakan gerbong wajib memperhatikan keselamatan dan fasilitas minimal. Fasilitas minimal pelayanan penumpang, antara lain; tempat duduk, lampu penerangan, kipas angin, dan toilet darurat. Adapun pengangkutan barang dengan kereta api menggunakan gerbong.[2]
Dalam penyelenggaraan pengangkutan orang dengan kereta api, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib:
a. mengutamakan keselamatan dan keamanan orang;
b. mengutamakan pelayanan kepentingan umum;
c. menjaga kelangsungan pelayanan pada lintas yang ditetapkan;
d. mengumumkan jadwal perjalanan kereta api dan tarif angkutan kepada masyarakat;
e. mematuhi jadwal keberangkatan kereta api; dan
f. pembatalan dan penundaan keberangkatan, keterlambatan kedatangan, atau pengalihan pelayanan lintas kereta api disertai dengan alasan yang jelas.[3]
Apabila dalam perjalanan kereta api terdapat hambatan atau gangguan yang mengakibatkan kereta api tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai stasiun yang disepakati, PT KAI menyediakan pengangkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan atau memberikan ganti kerugian senilai harga karcis. Jika PT KAI tidak memenuhi kewajiban, dikenai sanksi administratif pembekuan izin operasi atau pencabutan izin operasi.[4]
  • Pihak Penumpang
Undang-Undang Pengangkutan Indonesia menggunakan istilah “orang” untuk pengangkutan penumpang. Akan tetapi, rumusan mengenai “orang” secara umum tidak diatur. Undang-Undang Perkeretaapian Indonesia menentukan bahwa Pengguna jasa adalah setiap orang dan/atau badan hukum yang menggunakan jasa angkutan kereta api, baik untuk angkutan orang maupun barang.[5]
  • Pihak Pengirim
Undang-Undang Perkeretaapian menggunakan istilah “pengguna jasa” dan “penerima barang”. Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengangkut barang yang telah dibayar biaya angkutannya oleh pengguna jasa sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih. Pengguna jasa yang telah membayar biaya angkutan berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih. Surat angkutan barang merupakan tanda  bukti terjadinya perjanjian pengangkutan barang.[6]
Pengguna jasa bertanggung jawab atas kebenaran keterangan yang dicantumkan dalam surat angkutan barang. Semua biaya yang timbul sebagai akibat keterangan yang tidak benar serta merugikan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian atau pihak ketiga menjadi beban dan tanggung jawab pengguna jasa.[7]
Pada saat barang tiba di tempat tujuan, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian segera memberitahu kepada penerima barang bahwa barang telah tiba dan dapat segera diambil. Biaya yang timbul karena penerima barang terlambat dan/atau lalai mengambil barang menjadi tanggung jawab penerima barang. Dalam hal barang yang diangkut rusak, salah kirim, atau hilang akibat kelalaian Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengganti segala kerugian yang ditimbulkan.[8]
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengirim dalam pengangkutan kereta api adalah :
a.       Pihak dalam perjanjian yang berstatus sebagai pemilik barang atau bertindak mewakili pemilik barang, atau sebagai penjual
b.      Membayar biaya pengangkutan
c.       Pemegang dokumen pengangkutan barang.
  • Pihak Penerima Kiriman
Dalam perjanjian pengangkutan, penerima mungkin pengirim sendiri, mungkin juga pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam hal penerima adalah pengirim, maka penerima adalah pihak dalam perjanjian pengangkutan. Dalam hal penerima adalah pihak ketiga yang berkepentingan, penerima bukan pihak dalam perjanjian pengangkutan, melainkan sebagai pihak yang berkepentingan atas barang kiriman, tetapi tergolong juga sebagai subjek hukum pengangkutan.
C.    Tujuan Pengangkutan Kereta Api
Agar terjadi pengangkutan dengan kereta api, perlu diadakan perjanjian terlebih dahulu antara pengangkut ( PT KAI ) dan penumpang atau pengirim yang telah melunasi biaya pengangkutan yang dibuktikan dengan karcis penumpang atau surat pengangkutan barang. Pengangkutan orang atau barang dilakukan sesuai dengan ketentuan perjanjian dan Undang-Undang Perkeretaapian. Penumpang berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang disepakati. Misalnya, pemegang karcis Kereta Api Bromo akan memperoleh pelayanan sesuai dengan karcis Kereta Api Bromo yang dimilikinya. Penumpang wajib membayar sesuai dengan tingkat pelayanan yang dikehendakinya.
PT Kereta api wajib mengangkut penumpang yang telah memiliki karcis penumpang sesuai dengan tingkat pelayanan yang disepakati atau mengangkut barang pengirim yang telah memiliki surat pengangkutan barang. Pengangkut ( PT KAI ) wajib membayar ganti kerugian kepada penumpang atau pengirim yang mengalami kerugian akibat kelalaian pengangkut sesuai dengan perjanjian dan ketentuan Undang-Undang Perkeretaapian. Pelayanan jasa diberikan kepada penumpang atau pengirim dalam batas-batas kelayakan sesuai dengan kemampuan pengangkut selama menunggu keberangkatan dalam hal terjadi keterlambatan karena kelalaian pengangkut.
Jika penumpang yang telah membeli karcis atau memperoleh surat pengangkutan barang kemudian membatalkan perjalanannya atau pengiriman barangnya, berlaku ketentuan-ketentuan perjanjian dan Undang-Undang Perkeretaapian. Biaya pengangkutan yang sudah dilunasi itu dikembalikan kepada pembeli atau pemilik barang setelah dipotong jumlah kerugian yang timbul akibat pembatalan tersebut.
Pada pengangkutan dengan kereta api, tempat pemuatan dan penurunan penumpang atau barang disebut stasiun. Stasiun merupakan tempat kereta api berangkat dan berhenti untuk melayani naik turunnya penumpang atau muat bongkar barang atau untuk keperluan operasi kereta api. Kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh pengangkut (PT KAI), naik turunnya penumpang atau muat bongkar barang hanya dapat dilakukan di stasiun.
Secara khusus, setiap jenis pengangkutan mempunyai tujuan yang khusus pula. Demikian juga pengangkutan dengan kereta api bertujuan untuk:
a.       Memperlancar perpindahan orang atau barang secara masal dengan selamat, aman, nyaman, cepat dan lancar, tepat, tertib, teratur, dan efisien.
b.      Menunjang pemerataan, pertumbuhan, stabilitas, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional.
Secara massal mengandung pengertian bahwa kereta api memiliki kemampuan untuk mengangkut orang dan/atau barang dalam jumlah atau volume besar setiap kali perjalanan. Selamat berarti terhindarnya perjalanan kereta api dari kecelakaan akibat faktor internal. Aman artinya terhindarnya perjalanan kereta api akibat faktor eksternal, baik berupa gangguan alam maupun manusia. Nyaman artinya terwujudnya ketenangan dan ketenteraman bagi penumpang selama perjalanan kereta api. Cepat dan lancar artinya perjalanan kereta api dengan waktu yang singkat dan tanpa gangguan. Tepat artinya terlaksananya perjalanan kereta api sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Tertib dan teratur artinya terlaksananya perjalanan kereta api sesuai dengan jadwal dan peraturan perjalanan.Efisien artinya penyelenggaraan perkeretaapian yang mampu memberikan manfaat yang maksimal.[9]
D.    Asas Hukum Pengangkutan Kereta Api
Perkeretaapian sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem transportasi nasional diselenggarakan berdasarkan:
a.       asas manfaat;
adalah bahwa perkeretaapian harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kemakmuran rakyat, kesejahteraan rakyat, dan pengembangan kehidupan yang berkesinambungan bagi warga negara.
b.      asas keadilan;
adalah bahwa perkeretaapian harus dapat memberi pelayanan kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau serta memberi kesempatan berusaha dan  perlindungan yang sama kepada semua pihak yang terlibat dalam perkeretaapian.
c.       asas keseimbangan;
adalah bahwa perkeretaapian harus diselenggarakan atas dasar keseimbangan antara sarana dan prasarana, kepentingan pengguna jasa dan penyelenggara, kebutuhan dan ketersediaan, kepentinganindividu dan masyarakat, antardaerah dan antarwilayah,  serta antara kepentingan nasional dan internasional.
d.      asas kepentingan umum;
adalah bahwa perkeretaapian harus lebih mengutamakan kepentingan masyarakat  luas daripada kepentingan perseorangan atau kelompok dengan memperhatikan keselamatan, keamanan, kenyamanan, dan ketertiban.
e.       asas keterpaduan;
adalah bahwa perkeretaapian harus merupakan satu kesatuan sistem dan perencanaan yang utuh, terpadu, dan terintegrasi serta saling menunjang, baik antarhierarki  tatanan perkeretaapian, intramoda maupun antarmoda transportasi.
f.       asas kemandirian;
adalah bahwa penyelenggaraan perkeretaapian harus berlandaskan kepercayaan diri, kemampuan dan potensi produksi dalam negeri, serta sumber daya manusia  dengan daya inovasi  dan kreativitas yang bersendi pada kedaulatan, martabat, dan kepribadian bangsa.
g.      asas transparansi;
adalah bahwa penyelenggaraan perkeretaapian harus memberi ruang kepada masyarakat luas untuk memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur sehingga masyarakat mempunyai kesempatan berpartisipasi bagi kemajuan perkeretaapian.
h.      asas akuntabilitas;
adalah bahwa penyelenggaraan perkeretaapian harus didasarkan pada kinerja yang terukur, dapat dievaluasi, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
i.        asas berkelanjutan.
adalah bahwa penyelenggaraan perkeretaapian harus dilakukan secara  berkesinambungan, berkembang, dan meningkat dengan mengikuti kemajuan teknologi dan menjaga kelestarian lingkungan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat.

Sumber : 

[1] Diatur dalam Pasal 25-32 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
[2] Pasal 130 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
[3] Pasal 133 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
[4] Pasal 135 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
[5] Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
[6] Pasal 141 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
[7] Pasal 143 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
[8] Pasal 145 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
[9] Pasal 3 dan Penjelasannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian   

Selasa, 23 Februari 2016

UU NO 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN










Berikut ini beberapa point dari UU No. 1 tahun 2009 khususnya yang berhubungan dengan Bandar Udara
·        Pengadaan pesawat udara sebagaimana terdapat dalam konvensi Cape Town 2001,
·        Prinsip ekstra teritorial,
·        Kedaulatan atas wilayah udara Indonesia,
·        Pelanggaran wilayah kedaulatan,
·        Produksi pesawat udara,
·        Pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara,
·        Kelaikudaraan,
·        Pengoperasian pesawat udara,
·        Keselamatan penerbangan,
·        Keamanan penerbangan di darat maupun dalam pesawat udara,
·        Asuransi pesawat udara,
·        Independensi investigasi kecelakaan pesawat udara,
·        Pembentukan majelis profesi penerbangan,
·        Lembaga penyelenggara pelayanan umum yang sering disebut badan pelayan umum (BLU),
·        Berbagai jenis angkutan udara baik niaga dalam negeri maupun luar negeri,
·        Angkutan udara bukan niaga (general aviation),
·        Perlindungan pengguna jasa transportasi udara,
·        Hak-hak dan kewajiban pengguna jasa transportasi udara,
·        Persyaratan perusahaan penerbangan baik manajemen, operasional, teknologi maupun permodalan, mayoritas saham (single majority), jaminan bank (bank guarantee), kepemilikan dan penguasaan pesawat udara, komponen tarif, biaya tambahan (surcharge), pelayanan bagi penyandang cacat, pengangkutan barang-barang berbahaya (dangerous goods), ekspedisi dan keagenan, tanggung jawab pengangkut, konsep tanggung jawab pengangkut, asuransi tanggung jawab pengangkut, tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga (third parties liability),
·        Tatanan kebandarudaraan baik lokasi maupun persyaratannya, obstacles, perubahan iklim yang menimbulkan panas bumi,
·        Sumber daya manusia baik di bidang operasi penerbangan, teknisi bandar udara otoritas bandar udara (airport authority), pelayanan bandar udara,
·        Navigasi penerbangan,
·        Fasilitas navigasi penerbangan,
·        Keamanan penerbangan,
·        Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan (single air service provider),
·        Penegakan hukum,
·        Penerapan sanksi administratif yang selama ini tidak diatur,
·        Budaya keselamatan penerbangan,
·        Penanggulangan tindakan melawan hukum dan berbagai ketentuan baru guna mendukung keselamatan transportasi udara nasional maupun internasional.
UU No. 1 tahun 2009 juga sebagai dasar hukum tindak lanjut temuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) beberapa waktu yang lalu. Secara filosofis jiwa dari UU No.1 tahun2009 bermaksud memisahkan regulator dengan operator sehingga tugas dan tanggung jawab masing-masing jelas, tidak tumpang tindih, transparan.
Secara umum UU No.1 tahun 2009 ini mengalami perubahan yang signifikan, dibandingkan dengan Undang-undang sebelumnya, sebab konsep semula hanya 103 pasal dalam perkembangannya membengkak menjadi 466 pasal.