PENGERTIAN MONOPOLI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN
PELAKU USAHA
Monopoli adalah “penguasaan atas produksi dan
atau pemasaran barang atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku atau
suatu kelompok pelaku usaha”. Sedangkan yang dimaksud dengan persaingan
usaha tidak sehat adalah “ persaiangan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha.”
Perangkat Hukum yang Ada Sebelum Lahirnya UU No. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
No
|
Aturan Perundang-
Undangan
|
Pasal
|
Isi
|
1
|
KUH Pidana (W.v.S)
|
Pasal 382 bis
|
Larangan dan ancaman pidana bagi pihak
yang melakukan perdagangan curang
|
2
|
B.W.
|
Pasal 1365
|
Setiap perbuatan yang melanggar
hukum dan membawa kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang menimbulkan
kerugian tersebut untuk memberi ganti rugi.
|
3
|
UU PA No.5 Tahun 1960
|
Pasal 13
|
Monopoli di bidang pertanahan
harus dicegah.
|
4
|
UU No. 19 Tahun 1992/ UU No.14
Tahun 1997 tentang Merek
|
Pasal 81 dan 82
|
Ancaman pidana bagi perbuatan
curang dalam pemakaian merek
|
5
|
UU No. 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian
|
Pasal 7 (3)
|
Mencegah pemusatan atau penguasaan
industri oleh salah satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang
merugikan masyarakat
|
6
|
UU No 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas
|
Pasal 104 Ayat 1
|
Mencegah kemungkinan terjadinya
monopoli atau yang merugikan masyarakat akibat penggabungan, peleburan dan
pengambil alihan perusahaan
|
7
|
UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal
|
Pasal 10
|
Melarang adanya ketentuan yang
menghambat adanya persaingan sehat dalam pasar modal
|
8
|
UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha
Kecil
|
Pasal 8 (b)
|
Mencegah pembentukan struktur
pasar pasar yang dapat melahirkan persaingan yang tidak wajar dalam
bentuk monopoli, oligopoli, dan monopoli yang merugikan usaha kecil.
|
9
|
Peraturan Pemerintah (PP) No. 27
Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan
Terbatas
|
Pasal 4(1b)
|
Penggabungan, peleburan dan
pengambilalihan perusahaan, hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan
kepentingan masyarakat dan persaingan sehat
|
10
|
Peraturan Pemerintah (PP) No. 70
Tahun 1992 tentang Bank Umum.
|
Pasal 15 (1)
|
Merjer dan konsolidasi hanya dapat
dilakukan setelah ada izin dari Menkeu.
|
Secara umum, materi dari
Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat ini mengandung 6 (enam) bagian pengaturan yang terdiri dari :
- perjanjian yang dilarang.
- kegiatan yang dilarang.
- posisi dominan.
- Komisi Pengawas Persaingan Usaha
- penegakan hukum
- ketentuan lain-lain
Kwik Kian Gie menjelaskan kriteria-kriteria terjadinya monopoli yang diizinkan oleh GBHN
- monopoli diberikan kepeda penemu barang baru, seperti oktroi dan paten, maksudnya untuk memberikan insentif bagi pemikiran yang kreatif dan inofatif;
- monopoli yang diberikan oleh pemerintah kepada BUMN, lazimnya karena barang yang diproduksi menguasai hajat hidup orang banyak;
- monopoli yang diberikan kepada perusahaan swasta dengan kredit pemerintah;
- monopoli dan kedudukan monopolistik yang diperoleh dengan cara natural, karena monopolis menang dalam persaingan yang dilakukan secara sehat. Dalam hal demikian memang tidak apa-apa, namun masuknya siapa saja ke dalam investasi yang sama harus terbuka lebar;
- monopoli atau kedudukan yang monopolistik yang diperoleh secara natural karena investasinya terlampau besar, sehingga hanya satu saja yang berani dan bisa merealisasikan investasinya. Meski demikian, Pemerintah harus tetap bersikap persuasif dan kondusif dalam memecahkan monopoli;
- monopoli atau kedudukan monopolistik terjadi karena pembentukan kartel ofensif;
- monopoli atau kedudukan monopolistik yang terjadi karena pembentukan kartel defensif;
- monopoli yang diberikan kepada suatu organisasi dengan maksud membentuk dana bagi yayasan, yang dananya lalu dipakai untuk tujuan tertentu, seperti kegiatan sosial dan sebagainya.
Macam-macam
bentuk dan cara terjadinya monopoli
- MONOPOLY BY LAW
UUD 1945 pasal 33 juga membenarkan adanya monopoli jenis ini, yaitu
dengan memberikan monopoli bagi negara untuk menguasai bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta cabang-cabang produksi yang
menguasai hajat hidup orang banyak.
Pemberian hak-hak istimewa dan eksklusif atas penemuan baru, baik yang
berasal dari hak cipta, hak paten, merk dagang, dan lain-lain juga merupakan
bentuk monopoli yang diakui oleh undang-undang.
MONOPOLY BY
NATURE
Yaitu monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh
iklim dan lingkungan yang cocok. Kita dapat melihat bentuk monopoli seperti ini
yaitu tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang karena memiliki keunggulan dan
kekuatan tertentu dapat menjadi raksasa bisnis yang menguasai seluruh pangsa pasar
yang ada. Mereka menjadi besar karena memiliki sifat-sifat yang cocok dengan
tempat di mana mereka tumbuh. Selain itu karena berasal dan didukung bibit yang
unggul serta memiliki faktor-faktor yang dominan.
MONOPOLY BY
LICENSE
Monopoli ini diperoleh melalui lisensi dengan menggunakan mekanisme
kekuasaan. Monopoli jenis inilah yang sering menimbulkan distorsi ekonomi
karena kehadirannya mengganggu keseimbangan (equilibrium) pasar yang sedang
berjalan dan bergeser kearah yang diingini oleh pihak yang memiliki monopoli
tersebut.
Monopoli karena Terbentuknya Struktur Pasar Akibat
Perilaku dan Sifat Manusia
Sifat-sifat dasar manusia yang menginginkan keuntungan besar dalam waktu
yang singkat dan dengan pengorbanan dan modal yang sekecil mungkin atau sebaliknya,
dengan menggunakan modal (capital) yang sangat besa untuk memperoleh posisi
dominan guna menggusur para pesaing yang ada.
Jenis monopoli yang dimaksud pada poin (3) dan (4) dapat mengganggu
bekerjanya mekanisme pasar dan harus dilarang. Sementara itu, jenis monopoli
pada poin (1) dan (2) tetap perlu diawasi dan diatur agar pada suatu waktu
kekuatan ekonomi yang dimilikinya tidak akan disalahgunakan.
Di banyak negara yang sudah
melaksanakan dan mempunyai undang-undang persaingan usaha, memilih efisiensi,
efektifitas kegiatan usaha, dan kesejahteraan umum/rakyat (konsumen) sebagai
tujuan utama dari kebijakanmaupun undang-undang persaingan usahanya.
Sedangkan di Indonesia tujuan
undang-undang persaingan usaha ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu
tujuan umum dan tujuan khusus ;
- Secara umum tujuannya adalah menjaga kelangsungan persaingan antar pelaku usaha itu sendiri agar tetap hidup dan diakui keberadaannya.
- Secara yuridis tujuan undang-undang persaingan usaha di Indonesia telah diatur dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999, yaitu:
- Menjaga kepentingan umum serta melindungi konsumen
- Menumbuhkan iklim usaha yang sehat;
- mnjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang;
- Mencegah praktik-praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
- Menciptakan efekvifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejakteraan rakyat
Kerangka Dasar Pengaturan UU Nomor 5
Tahun 2009
Selanjutnya, jika kita lebih seksama
mempelajari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, maka kandungan substansi
yang diaturnya meliputi hal-hal sebagai berikut.
- Perumusan istilah atau konsep-konsep dasar yang terdapat atau dipergunakan dalam undang-undang maupun aturan pelaksanaan lainnya, agar dapat diketahui pengertiannya, Pasal 1 memuat perumusan dari 19 istilah atau konsep dasar, yaitu pengertian
- monopoli,
- praktik monopoli
- pemusatan kekuatan ekonomi
- posisi dominan
- pelaku usaha
- persaingan usaha tidak sehat
- perjanjian
- persekongkolan atau konspirasi
- pasar
- pasar bersangkutan
- struktur pasar
- perilaku pasar
- pangsa pasar
- harga pasar
- konsumen
- barang
- jasa
- komisi
- pengawas persaingan usaha
- pengadilan negeri
- Perumusan kerangka politik anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, berupa asas dan tujuan pembentukan undang-undang, sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
- Perumusan macam perjanjian yang dilarang dilakukan pengusaha. Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 memuat macam perjanjian yang dilarang tersebut yaitu perjanjian :
- oligopoli
- penetapan harga
- pembagian wilayah pemasaran,
- pemboikotan
- kartel
- oligopsoni
- integrasi vertikal
- perjanjian tertutup
- perjanjian dengan pihak luar negeri
- Perumusan macam kegiatan yang dilarang dilakukan pengusaha. Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 memuat macam kegiatan yang dilarang tersebut, yaitu monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan;
- Perumusan macam posisi dominan yang tidak boleh dilakukan pengusaha. Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 memuat macam posisi dominan yang tidak boleh dilakukan tersebut, yaitu :
- jabatan rangkap
- pemilikan saham
- serta penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
- Masalah susunan, tugas dan fungsi Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 memuat perumusan status, keanggotaan, tugas, wewenang, dan pembiayaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
- Perumusan tata cara penanganan perkara persaingan usaha oleh KPPU. Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 memuat perumusan
- penerimaan laporan,
- pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan
- pemeriksaan terhadap pelaku usaha dan alat-alat bukti, jangka waktu pemeriksaan
- Putusan Komisi
- Kekuatan putusan komisi
- Upaya hukum terhadap putusan komisi
- Ketentuan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelau usaha yang telah melanggar ketentuan dalam undang-undang. Pasal 47 sampai dengan Pasl 49 memuat macam sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha, yaitu :
- administratif
- pidana pokok
- pidana tambahan
- Perumusan perbuatan atau perjanjian yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang dan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara dan/atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah. Pasal 50 memuat ketentuan yang dikecualikan dari undang-undang dan Pasal 51 memuat ketentuan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara.
- Hal-hal yang menyangkut pelaksanaan undang-undang, yaitu perumusan ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Pasal 52 mengatur bahwa pelaku usaha yang telah membuat dan/atau melakukan kegiatan dan/atau tindakan yang tidak sesuai dengan undang-undang diberi waktu untuk menyesuaikan selama 6 (enam) bulan sejak undang-undang diberlakukan. Sedangkan Pasal 53 mengatur mulai berlakunya undang-undang, yaitu terhitung sejak 1 (satu tahun sesudah undang-undang diundangkan oleh pemerintah, yaitu tepatnya 5 maret 2000.
Dalam pengaturan persaingan
ditetapkan norma larangan memiliki dua sifat yang harus dimasukkan dalam
pengaturan undang-undang, yaitu larangan yang bersifat per se illegal
dan yang bersifat rule of reason.
Berbagai literatur tentang hukum
persaingan usaha sering disinggung mengenai rule of reason dan per se
tersebut. Dalam literatur tersebut rule of reason dan per se dibahas
serba sedikit untuk memberikan pemahaman dan perbandingan hukum persaingan
usaha (competition law) yang berlaku di Amerika. Dikemukakan dalam
literatur tersebut bahwa kedua prinsip tersebut merupakan pendekatan untuk
melakukan penilaian terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Sherman
Act, Clayton Act, Federal Trade Commission Act – Antitrust Law (Asril
Sitompul, 1999; 9, Elyta Ryas Ginting, 2001; 28).
Pengertian Rule of Reason dan Per Se Rule
Asri Sitompul mendefinisikan rule
of reason adalah suatu pendekatan dengan menggunakan pertimbangan akan
akibat suatu perbuatan, apakah mengakibatkan praktek monopoli dan akan
menimbulkan kerugian dipihak lain. Sedangkan Susanti Adi Nugroho rule of
reason adalah pertimbangan yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan
yang dituduhkan melanggar hukum persaingan dimana penggugat dapat menunjukkan
akibat-akibat yang menghambat persaingan, atau kerugian nyata terhadap
persaingan. Dari dua definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa rule
of reason merupakan (a) suatu pertimbangan hakim untuk menentukan apakah
suatu perbuatan tertentu melanggar hukum persaingan atau tidak, (b) prinsip
yang akan digunakan untuk menentukan perbuatan tertentu melanggar atau tidak
didasarkan pada akibat yang muncul dari perbuatan yaitu menghambat persaingan
atau melahirkan kerugian pada pelaku usaha lain.
Per se rule didefinisikan oleh Asril Sitompul suatu pendekatan dimana perbuatan
dinyatakan sebagai pelanggaran dan dapat dihukum tanpa perlu melakukan
pertimbangan apakah perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian atau menghambat
persaingan. Sedangkan Susanti mendefinisikan per se rule sebagai
larangan yang jelas dan tegas tanpa mensyaratkan adanya pembuktian mengenai
akibat-akibatnya atau kemungkinan akibat adanya persaingan. Dari kedua definisi
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan per se rule adalah
perbuatan tersebut secara jelas dan tegas akan dianggap pelanggaran oleh hakim
tanpa melihat apakah terdapat akibat yang merugikan atau menghambat persaingan.
Syamsul Maarif (2002) mengemukakan
bahwa yang dimaksud dengan rule of reason adalah bahwa suatu larangan
yang baru berlaku apabila suatu kegiatan usaha dapat menimbulkan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Larangan bersifat Per se adalah
larangan yang memang secara alamiah dilarang tanpa perlu dikaitkan dengan
dampak kegiatan tersebut pada persaingan karena pada dasarnya memang
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.
Para ahli hukum persaingan usaha Indonesia
dalam memberikan definisi rule of reason dan per se rule dapat
melakukannya secara tepat namun hanya sebatas memberikan definisi tanpa melihat
latar belakang kemuncullannya. Berbeda dengan penulis dari AS yang selalu
melihat rule of reason dan per se rule secara kontekstual artinya
prinsip tersebut muncul karena putusan hakim dalam mengadili suatu perkara
persaingan usaha. J. David Reitzel (2001; 965) secara lengkap dikutip
pemahaman Reitzel mengenai rule of reason adalah sebagai berikut;
Kesadaran penulis akan arti penting rule
of reason dan per se dalam hukum persaingan di Amerika tidak
diwujudkan dalam mencari pengertian kedua prinsip tersebut dalam kerangka
perjalanan sejarah hukum persaingan. Rule of reason dan per se bagi
para penulis seolah-olah menganggap keberadaannya hanya sekedar untuk menentukan
suatu perbuatan atau kegiatan dalam rumusan UU Persaingan Usaha termasuk dalam
klasifikasi tertentu. Padahal dalam pembentukan kedua prinsip tersebut muncul
dari penafsiran hakim yang termuat dalam suatu putusan pengadilan. Keputusan
hakim untuk substansi kasus yang sama dapat didekati dengan prinsip yang
berbeda, dengan kata lain apabila di suatu waktu misalnya horizontal
1. Larangan yang Bersifat Per Se
Ilegal
Larangan yang bersifat per se rule adalah bentuk
larangan yang tegas dalam rangka memberikan kepastian bagi para pelaku usaha
dalam memaknai norma-norma larangan dalam persaingan usaha. Dalam praktik,
pengaturan ini berguna agar pelaku usaha sejak awal mengetahui rambu-rambu
larangan terhadap perbuatan apa saja yang dilarang dan harus dijauhkan dalam
praktik usahanya guna menghindari munculnya potensi resiko bisnis yang besar di
kemudian hari sebagai akibat pelanggaran terhadap norma-norma larangan
tersebut.[45]
Perbuatan-perbuatan sebagai manifestasi perilaku para
pelaku usaha yang secara tegas dilarang (per se illegal) antara lain menetapkan
berbagai bentuk perjanjian yang dilarang (Bab III) dan kegiatan yang dilarang (Bab
IV), tegasnya aturan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6,
Pasal 15, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999. Apabila para
pelaku usaha tidak mampu mengandalikan dirinya dan melanggar ketentuan hukum
yang mengaturnya (per se illegal), maka KPPU cukup membuktikan bahwa telah
terjadi pelanggaran. Dengan demikian pelaku usaha yang bersangkutan sudah
dianggap telah melakukan perbuatan yang dilarang tanpa melihat lagi efek yang
ditimbulkannya. Pelanggaran terhadap larangan yang bersifat per se, ancaman
pidana pokoknya lebih rendah dari pada pelanggaran terhadap larangan yang
bersifat rule of reason (vide Pasal 48). Hal ini dapat dipahami karena proses
pembuktiannya tidak serumit proses pembuktian terhadap larangan yang bersifat
rule of reason.
2. Larangan yang Bersifat Rule of Reason
Dalam lingkup doktrin rule of reason, jika suatu
kegiatan yang dilarang dilakukan oleh seorang pelaku usaha dilihat seberapa
jauh efek negatifnya. Jika terbukti secara signifikan adanya unsur yang
menghambat persaingan, baru diambil tindakan hukum. Ciri-ciri pembeda terhadap
larangan yang bersifat rule of reason, pertama dalah bentuk aturan yang
menyebutkan adanya persyaratan tertentu yang harus terpenuhi sehingga memenuhi
kualifikasi adanya potensi bagi terjadinya praktik monopoli dan atau praktik
persaingan usaha yang tidak sehat seperti yang dapat ditemukan dalam Pasal 4,
Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20,
Pasal 26, dan Pasal 28 UU No. 5 Tahun 1999. Ciri kedua adalah apabila dalam
aturan tersebut memuat anak kalimat “patut diduga atau dianggap”. Pengaturan
seperti itu dapat ditemukan dalam Pasal 4 angka (2), Pasal 13 angka (2), Pasal
17 angka (2), dan Pasal 18 angka (2).
Perbuatan-perbuatan dan kegiatan yang dilarang dalam
Undang-undang No. 5 Tahun 1999 yang bersifat rule of reason antara lain apabila
pelaku usaha melakukan beberapa hal berikut.
- Perjanjian yang bersifat oligopoli (Pasal 4)
- Perjanjian pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar (Pasal 9)
- Perjanjian yang bersifat kartel (Pasal 11)
- Perjanjian yang bersifat trust (Pasal 12)
- Perjanjian yang bersifat oligopsoni (Pasal 13)
- Kegiatan usaha yang melakukan praktik Monopoli (Pasal 17)
- Kegiatan usaha yang melakukan praktik monopsoni (Pasal 18)
- Kegiatan penguasaan pasar (Pasal 19)
- Kegiatan menjual di bawah harga pokok (predatory pricing) dalam Pasal 20
- Jabatan rangkap dalam perusahaan-perusahaan yang saling bersaing (interlocking directorate) dalam Pasal 26
- Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perusahaan lain (Pasal 28)
Tentang
Sifat Pelarangan Tindakan Anti Monopoli dan Persaingan Curang
No
|
Tindakan yang dilarang
|
Pasal
|
Rule of Reason / Per Se
|
1.
|
Olipoli
|
4
|
RR dengan Presumsi
|
2.
|
Penetapan Harga
|
5 s.d. 8
|
RR dan PS
|
3.
|
Pembagian Wilayah
|
9
|
RR tidak tegas
|
4.
|
Pemboikotan
|
10
|
RR
|
5.
|
Kartel
|
11
|
RR tidak tegas
|
6.
|
Trust
|
12
|
RR tidak tegas
|
7.
|
Oligopsoni
|
13
|
RR dengan Presumsi
|
8.
|
Integrasi Vertikal
|
14
|
RR tidak tegas
|
9.
|
Perjanjian Tertutup
|
15
|
PS
|
10.
|
Perjanjian Luar Negeri
|
16
|
RR tidak tegas
|
11.
|
Monopoli
|
17
|
RR dengan Presumsi
|
12.
|
Monopsoni
|
18
|
RR dengan Presumsi
|
13.
|
Penguasaan Pasar
|
19 s.d. 21
|
RR tidak tegas
|
14.
|
Persekongkolan
|
22 s.d .24
|
RR dan PS
|
15.
|
Posisi Dominan Umum
|
25
|
RR dengan Presumsi
|
16.
|
Jabatan Rangkap
|
26
|
RR tidak tegas
|
17.
|
Pemilikan Saham
|
27
|
RR
|
18.
|
Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi
|
28 s.d. 29
|
RR tidak tegas
|
Keterangan :
– Rule of Reason dilihat dari
kata-kata “Mengakibatkan” terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.
– Per Se dilihat dari tidak adanya
persyaratan yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
tidak sehat.
– Rule of Reason Tidak Tegas
karena dipergunakan kata-kata “Dapat” mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan tidak sehat.
Perbandingan penentuan prinsip
rule of reason dan per se
antara KPPU dengan Susanti Adi
Nugroho
Rule of Reason
|
Per se rule
|
||
KPPU
|
Susanti
|
KPPU
|
Susanti
|
Oligopoli
|
Oligopoli**
|
Price fixing
|
Penetapan
harga
|
Predatory
pricing
|
Penetapan
harga
|
Diskriminasi harga
|
Perjanjian
tertutup
|
Pembagian
wilayah
|
Pembagian
wilayah*
|
Perjanjian tertutup
|
persekongkolan
|
Kartel
|
Kartel*
|
Persekongkolan
|
|
Trust
|
Trust*
|
Posisi dominan untuk Pasal 25 (1)
|
|
Oligopsoni
|
Oligopsoni**
|
Posisi dominan untuk Pasal 26 huruf a dan b
|
|
Integrasi
vertikal
|
Integrasi
vertikal*
|
||
Perjanjian
dengan pihak luar negeri
|
Perjanjian
dengan pihak luar negeri
|
||
Monopoli
|
Monopoli**
|
||
Monopsoni
|
Monopsoni**
|
||
Penguasaan
pasar
|
Penguasaan
pasar*
|
||
Jabatan
rangkap
|
Posisi
dominan**
|
||
Penggabungan,
Peleburan dan Pengambilalihan
|
Boikot
|
||
Persekongkolan
|
Selanjutnya, untuk mengetahui baik atau buruk dari apa
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, termasuk dalam bidang
bisnis. Secara normatif-etis telah berkembang tiga teori dasar sebagai berikut
:
(1) Teori Ethical Egoism
(2) Teori Ethical Altruism
(3) Teori Utilitarianism
(Regan, Tom, 1984:20)
Penjelasan dari masing-masing teori adalah sebagai
berikut :
(1) Teori Ethical Egoism
Terori ini hanya melihat terhadap si
pelaku sendiri. Dalam hal ini teori tersebut mengajarkan bahwa benar atau
salah dari sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang diukur dari apakah
hal tersebut mempunyai dampak yang baik atau buruk terhadap orang tersebut itu
sendiri. Bagaimana dampak dari perbuatan tersebut bagi orang lain tidak
relevan, kecuali jika akibat terhadap orang lain tersebut akan mengubah dampak
terhadap si pelaku tersebut.
(2) Teori Ethical Altruism
Teori ini lebih menitikberatkan
kepada kepentingan dari pihak lain dari pihak yang melakukan suatu perbuatan.
Menurut teori ini, apakah seseorang telah melakukan sesuatu perbuatan yang
secara moral terbilang benar atau salah bergantung bagaimana dampak dari
perbuatan tersebut terhadap pihak lainnya. Perbuatan tersebut dianggap benar jika
berdampak baik bagi pihak lain. Demikian juga sebaliknya. Bagaimana dampak dari
perbuatan tersebut bagi si pelakunya tidak relevan untuk dipertimbangkan,
kecuali jika bagaimana dampak terhadap pihak lain tersebut mempunyai dampak
yang dapat membalikkan dampak terhadap si pelaku tersebut.
(3) Teori Utilitarianism
Teori ini lebih menitikberatkan
kepada manfaat dari setiap tindakan terhadap seluruh atau sebagian besar orang.
Menurut teori ini, benar atau salah sesuatu perbuatan diukur dari apakah
perbuatan tersebut berdampak baik atau buruk kepada setiap orang, baik terhadap
orang lain maupun terhadap dirinya sendiri.
Tindakan monopoli itu memang harus diatur oleh hukum,
karena dengan praktek bisnis yang berdasarkan atas monopoli mempunyai banyak
kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah sebagai berikut :
(a) Ketinggian harga
Dengan monopoli akan terjadi suatu
ketinggian harga-harga di pasar. Tingginya harga ini diakibatkan oleh tidak
adanya kompetisi pasar. Hal ini akan mendorong timbulnya inflasi sehingga dapat
merugikan masyarakat secara luas.
(b) Excess profit
Karena tidak ada saingan, maka
dengan monopoli, suatu harga dapat ditentukan seenak-enaknya, sehingga monopoli
tersebut sangat berpotensial timbulnya keuntungan yang berlebih-lebihan, Karena
itu pula, suatu monopoli dianggap sebagai suatu pranata ketidakadilan.
(c) Eksploitasi
Eksploitasi dapat terjadi baik
terhadap buruh dalam bentuk upah, tetapi terlebih-lebih terhadap konsumen,
karena rendahnya mutu produk dan hilangnya hak pilih dari konsumen, karena
tidak ada kompetisi di antara pihak produsen barang.
(d) Pemborosan
Perusahaan monopoli cenderung kepada
pemborosan karena tidak beroperasi pada everage cost yang minimum. Hal ini
menyebabkan ketidakefisienan perusahaan, dan akhirnya cost tersebut ditanggung
konsumen.
(e) Entry barrier
Monopoli akan menguasai pangsa pasar
yang besar. Hal ini akan mengakibatkan perusahaan lain terhambat untuk bisa
masuk ke bidang-bidang operasi perusahaan monopoli tersebut, dan gilirannya
nanti akan mematikan perusahaan kecil dan/atau perusahaan pemula.
(f) Ketidakmerataan pendapatan
Monopoli dapat mengakibatkan
timbulnya unsur akumulasi modal dan pendapatan dari usaha monopoli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar