Rabu, 17 Februari 2016

PENGERTIAN MONOPOLI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA


                                             
PENGERTIAN MONOPOLI PERLINDUNGAN KONSUMEN  DAN
                                   PELAKU USAHA
 
Monopoli adalah “penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku atau suatu kelompok pelaku usaha”. Sedangkan yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat adalah “ persaiangan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.”
Perangkat Hukum yang Ada Sebelum Lahirnya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
No
Aturan Perundang-
Undangan
Pasal
Isi
1
KUH Pidana (W.v.S)
Pasal 382 bis
Larangan dan ancaman pidana bagi pihak yang melakukan perdagangan curang
2
B.W.
Pasal 1365
Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian tersebut untuk memberi ganti rugi.
3
UU PA No.5 Tahun 1960
Pasal 13
Monopoli di bidang pertanahan harus dicegah.
4
UU No. 19 Tahun 1992/ UU No.14 Tahun 1997 tentang Merek
Pasal 81 dan 82
Ancaman pidana bagi perbuatan curang dalam pemakaian merek
5
UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
Pasal 7 (3)
Mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh salah satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat
6
UU No 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
Pasal 104 Ayat 1
Mencegah kemungkinan terjadinya monopoli atau yang merugikan masyarakat akibat penggabungan, peleburan dan pengambil alihan perusahaan
7
UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
Pasal 10
Melarang adanya ketentuan yang menghambat adanya persaingan sehat dalam pasar modal
8
UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
Pasal 8 (b)
Mencegah pembentukan struktur pasar  pasar yang dapat melahirkan persaingan yang tidak wajar dalam bentuk monopoli, oligopoli, dan monopoli yang merugikan usaha kecil.
9
Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas
Pasal 4(1b)
Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan perusahaan, hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan sehat
10
Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum.
Pasal 15 (1)
Merjer dan konsolidasi hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Menkeu.
Secara umum, materi dari Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini mengandung 6 (enam) bagian pengaturan yang terdiri dari :
  1. perjanjian yang dilarang.
  2. kegiatan yang dilarang.
  3. posisi dominan.
  4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha
  5. penegakan hukum
  6. ketentuan lain-lain
Kwik Kian Gie menjelaskan kriteria-kriteria terjadinya monopoli yang diizinkan oleh GBHN
  1. monopoli diberikan kepeda penemu barang baru, seperti oktroi dan paten, maksudnya untuk memberikan insentif bagi pemikiran yang kreatif dan inofatif;
  2. monopoli yang diberikan oleh pemerintah kepada BUMN, lazimnya karena barang yang diproduksi menguasai hajat hidup orang banyak;
  3. monopoli yang diberikan kepada perusahaan swasta dengan kredit pemerintah;
  4. monopoli dan kedudukan monopolistik yang diperoleh dengan cara natural, karena monopolis menang dalam persaingan yang dilakukan secara sehat. Dalam hal demikian memang tidak apa-apa, namun masuknya siapa saja ke dalam investasi yang sama harus terbuka lebar;
  5. monopoli atau kedudukan yang monopolistik yang diperoleh secara natural karena investasinya terlampau besar, sehingga hanya satu saja yang berani dan bisa merealisasikan investasinya. Meski demikian, Pemerintah harus tetap bersikap persuasif dan kondusif dalam memecahkan monopoli;
  6. monopoli atau kedudukan monopolistik terjadi karena pembentukan kartel ofensif;
  7. monopoli atau kedudukan monopolistik yang terjadi karena pembentukan kartel defensif;
  8. monopoli yang diberikan kepada suatu organisasi dengan maksud membentuk dana bagi yayasan, yang dananya lalu dipakai untuk tujuan tertentu, seperti kegiatan sosial dan sebagainya.
 Macam-macam bentuk dan cara terjadinya monopoli
  1. MONOPOLY BY LAW
UUD  1945 pasal 33 juga membenarkan adanya monopoli jenis ini, yaitu dengan memberikan monopoli bagi negara untuk menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Pemberian hak-hak istimewa dan eksklusif atas penemuan baru, baik yang berasal dari hak cipta, hak paten, merk dagang, dan lain-lain juga merupakan bentuk monopoli yang diakui oleh undang-undang.
 MONOPOLY BY NATURE
Yaitu monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh iklim dan lingkungan yang cocok. Kita dapat melihat bentuk monopoli seperti ini yaitu tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang karena memiliki keunggulan dan kekuatan tertentu dapat menjadi raksasa bisnis yang menguasai seluruh pangsa pasar yang ada. Mereka menjadi besar karena memiliki sifat-sifat yang cocok dengan tempat di mana mereka tumbuh. Selain itu karena berasal dan didukung bibit yang unggul serta memiliki faktor-faktor yang dominan.
 MONOPOLY BY LICENSE
Monopoli ini diperoleh melalui lisensi dengan menggunakan mekanisme kekuasaan. Monopoli jenis inilah yang sering menimbulkan distorsi ekonomi karena kehadirannya mengganggu keseimbangan (equilibrium) pasar yang sedang berjalan dan bergeser kearah yang diingini oleh pihak yang memiliki monopoli tersebut.
Monopoli karena Terbentuknya Struktur Pasar Akibat Perilaku dan Sifat Manusia
Sifat-sifat dasar manusia yang menginginkan keuntungan besar dalam waktu yang singkat dan dengan pengorbanan dan modal yang sekecil mungkin atau sebaliknya, dengan menggunakan modal (capital) yang sangat besa untuk memperoleh posisi dominan guna menggusur para pesaing yang ada.
Jenis monopoli yang dimaksud pada poin (3) dan (4) dapat mengganggu bekerjanya mekanisme pasar dan harus dilarang. Sementara itu, jenis monopoli pada poin (1) dan (2) tetap perlu diawasi dan diatur agar pada suatu waktu kekuatan ekonomi yang dimilikinya tidak akan disalahgunakan.
Di banyak negara yang sudah melaksanakan dan mempunyai undang-undang persaingan usaha, memilih efisiensi, efektifitas kegiatan usaha, dan kesejahteraan umum/rakyat (konsumen) sebagai tujuan utama dari kebijakanmaupun undang-undang persaingan usahanya.
Sedangkan di Indonesia tujuan undang-undang persaingan usaha ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus ;
  1. Secara umum tujuannya adalah menjaga kelangsungan persaingan antar pelaku usaha itu sendiri agar tetap hidup dan diakui keberadaannya.
  2. Secara yuridis tujuan undang-undang persaingan usaha di Indonesia telah diatur dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999, yaitu:
    1. Menjaga kepentingan umum serta melindungi konsumen
    2. Menumbuhkan iklim usaha yang sehat;
    3. mnjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang;
    4. Mencegah praktik-praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
    5. Menciptakan efekvifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejakteraan rakyat
Kerangka Dasar Pengaturan UU Nomor 5 Tahun 2009
Selanjutnya, jika kita lebih seksama mempelajari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, maka kandungan substansi yang diaturnya meliputi hal-hal sebagai berikut.
  1. Perumusan istilah atau konsep-konsep dasar yang terdapat atau dipergunakan dalam undang-undang maupun aturan pelaksanaan lainnya, agar dapat diketahui pengertiannya, Pasal 1 memuat perumusan dari 19 istilah atau konsep dasar, yaitu pengertian
    1. monopoli,
    2. praktik monopoli
    3. pemusatan kekuatan ekonomi
    4. posisi dominan
    5. pelaku usaha
    6. persaingan usaha tidak sehat
    7. perjanjian
    8. persekongkolan atau konspirasi
    9. pasar
    10. pasar bersangkutan
    11. struktur pasar
    12. perilaku pasar
    13. pangsa pasar
    14. harga pasar
    15. konsumen
    16. barang
    17. jasa
    18. komisi
    19. pengawas persaingan usaha
    20. pengadilan negeri
  2. Perumusan kerangka politik anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, berupa asas dan tujuan pembentukan undang-undang, sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
  3. Perumusan macam perjanjian yang dilarang dilakukan pengusaha. Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 memuat macam perjanjian yang dilarang tersebut yaitu perjanjian :
    1. oligopoli
    2. penetapan harga
    3. pembagian wilayah pemasaran,
    4. pemboikotan
    5. kartel
    6. oligopsoni
    7. integrasi vertikal
    8. perjanjian tertutup
    9. perjanjian dengan pihak luar negeri
  4. Perumusan macam kegiatan yang dilarang dilakukan pengusaha. Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 memuat macam kegiatan yang dilarang tersebut, yaitu monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan;
  5. Perumusan macam posisi dominan yang tidak boleh dilakukan pengusaha. Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 memuat macam posisi dominan yang tidak boleh dilakukan tersebut, yaitu :
    1. jabatan rangkap
    2. pemilikan saham
    3. serta penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
  6. Masalah susunan, tugas dan fungsi Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 memuat perumusan status, keanggotaan, tugas, wewenang, dan pembiayaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
  7. Perumusan tata cara penanganan perkara persaingan usaha oleh KPPU. Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 memuat perumusan
    1. penerimaan laporan,
    2. pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan
    3. pemeriksaan terhadap pelaku usaha dan alat-alat bukti, jangka waktu pemeriksaan
    4. Putusan Komisi
    5. Kekuatan putusan komisi
    6. Upaya hukum terhadap putusan komisi
  8. Ketentuan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelau usaha yang telah melanggar ketentuan dalam undang-undang. Pasal 47 sampai dengan Pasl 49 memuat macam sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha, yaitu :
    1. administratif
    2. pidana pokok
    3. pidana tambahan
  9. Perumusan perbuatan atau perjanjian yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang dan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara dan/atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah. Pasal 50 memuat ketentuan yang dikecualikan dari undang-undang dan Pasal 51 memuat ketentuan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara.
  10. Hal-hal yang menyangkut pelaksanaan undang-undang, yaitu perumusan ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Pasal 52 mengatur bahwa pelaku usaha yang telah membuat dan/atau melakukan kegiatan dan/atau tindakan yang tidak sesuai dengan undang-undang diberi waktu untuk menyesuaikan selama 6 (enam) bulan sejak undang-undang diberlakukan. Sedangkan Pasal 53 mengatur mulai berlakunya undang-undang, yaitu terhitung sejak 1 (satu tahun sesudah undang-undang diundangkan oleh pemerintah, yaitu tepatnya 5 maret 2000.
Dalam pengaturan persaingan ditetapkan norma larangan memiliki dua sifat yang harus dimasukkan dalam pengaturan undang-undang, yaitu larangan yang bersifat per se illegal dan yang bersifat rule of reason.
Berbagai literatur tentang hukum persaingan usaha sering disinggung mengenai rule of reason dan per se tersebut. Dalam literatur tersebut rule of reason dan per se dibahas serba sedikit untuk memberikan pemahaman dan perbandingan hukum persaingan usaha (competition law) yang berlaku di Amerika. Dikemukakan dalam literatur tersebut bahwa kedua prinsip tersebut merupakan pendekatan untuk melakukan penilaian terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Sherman Act, Clayton Act, Federal Trade Commission Act – Antitrust Law (Asril Sitompul, 1999; 9, Elyta Ryas Ginting, 2001; 28).
Pengertian Rule of Reason dan Per Se Rule
Asri Sitompul mendefinisikan rule of reason adalah suatu pendekatan dengan menggunakan pertimbangan akan akibat suatu perbuatan, apakah mengakibatkan praktek monopoli dan akan menimbulkan kerugian dipihak lain. Sedangkan Susanti Adi Nugroho rule of reason adalah pertimbangan yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan dimana penggugat dapat menunjukkan akibat-akibat yang menghambat persaingan, atau kerugian nyata terhadap persaingan. Dari dua definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa rule of reason merupakan (a) suatu pertimbangan hakim untuk menentukan apakah suatu perbuatan tertentu melanggar hukum persaingan atau tidak, (b) prinsip yang akan digunakan untuk menentukan perbuatan tertentu melanggar atau tidak didasarkan pada akibat yang muncul dari perbuatan yaitu menghambat persaingan atau melahirkan kerugian pada pelaku usaha lain.
Per se rule didefinisikan oleh Asril Sitompul suatu pendekatan dimana perbuatan dinyatakan sebagai pelanggaran dan dapat dihukum tanpa perlu melakukan pertimbangan apakah perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian atau menghambat persaingan. Sedangkan Susanti mendefinisikan per se rule sebagai larangan yang jelas dan tegas tanpa mensyaratkan adanya pembuktian mengenai akibat-akibatnya atau kemungkinan akibat adanya persaingan. Dari kedua definisi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan per se rule adalah perbuatan tersebut secara jelas dan tegas akan dianggap pelanggaran oleh hakim tanpa melihat apakah terdapat akibat yang merugikan atau menghambat persaingan.
Syamsul Maarif (2002) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan rule of reason adalah bahwa suatu larangan yang baru berlaku apabila suatu kegiatan usaha dapat menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Larangan bersifat Per se adalah larangan yang memang secara alamiah dilarang tanpa perlu dikaitkan dengan dampak kegiatan tersebut pada persaingan karena pada dasarnya memang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.
 Para ahli hukum persaingan usaha Indonesia dalam memberikan definisi rule of reason dan per se rule dapat melakukannya secara tepat namun hanya sebatas memberikan definisi tanpa melihat latar belakang kemuncullannya. Berbeda dengan penulis dari AS yang selalu melihat rule of reason dan per se rule secara kontekstual artinya prinsip tersebut muncul karena putusan hakim dalam mengadili suatu perkara persaingan usaha. J. David Reitzel (2001; 965)  secara lengkap dikutip pemahaman Reitzel mengenai rule of reason adalah sebagai berikut;
Kesadaran penulis akan arti penting rule of reason dan per se dalam hukum persaingan di Amerika tidak diwujudkan dalam mencari pengertian kedua prinsip tersebut dalam kerangka perjalanan sejarah hukum persaingan. Rule of reason dan per se bagi para penulis seolah-olah menganggap keberadaannya hanya sekedar untuk menentukan suatu perbuatan atau kegiatan dalam rumusan UU Persaingan Usaha termasuk dalam klasifikasi tertentu. Padahal dalam pembentukan kedua prinsip tersebut muncul dari penafsiran hakim yang termuat dalam suatu putusan pengadilan. Keputusan hakim untuk substansi kasus yang sama dapat didekati dengan prinsip yang berbeda, dengan kata lain apabila di suatu waktu misalnya horizontal
1. Larangan yang Bersifat Per Se Ilegal
Larangan yang bersifat per se rule adalah bentuk larangan yang tegas dalam rangka memberikan kepastian bagi para pelaku usaha dalam memaknai norma-norma larangan dalam persaingan usaha. Dalam praktik, pengaturan ini berguna agar pelaku usaha sejak awal mengetahui rambu-rambu larangan terhadap perbuatan apa saja yang dilarang dan harus dijauhkan dalam praktik usahanya guna menghindari munculnya potensi resiko bisnis yang besar di kemudian hari sebagai akibat pelanggaran terhadap norma-norma larangan tersebut.[45]
Perbuatan-perbuatan sebagai manifestasi perilaku para pelaku usaha yang secara tegas dilarang (per se illegal) antara lain menetapkan berbagai bentuk perjanjian yang dilarang (Bab III) dan kegiatan yang dilarang (Bab IV), tegasnya aturan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 15, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999. Apabila para pelaku usaha tidak mampu mengandalikan dirinya dan melanggar ketentuan hukum yang mengaturnya (per se illegal), maka KPPU cukup membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran. Dengan demikian pelaku usaha yang bersangkutan sudah dianggap telah melakukan perbuatan yang dilarang tanpa melihat lagi efek yang ditimbulkannya. Pelanggaran terhadap larangan yang bersifat per se, ancaman pidana pokoknya lebih rendah dari pada pelanggaran terhadap larangan yang bersifat rule of reason (vide Pasal 48). Hal ini dapat dipahami karena proses pembuktiannya tidak serumit proses pembuktian terhadap larangan yang bersifat rule of reason.
2.  Larangan yang Bersifat Rule of Reason
Dalam lingkup doktrin rule of reason, jika suatu kegiatan yang dilarang dilakukan oleh seorang pelaku usaha dilihat seberapa jauh efek negatifnya. Jika terbukti secara signifikan adanya unsur yang menghambat persaingan, baru diambil tindakan hukum. Ciri-ciri pembeda terhadap larangan yang bersifat rule of reason, pertama dalah bentuk aturan yang menyebutkan adanya persyaratan tertentu yang harus terpenuhi sehingga memenuhi kualifikasi adanya potensi bagi terjadinya praktik monopoli dan atau praktik persaingan usaha yang tidak sehat seperti yang dapat ditemukan dalam Pasal 4, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 26, dan Pasal 28 UU No. 5 Tahun 1999. Ciri kedua adalah apabila dalam aturan tersebut memuat anak kalimat “patut diduga atau dianggap”. Pengaturan seperti itu dapat ditemukan dalam Pasal 4 angka (2), Pasal 13 angka (2), Pasal 17 angka (2), dan Pasal 18 angka (2).
Perbuatan-perbuatan dan kegiatan yang dilarang dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999 yang bersifat rule of reason antara lain apabila pelaku usaha melakukan beberapa hal berikut.
  1. Perjanjian yang bersifat oligopoli (Pasal 4)
  2. Perjanjian pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar (Pasal 9)
  3. Perjanjian yang bersifat kartel (Pasal 11)
  4. Perjanjian yang bersifat trust (Pasal 12)
  5. Perjanjian yang bersifat oligopsoni (Pasal 13)
  6. Kegiatan usaha yang melakukan praktik Monopoli (Pasal 17)
  7. Kegiatan usaha yang melakukan praktik monopsoni (Pasal 18)
  8. Kegiatan penguasaan pasar (Pasal 19)
  9. Kegiatan menjual di bawah harga pokok (predatory pricing) dalam Pasal 20
  10. Jabatan rangkap dalam perusahaan-perusahaan yang saling bersaing (interlocking directorate) dalam Pasal 26
  11. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perusahaan lain (Pasal 28)
Tentang Sifat Pelarangan Tindakan Anti Monopoli dan Persaingan Curang
No
Tindakan yang dilarang
Pasal
Rule of Reason / Per Se
1.
Olipoli
4
RR dengan Presumsi
2.
Penetapan Harga
5 s.d. 8
RR dan PS
3.
Pembagian Wilayah
9
RR tidak tegas
4.
Pemboikotan
10
RR
5.
Kartel
11
RR tidak tegas
6.
Trust
12
RR tidak tegas
7.
Oligopsoni
13
RR dengan Presumsi
8.
Integrasi Vertikal
14
RR tidak tegas
9.
Perjanjian Tertutup
15
PS
10.
Perjanjian Luar Negeri
16
RR tidak tegas
11.
Monopoli
17
RR dengan Presumsi
12.
Monopsoni
18
RR dengan Presumsi
13.
Penguasaan Pasar
19 s.d. 21
RR tidak tegas
14.
Persekongkolan
22 s.d .24
RR  dan PS
15.
Posisi Dominan Umum
25
RR dengan Presumsi
16.
Jabatan Rangkap
26
RR tidak tegas
17.
Pemilikan Saham
27
RR
18.
Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi
28 s.d. 29
RR tidak tegas
Keterangan :
– Rule of Reason dilihat dari kata-kata “Mengakibatkan” terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
– Per Se dilihat dari tidak adanya persyaratan yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
– Rule of  Reason Tidak Tegas karena dipergunakan kata-kata “Dapat” mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
Perbandingan  penentuan prinsip rule of reason dan per se
antara KPPU dengan Susanti Adi Nugroho
Rule of  Reason
Per se rule
KPPU
Susanti
KPPU
Susanti
Oligopoli
Oligopoli**
Price fixing
Penetapan harga
Predatory pricing
Penetapan harga
Diskriminasi harga
Perjanjian tertutup
Pembagian  wilayah
Pembagian wilayah*
Perjanjian tertutup
persekongkolan
Kartel
Kartel*
Persekongkolan

Trust
Trust*
Posisi dominan untuk Pasal 25 (1)

Oligopsoni
Oligopsoni**
Posisi dominan untuk Pasal 26 huruf a dan b

Integrasi vertikal
Integrasi vertikal*


Perjanjian dengan pihak luar negeri
Perjanjian dengan pihak luar negeri


Monopoli
Monopoli**


Monopsoni
Monopsoni**


Penguasaan pasar
Penguasaan pasar*


Jabatan rangkap
Posisi dominan**


Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan
Boikot



Persekongkolan


Selanjutnya, untuk mengetahui baik atau buruk dari apa yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, termasuk dalam bidang bisnis. Secara normatif-etis telah berkembang tiga teori dasar sebagai berikut :
(1) Teori Ethical Egoism
(2) Teori Ethical Altruism
(3) Teori Utilitarianism
(Regan, Tom, 1984:20)
Penjelasan dari masing-masing teori adalah sebagai berikut :
(1) Teori Ethical Egoism
Terori ini hanya melihat terhadap si pelaku  sendiri. Dalam hal ini teori tersebut mengajarkan bahwa benar atau salah dari sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang diukur dari apakah hal tersebut mempunyai dampak yang baik atau buruk terhadap orang tersebut itu sendiri. Bagaimana dampak dari perbuatan tersebut bagi orang lain tidak relevan, kecuali jika akibat terhadap orang lain tersebut akan mengubah dampak terhadap si pelaku tersebut.
(2) Teori Ethical Altruism
Teori ini lebih menitikberatkan kepada kepentingan dari pihak lain dari pihak yang melakukan suatu perbuatan. Menurut teori ini, apakah seseorang telah melakukan sesuatu perbuatan yang secara moral terbilang benar atau salah bergantung bagaimana dampak dari perbuatan tersebut terhadap pihak lainnya. Perbuatan tersebut dianggap benar jika berdampak baik bagi pihak lain. Demikian juga sebaliknya. Bagaimana dampak dari perbuatan tersebut bagi si pelakunya tidak relevan untuk dipertimbangkan, kecuali jika bagaimana dampak terhadap pihak lain tersebut mempunyai dampak yang dapat membalikkan dampak terhadap si pelaku tersebut.

(3) Teori Utilitarianism
Teori ini lebih menitikberatkan kepada manfaat dari setiap tindakan terhadap seluruh atau sebagian besar orang. Menurut teori ini, benar atau salah sesuatu perbuatan diukur dari apakah perbuatan tersebut berdampak baik atau buruk kepada setiap orang, baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri.
Tindakan monopoli itu memang harus diatur oleh hukum, karena dengan praktek bisnis yang berdasarkan atas monopoli mempunyai banyak kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah sebagai berikut :
(a) Ketinggian harga
Dengan monopoli akan terjadi suatu ketinggian harga-harga di pasar. Tingginya harga ini diakibatkan oleh tidak adanya kompetisi pasar. Hal ini akan mendorong timbulnya inflasi sehingga dapat merugikan masyarakat secara luas.
(b) Excess profit
Karena tidak ada saingan, maka dengan monopoli, suatu harga dapat ditentukan seenak-enaknya, sehingga monopoli tersebut sangat berpotensial timbulnya keuntungan yang berlebih-lebihan, Karena itu pula, suatu monopoli dianggap sebagai suatu pranata ketidakadilan.
(c) Eksploitasi
Eksploitasi dapat terjadi baik terhadap buruh dalam bentuk upah, tetapi terlebih-lebih terhadap konsumen, karena rendahnya mutu produk dan hilangnya hak pilih dari konsumen, karena tidak ada kompetisi di antara pihak produsen barang.
(d) Pemborosan
Perusahaan monopoli cenderung kepada pemborosan karena tidak beroperasi pada everage cost yang minimum. Hal ini menyebabkan ketidakefisienan perusahaan, dan akhirnya cost tersebut ditanggung konsumen.
(e) Entry barrier
Monopoli akan menguasai pangsa pasar yang besar. Hal ini akan mengakibatkan perusahaan lain terhambat untuk bisa masuk ke bidang-bidang operasi perusahaan monopoli tersebut, dan gilirannya nanti akan mematikan perusahaan kecil dan/atau perusahaan pemula.
(f) Ketidakmerataan pendapatan
Monopoli dapat mengakibatkan timbulnya unsur akumulasi modal dan pendapatan dari usaha monopoli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar