PENGERTIAN
POSISI DOMINAN DAN BENTUK YANG DI LARANG DALAM PELAKU USAHA.
Posisi Dominan adalah suatu keadaan dimana pelaku usaha dalam memasarkan
produknya tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar yang bersangkutan dalam
kaitan dengan pangsa pasar yang di kuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi
tertinggi di antara pesaingnya di pasar yang bersangkutan dalam kaitan dengan
kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan dan penjualan, serta kemampuan
untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang dan jasa tertentu.
Posisi
Dominan dapat menyebabkan terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
Bentuk
Bentuk Posisi Dominan dan Penyalahgunaannya
Berdasar
Undang-Undang No.5 Tahun 1999, Bentuk-Bentuk Posisi Dominan yang dilarang dalam
dunia usaha karena dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat dapat dibedakan menjadi 4 bentuk.
Ke 4 bentuk Posisi Dominan tersebut adalah :
1. Posisi Dominan yang bersifat umum / Pasal 25
ayat (1) dan ayat (2)
a. Pasal
25 ayat (1) : “pelaku usaha dilarang menggunakan Posisi Dominan baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk :
- Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan /atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan /atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas
- Membatasi pasar dan pengembangan teknologi
- Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
b.
Pasal 25 ayat (2) : “pelaku usaha yang memiliki posisi dominan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) apabila :
- Satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar 1 jenis barang atau jasa tertentu.
- Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
2. Posisi Dominan karena jabatan rangkap
Praktik
Monopoli dan/ atau Persaingan Usaha Tidak Sehat dapat terjadi disebabkan oleh
adanya Posisi Dominan.
Dalam
Undang-Undang Antimonopoli, dilarang adanya jabatan rangkap dari seorang
direksi atau komisaris suatu perusahaan. Larangan mengenai jabatan rangkap ini
diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Antimonopoli yang berisi :
“Seseorang
yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan,
pada waktu bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada
perusahaan lain, apabila perusahaan perusahaan tersebut :
- berada dalam pasar bersangkutan yang sama,
- memiliki keterkaitan erat dalam bidang dan/ atau jenis usaha, atau perusahaan-perusahaan tersebut saling mendukung atau berhubungan langsung dalam proses produksi, pemasaran, atau produksi dan pemasaran.
- secara bersama dapat, menguasai pangsa pasar barang dan/ atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Posisi Dominan karena pemilikan saham mayoritas
Kepemilikan
saham seseorang di suatu perusahaan juga membuka peluang terjadinya Posisi
Dominan yang dapat menimbulkan praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha
tidak sehat.
Larangan
posisi dominan karena pemilikan saham diatur dalam Pasal 27 Undang – Undang
No.5 Tahun 1999 yang menyatakan :
“Pelaku
Usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang
melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang
sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang
sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut
mengakibatkan :
- Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
- Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
4. Posisi Dominan karena pengambilalihan
Penggabungan
atau peleburan suatu badan usaha itu dilarang dalam Undang – Undang
Antimonopoli apabila dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/ atau persaingan
usaha tidak sehat.
Ketentuan
dalam Undang-Undang Antimonopoli yang melarang perbuatan tersebut adalah Pasal
28 dan Pasal 29 Undang – Undang No.5 Tahun 1999.
Pasal
28 ayat (1) :
“pelaku
usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak
sehat”
Pasal
28 ayat (2) :
“pelaku
usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan / atau persaingan usaha tidak
sehat”
Pasal
28 ayat (3) :
“ketentuan
lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha sebagaimana dimaksud
ayat (1), dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana
dimaksud ayat (2) pasal ini, diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Yang
dimaksud dengan badan usaha dalam ketentuan pasal 28 ayat (1) di atas adalah
perusahaan atau bentuk usaha, baik yang berbentuk badan hukum (mis perseroan
terbatas) maupun bukan badan hukum, yang menjalankan satu jenis usaha yang
bersifat tetap dan terus – menerus dengan tujuan untuk memperoleh laba.
Selain
Pasal 28, penggabungan, peleburan dan pengambilalihan ini juga diatur dalam
Pasal 29 Undang – Undang Antimonopoli.
Ketentuan Pasal 29 itu menyatakan :
Pasal
29 ayat (1) :
“panggabungan
atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 yang berakibat nilai asset dan/ atau nilai penjualannya melebihi
jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada komisi, selambat – lambatnya 30
(tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan dan pengambilalihan
tersebut”.
Pasal
29 ayat (2) :
“ketentuan
tentang penetapan nilai asset dan/ atau nilai penjualan serta tata cara
pemberitahuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah”
Ketentuan
tentang posisi dominan terutama yang berkaitan dengan penggabungan (merger),
peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi) dalam ketentuan Pasal
28 ayat (1), (2), dan (3) Undang Undang
No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat atau Undang-Undang Antimonopoli sebagaimana diuraikan di atas adalah
berkaitan dengan ketentuan Pasal 126 ayat (1) Undang-Undang No.40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.
Ketentuan
Pasal 126 ayat (1) Undang – Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
berbunyi :
“perbuatan
hukum penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan wajib
memerhatikan kepentingan :
a.
Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan
b.
Kreditor dan mitra usaha lainnya dari perseroan, dan
c.
Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
Contoh
Penyalahgunaan Posisi Dominan (abuse of dominant position)
Seorang
pelaku usaha “x” adalah seorang pengusaha, si “x” memiliki pabrik pengolahan
kelapa sawit. Agar dapat menguasai pasar kelapa sawit, si “x” membeli semua
pabrik pengolahan kelapa sawit di daerahnnya sehingga menyebabkan pengolahan minyak
kelapa sawit menjadi produk hilir (siap pakai) dikuasai oleh pelaku usaha “x”.
setelah pelaku usaha “x” menguasai semua pabrik pengolahan kelapa sawit, si “x”
bisa melakukan penetapan dan diskriminasi harga pembelian TBS (tandan buah
segar). Dalam hal ini, petani ataupun pelaku usaha perkebunan kelapa sawit di
daerahnya terpaksa harus menjual TBS dengan harga yang telah ditetapkan oleh si
“x”, hal ini dikarenakan semua pabrik pengolahan kelapa sawit di daerahnya
telah menjadi milik pelaku usaha “x”, begitu juga dengan produk hilir (barang
siap pakai) di daerahnya yang dibuat dari minyak kelapa sawit. Penetapan harga,
diskriminasi harga, kualitas produk dsb dikuasai oleh pelaku usaha “x” yang
memiliki posisi dominan dalam pasar pengolahan kelapa sawit di daerahnya.
KESIMPULAN
Posisi
Dominan adalah keadaan dimana pelaku usaha tidak memiliki pesaing dalam pangsa
pasar yang dikuasai. Posisi Dominan dapat menyebabkan terjadinya praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hal ini dapat terjadi apabila si
pelaku usaha tidak memiliki lagi menguasai pasar produk tertentu-pesaing.
Praktik
monopoli dapat terjadi dikarenakan tidak adanya pesaing sehingga konsumen atau
pelaku usaha dengan skala yang lebih kecil ketika ingin membeli barang / jasa,
hanya dapat membeli melalui pelaku usaha yang memiliki posisi dominan tersebut.
Persaingan
usaha tidak sehat dapat terjadi dikarenakan Posisi Dominan seorang pelaku usaha
yang memiliki barang / jasa tertentu sehingga si pelaku usaha dapat melakukan
penetapan harga, diskriminasi harga, perjanjian dengan persyaratan, pembagian
wilayah dsb yang termasuk ke dalam kegiatan yang dilarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar