Rabu, 17 Februari 2016

Perjanjian Perkawinan menurut Hukum Islam



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup rnanusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga.
Perkawinan adalah salah satu asas pokok hidup yang terutama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna, bukan saja perkawinan itu satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan turunan, tetapi perkawinan itu dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum der.qan yang lain. Serta perkenalan itu akan menjadi jalan buat menyampaikan kepada bertolong-tolongan            antara  satu dengan yang lainnya. Dengan berumah tangga, maka terbinalah kekeluargaan, melestarikan rasa cinta antara keluarga dan makin kuatlah hubungan kemasyarakatan.
Perkawinan merupakan suatu lembaga penting dalam kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa tanpa perkawinan tidak mungkin terjadi kehidupan. manusia yang berkesinambungan. Perkawinan adalah suatu wujud hidup bersama yang mempunyai akibat yang sangat penting didalam masyarakat. Perkawinan tidak hanya menyebabkan dua orang membentuk suatu kesatuan masyarakat kecil dalam sebuh keluarga tetapi juga membawa akibat hukum bagi anak-anak yang kemudian dilahirkan dalam perkawinan itu dan juga akibat-akibat hukum lainnya.
Perkawinan merupakan jalan yang paling bermanfaat dan paling afdhal dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu'alaihi wassallam mendorong untuk mempercepat nikah, memberantas kendala-kendalanya. Islam mengutamakan diri pribadi seseorang untuk menjaga jiwa, agama, kehormatan, kekayaan, pikiran dan tanah air dan melarang menjerumuskan diri ke jurang kebinsaan.
Islam adalah agama yang syumul (universal) yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah dalam kehidupan ini yang tidak dijelaskan dan disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Islam menjelaskan arti dari segala perintah dan larangan. Pada umumnya setiap yang baik diperintahkan untuk dilakukan dan ditegakkan. Sebaliknya semua yang tidak baik dan ada bahayanya dilarang dan dicegah melakukannya. Setiap yang baik atau yang tidak baik diberi definisi dan batas­-batasnya.
Dalam masalah perkawinan, agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail.
Syariat Islam memandang bahwa perkawinan itu adalah ibadah, dalam arti sarana dan bentuk pengejawantahan diri dalam mengabdi kerada Allah melalui dan menqikuti sunah Rasul-Nya.

Menurut hukum Islam, pernikahan atau perkawinan ialah :
"Suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan Hukum Syari’at Islam”[1]

Apabila perkawinan telah berlangsung dan sah memenuhi syarat dan rukunnya, maka akan menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, akan menimbulkan juga hak serta kewajibannya selaku suami isteri dalam keluarga, yang meliputi hak suami isteri secara bersama, hak suami atas isteri, dan hak isteri atas suami.
Jika suami dan isteri sama-sama menjalankan tanggungjawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah ketenteraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan hidup berumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berkeluarga akan terwujud sesuai dengan tuntutan agama, yaitu sakinah, makaddah dan warahmah.
Manusia menginginkan perkawinan yang mereka aiarni hanya akan terjadi sekali dan untuk selamanya sampai kematian memisahkan mereka. Sehingga tepatlah apabila tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Namun demikian tidak dapat kita pungkiri bahwa untuk mempertahankan suatu mahligai perkawinan yang sesuai dengan tujuan perkawinan dan ketentuan pergaulan suami-isteri yang diharapkan dalam agama Islam itu tidaklah mudah. Ikatan perkawinan antara suami-isteri menimbulkan hak dan kewajiban antara mereka dengan masyarakat luas, juga dengan anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan itu, serta menyangkut pula hubungan mereka dengan harta benda perkawinan.
Pada dasarnya perkawinan bertujuan untuk mempersatukan hidup dua manusia untuk membina jiwa dan raga hingga mendapatkan ketenteraman abadi dari hidup sarnpai mati, tetapi tidak dapat dipungkiri akan timbulnya berbagai. hambatan dalam usaha memadukan kepribadian dan keinginan antara pasangan suami-isteri tersebut.
Dalam suatu perkawinan akan dipertemukan dua jenis manusia, yaitu laki-laki dan perempuan yang  demikian kepribadian dan keinginan yang berbeda satu sama lainnya. Apabila timbul suatu hambatan yang dapat merusak perkawinan tersebut hendaknya segera diselesaikan sehingga perkawinan tersebut dapat dipertahankan dan tidak menimbulkan perceraian sebagai suatu jalan keluar terakhir yang akan ditempuh.
Ikatan perkawinan antara suami-isteri rnenimbulkan hak dan kewajiban antara mereka dengan masyarakat luas, juga dengan anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan itu, serta menyangkut pula hubungan mereka dengan harta kekayaan. Harta kekayaan suami-isteri tersebut disadari dapat atau potensial menimbulkan masalah-masalah hukum. Permasalatlan tersebut dapat terjadi menyangkut mereka berdua maupun yang menyangkut pihak lain (pihak ketiga). Untuk mencegah timbulnya masalah, langkah preventif telah ditempuh dengan diatur perihal harta kekayaan itu dalam suatu perjanjian yang lazim disebut "Perjanjian Perkawinan”.
Perjanjian Perkawinan ini dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan dibuat oleh seorang lelaki dan perempuan yang hendak kawin itu, calon suami dan istri dibebaskan untuk mengatur akibat hukum yang timbul karena perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian perkawinan itu serdiri dapat melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak, melindungi akibat hukum dari perceraian dan kematian, alat untuk memperjelas hak dan kewajiban.
Dengan melihat hal-hal yang terurai di atas, penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai Perjanjian Perkawinan yang akan ditinjau menurut hukum Islam mengingat pasangan suami-isteri yang beragama Islam masih jarang membuat perjanjian perkawinan tersebut.
Dalam penelitian ini difokuskan pada masalah perjanjian perkawinan dalam perspektif hukum Islam khusus mengenai kedudukan harta kekayaan suami-isteri, baik yang ada sebelum maupun yang timbul selarna perkawinan.
Keseluruhan masalah di atas akan penulis coba uraikan dalam suatu tulisan berjudul "Perjanjian Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam".

B.     Pokok Permasalahan
Berdasarkan ketertarikan penulis terhadap persoalan yang menyangkut perjanjian perkawinan, maka penulisan skripsi ini perlu diberikan batasan-batasan mengenai hal-­hal yang harus diuraikan, agar permasalahan yang akan dibahas dapat dipecahkan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Seperti yang telah diuraikan di atas dan sesuai dengan tema skripsi ini, permasalahan yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
a.       Bagaimana kedudukan harta suami isteri dalarn perkawinan?
b.      Bagaimanakah penerapan perjanjian syirkah pada persoalan harta suami isteri?
c.       Dimanakah pengaturan perjanjian perkawinan dalam hukum Islam?
d.      Bagaimana bentuk dan isi perjanjian perkawinan dalam praktek?

C.    Tujuan Penulisan
Sesuai dengan permasalahan pokok yang ada dalam penulisan ini maka tujuan dari penulisan ini adalah :
1.      Untuk mengetahui dan menjelaskan kedudukan harta suami-isteri dalam perkawinan.
2.      Memberi pengetahuan lebih mendalam tentang pengaturan perjanjian perkawinan dalam hukum Islam.
3.      Untuk mengetahui dan menjelaskan penerapan perjanjian syirkah pada persoalan harta suami istri.
4.      Untuk mengetahui bentuk dan isi perjanjian perkawinan dalam praktek.
Jadi tujuan penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk dapat memberikan masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan persoalan mengenai perjanjian perkawinan dan juga untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Satyagama.
D.    Kerangka Teoritis dan Konsepsional
  1. Kerangka Teoritis
Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan menyuraikan teori-teori perjanjian perkawinan dikaitkan. dengan harta kekayaan suami isteri dalam perkawinan menurut hukum Islam.
Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Menurut hukum Islam
Dalam hukum Islam, tidak dikenal istilah perjanjian perkawinan,    hanya saja di dalam hukum Islam dikenal adanya suatu perjanjian yang dapat diterapkan dalam suatu perkawinan.
Pendirian hukum Islam terhadap perjanjian perkawinan ternyata dalam penerapar, syirkah terhadap persoalan suami-isteri dan perjanjian lain yang tidak kekayaan bertentangan dengan hukum Islam.
Mengenai perjanjian syirkah dikaitkan dengan harta kekayaan sualti-isteri, maka ada dua pendapat yang dikemukakan oleh dua orang pakar hukum Islam, sebagai berikut:
(1)   Sayuti Thal.ib, S.H.
Harta bawaan masing-masing pihak tetap menjadi milik dan dibawah kekuasaan masing-masing. Begitu pun hasil keuntungan dan kerugian dari harta bawaan itu tetap menjadi tanggung jawab masing-masing. Dalam hal kedua belah pihah ingin mengadakan penggabungan harta tersebut diperbolehkan dan sangat dianjurkan. Bentuk penggabungan dan penyatuan harta itu dilakukan dengan syirkah. Keuntungan dan kerugiar. yang timbul ditambahkan atau dibebankan pada harta syirkah itu. Hal tersebut berlaku pula atas perolehan masing-masing pihak secara tersendiri sesudah adanya ikatan perkawinan, yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan yang didapat atas usaha masing-masing atau secara usaha bersama merupakan harta bersama suami-isteri.[2]
(2)   Prof. Dr. Hazairin, S.H.
Menurut hukum Islam, harta yang diperoleh suami ­isteri karena usahanya adalah harta bersama, baik. Mereka bekerja bersama-sama atau suami saja yang bekerja sedangkan isteri mengurus rumah tangga beserta ar.ak-anak saja di rumah. Sekali mereka itu terikat dalam perjanjiar. perkawinan sebagai suami-isteri, maka semuanya merjadi bersatu, baik harta rnaupun anak-anak seperti yang diatur dalam Al-Qur'an: S.IV:21. Tidak perlu diiringi dengan syirkah, sebab perkawinan dengan ijab kabul serta memenuhi persyaratan lain-lainnya sepertinya adanya wali, saksi, mahar, walimah dan illanulnikah sudah dapat dianggap adanya syirkah antara suami-isteri itu.[3]
Pada dasarnya harta suami-isteri terpisah, baik harta bawaannya masing-masing atau harta yang diperoleh oleh salah seorang suami-isteri atas usahanya sendiri­sendiri maupun harta yang diperoleh salah seorang mereka karena hadiah atau hibah atau warisan sesudah mereka terikat dalam hubungan perkawinan.
Walaupun demikian telah dibuka kemungkinan syirkah atas harta kekayaan suami-isteri itu secara resmi dan menurut cara-cara tertentu. Suami-isteri dapat rnengadakan syirkah yaitu percampuran harta kekayaan yang diperoleh suami atau isteri selama masa adanya perkawinan atas usaha suami atau isteri sendiri-sendiri, atau atas usaha mereka bersama-sama. Begitupun mengenai harta kekayaan usaha sendiri-sendiri, sebelum perkawinan dan harta yang berasal bukan dari usaha mereka berdua, tetapi berasal dari pemberian atau warisan atau lainnya yang khusus teruntuk mereka masing-masing baik yang diperolehnya sesudah mereka berada dalam ikatan suami-isteri dapat puia mereka syirkahkan.
b.      Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Perjanjian Perkawinan dalam UUP diatur dalam satu pasal atau empat ayat, yaitu Pasal 29 UUP. Jumlah pasal yang mengatur tentang Perjanjian         Perkawinan ini di rasakan cukup sedikit kalau dibandingkan dengan pengaturan oleh Burgerlijk Wetboek  selanjutnya ditulis B.W. untuk materi yang sama. Oleh karena itu, apabila kita mengalami kesulitan yang berkaitan dengan Perjanjian Perkawinan karena tidak tercakup pengaturannya di dalam UUP, maka kita dapat menggunakan ketentuan mengenai Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam B.W. Dasar hukum penggunaan ketentuan Perjanjian Perkawinan B.W. adalah Pasa1 66 UUP.
  1. Kerangka Konsepsional
Adalah operation difination yang berfungsi untuk menghindarkan kerancuan pengertian. Sehubungan dengan hal tersebut, berikut ini diuraikan batasan-batasan operasionai istilah-istilah yang sering ditemukan dalam penulisan ini.
1.      Hukum adalah norma atau peraturan-peraruran yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik berupa kenyataan maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.[4]
2.      Islam adalah berserah diri atau taat sepenuh hati kepada kehendak Allah demi tercapainya kepribadian yang bersih dari noda, hubunga; yang harmcnis dengan Allah dan damai sesama manusia, untuk keselamatan dan kesejahteraan di dunia ini dan di akhirat kelak.[5]
3.      Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan rnenjadi bagian dari aga:na Islam. Agama Islam sendiri mempunyai tiga bidana, yaitu akidah, syariah, dan akhlak. Untuk menjelaskan akidah tirnbul ilmu kalam dan ushuluddin,untuk menjelaskan syariah muncul ilmu fikih dan untuk menjelaskan akhlak muncul ilmu tasawuf dan ilmu akhlak.[6]
4.      Syariah adalah seperangkat norma Illahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusi dengan benda dan alam lingkungan hidupnya.[7]
5.      Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suam-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[8]
6.      Mitsaaqan Ghaliizhan adalah ikatan (perkawinan) yang kokoh dan kuat, artinya suatu perkawinan seyogyanya tidak mudah putus.[9]
7.      KUA adalah Kantor Urusan Agama kecamatan yang biasa mencatat perkawinan yang terjadi di antara warganya yang beragama Islam. [10]
8.      Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam, sedangkan pengadilan adalah pengadiian agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan agama.[11]
9.      Pegawai Pencatat Nikah adalah yang berhak melakukan pengawasan atas nikah dan menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai olehnya.[12]
10.  Akad adaiah suatu macam perbuatan hukum yang dilakukan manusia yang karenanya timbullah beberapa hukum.[13]
11.   Akad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang disakasikan oleh dua orang saksi.[14]

12.  Syirkah adalah pengaturan persyarikatan atau perkongsian dalam perdagangan atau pemberian jasa.[15]


E.     Metode Penulisan
Untuk mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan dalam penyusunan tulisan ini, penulis telah mengadakan penelitian. Sebagaimana kita ketahui penelitian merupakan suatu kegiatan iimiah yang berkaitan dengan analisa dan Konstruksi, yang dilakukan secara metodelogis, sistematis dan konsisten untuk mengungkapkan kebenaran. Ciri-ciri ilmiah yang membedakannya dari kegiatan-k.egiatan lain juga bertujuan mengungkap kebenaran.
Dalam pembuatan tulisan ini penulis mengunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan membaca buku-buku/ literatur terlampir, perundang-undangar. serta hasil-hasil penelitian sebelumnya yang ada sangkut pautnya dengan tulisan yang akan dibuat untuk menemukan fakta. Sedangkan penelitian lapangan dengan kegiatan di luar kepustakaan, yaitu wawancara dan pencarian bahan di KUA, Catatan Sipil, Pengadilan Agama dan Kantor Notaris. Pilihan penelitian kepustakaan dan lapangan tersebut di atas dilakukan dengan pertimbangan bahwa tujuan dan data yang diperlukan dalam penelitian ini dapat dicapai.


F.     Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan penulisan ini terdiri dari lima Bab, diawali dengan  Bab I yang terdiri dari Pendahuluan yang berisi latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penulisan, kerangka konsepsional    dan teoritis, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II skripsi ini memuat tinjauan mengenai kedudukan harta dalam perkawinan menurut hukum Islam yang membahas pengertian perkawinan dalam Islam, juga memuat mengenai kedudukan harta suami-isteri dalam perkawinan dan akan diuraikan mengenai pengertian harta suami-isteri, macam-macam harta suami-isteri, hak dan kewijiban suami ­isteri terhadap harta tersebut.
Bab III sripsi ini menyajikan ketentuan Perjanjian Perkawinan dalam hukum Islam, baik mengenai pengertian perjanjian, unsur pembentuk, syarat-syarat dan penghalang suatu perianlian, juga akan diuraikan mengenai pengertian syirkah, bagaimana penerapan syirkah pada persoalan harta suami isteri dan uraian mengenai bentuk dan isi Perjanjian Perkawinan.
Dalam Bab IV akan memuat contoh Akta Perjanjian Perkawinan dalam praktek beserta analisa dalam perspektif hukum Islam.
Bab V yang merupakan bab Penutup skripsi ini memuat kesimpulan yang dirumuskan dari hasil penelitian serta analisis yang dilakukan di dalam bab terdahulu dan saran yang diberikan penulis untuk mengatasi permasalahan yang timbul berkaitan dengan Perjanjian Perkawinan.


BAB II
KEDUDUKAN HARTA DALAM PERKAWINAN
MENURUT HUKUM ISLAM

A.    Tinjauan Syariat Islam tentang Perkawinan
1.      Pengertian Perkawinan
Perkawinan dalam Islam dinamakan zawaj atau nikah. Zawaj artinya pasangan dalam arti mempertemukan dua jenis manusia menjadi pasangan hidup. Sebab arti nikah dalam bahasa ialah merangkul dan mempertemukan.[16]
Dalam syariat Islam kata nikah ini mendapatkan arti yang lebih menentukan yaitu akad nikah yang mengikat dengan rukun-rukun dan syarat-syarat yang menghalalkan dua jenis manusia untuk hidup secara halal dalam hubungan yang sah secara mendalam. Sebenarnya kata nikah dalam istilah bahasa Arab adalah bersetubuh tetapi dipakai untuk akad nikah ini adalah jalan yang wajar dan sah untuk melakukan tujuan daripada kata itu.[17]
Dalam bahasa Indonesia sehari-hari perkawinan disebut akad nikah yang berarti perjanjian suci untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk keluarga bahagia dan kekal (abadi).[18]
Pendapat lain menyebutkan bahwa perkawinan mengikat dengan rukun-rukun dan syarat-syarat yang menghalalkan dua jenis manusia untuk hidup secara halal dalam hubungan yang sah secara mendalam di mana terdapat persetubuhan yang menjaga hawa nafsu, mata dan pikiran dari sikap yang menjerumuskan dan membahayakan.[19]
Dalam pasal 1 Bab I Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan-selanjutnya disebut UUP dinyatakan :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[20]

Bermacam-macam pendapat yang dikemukakan orang mengenai perkawinan. Perbedaan di antara pendapat­pendapat itu tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan yang sungguh-sungguh antara satu pendapat dengan pendapat yang lain, tetapi memperluas wawasan berpikir dan bertindak untuk manusia mengutamakan yang lebih baik dari apa yang baik dan yang lebih aman untuk memelihara keutuhan perkawinan itu. Sebab perkawinan pada dasar dan tujuannya ialah mempersatukan hidup dua manusia untuk membina jiwa dan raga hingga mendapatkan ketentraman abadi dari hidup sampai mati.
Perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan Perkawinan dilihat dari segi hukum :[21]
1.      Dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian, dinyatakan ".....perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat....." disebut dengan kata-kata "mitsaqoon qholiidhoon". Juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya:
    1. Cara menandakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu.
    2. Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talaq, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.
2.      Segi sosial dari suatu perkawinan.
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum, ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dihargai dari mereka yang tidak kawin.
3.      Pandangan suatu perkawinan dari segi aaama atau segi yang sangat penting.

Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami­isteri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.
Perkawinan merupakan sunnatullan yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah saiah satu cara yang dipilih Allah SWT, sebagai jalan bagi mahukNya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.[22]
Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nisa: 1 yang artinya :
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang sa tu dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak...”


Allah SWT, tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anargik atau tidak aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, maka Allah SWT, mengadakan hukum sesuai dengan martabat tersebut. Dengan demikian, hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat berdasarkan kerelaan dalam suatu ikatan berupa perkawinan.
Bentuk perkawinan ini memberikan jalan yang aman pada naluri seksual untuk memelihara keturunan yang sah dalam masyarakat.
Agama Islam menetapkan bahwa untuk membangun rumah tangga yang damai dan teratur itu haruslah dengan perkawinan menurut ketentuan hukum Islam.
2.      Tujuan Perkawinan
Perkawinan Islam, setelah terdapat persetujuan antara dua jenis manusia untuk mengikat diri dalam hidup bersama yang halal, maka diadakanlah satu perjanjian yang utuh kukuh dengan iman dan keyakinan menerima syarat hidup dalam ikatan abadi dan pribadi.
Perkawinan itu adalah perjanjian bilateral yang mengikat dua makhluk berlainan jenis untuk mendirikan rumah tangga dengan tujuan memakmurkan dunia dan kelestarian hidup. Ini merupakan hidup panjang dengan penuh kepercayaan, sebab perkawinan dilakukan antara makhluk Allah satu sama lain.[23]
Tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.[24]
Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam selain memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketenteraman jiwa bagi yang yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab. bersangkutan, ketenteraman keluarga dan masyarakat.[25]
Dari rumusan di atas Filsuf Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah perkawinan dalam lima hal, yaitu :[26]
1.      Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.
2.      Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.
3.      Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.
4.      Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang.
5.      Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.

Pada dasarnya inti mengenai tujuan perkawinan yang disebutkan di atas tidak berbeda, untuk lebih jelasnya dapat kita lihat beberapa ayat-ayat A1-Qur'an dan Hadits yang berhubungan dengan perkawinan:




1.      Membentuk keluarga sakinah (Q.S.Rum:21):
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah itu, telah dijadikan jodoh buat kalian yang sejenis dengan kalian (bangsa manusia) agar kalian mendapat ketenteraman dan la telah jadikan cinta kasih diantara kalian dan itu semuanya merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah baagi mereka yang berfikir”.[27]

2.      Penerus keturunan (Q.S.An-Nahl: 72) :
“Dan dari isteri kalian itulah Tuhan jadikan anak cucu kalian serta Tuhan rizki yang baik buat kalian”.[28]

Dalam Q.S.Asy-Syura: 49-50, Allah SWT juga berfirman:
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki­laki dan perempuan (kepada siapa yang kehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa”.[29]

3.      Meninggalkan keturunan dalam keadaan kecukupan dan tidak menjadi beban masyarakat (Q.S. An-Nisa:9):
“Hendaknya orang-orang itu takut/khawatir apabila mereka meninggalkan keluarga/keturunannya dalam keadaan lemah dan mengkhawatirkan dalam hidupnya”.[30]

4.      Melaksanakan libido seksualis (Al-Baqarah:223):
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu...”.[31]


5.      Memperoleh kebahagiaan dan ketenteraman (Q.S.Al­-Araf:189):
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Dia menciptakan istrinya agar dia merasa senang kepadanya”.[32]

6.      Menjalankan perintah Allah (Q.S.An-Nisa:3) :
“..maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu sukai...” .[33]

Sabda-sabda Rasulullah SAW, mengenai perkawinan dapat kita jumpai sebagai berikut:
1.      Hadits riwayat A1 baihaqy dari Sa'ied bin Hilal Allaitsy:
"Kawinlah kamu, berketurunanlah kamu, sesungguhnya aku (Muhammad) bangga dengan kamu terhadap umat lain pada hari kiamat”. [34]

2.      Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim dari Ibn Mas'ud:
“Hai para pemuda, barang siapa di antaramu telah cukup bersiap untuk kawin, maka segeralah berkawin, karena perkawinan itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan, dan barang siapa tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat mengurangi svahwat”.[35]

3.      Hadits riwayat Atturmudzy dari Abu Hatim dan Abu Hurairah:
“Bila datang kepadamu seorang yang kemu pandang baik agamanya dan budi pekertinya, maka kawinkanlah dia. Kalau tidak demikian maka terjadi fitnah dan bahaya yang besar”.[36]

4.      Hadits riwayat Al Bukhary dan Muslim, dari Anas:
"Apa gerangan kamu berkata ini dan itu. Ingatlah Demi Allah, sungguh sayalah yang paling bertaqwa kepada Allah daripada kalian, namun saya ini melakukan shalat, tidur, berpuasa dan berbuka, serta berkawin”.[37]
5.      Hadits riwayat Bukhari:
“Jika seorang anak Adam telah meninggal, maka putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara, yaitu: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya”.[38]

6.      Hadits riwayat Ibnu Majah:
"Nikah itu adalah sunahku, maka barang siapa yang tidak mau mengikuti sunahku, dia bukan umatku”.[39]

Memperhatikan ayat-ayat A1-Qur'an dan Hadits Rasulullah SAW tersebut di atas jelas bahwa Islam menganjurkan perkawinan, agar terwujud keluarga yang besar yang mampu mengatur kehidupan mereka di atas bumi ini, dan dapat menikmati serta memanfaatkan segala yang telah disediakan Tuhan.
Jadi perkawinan adalah hal yang sakral, mengandung nilai ibadah, sunnatullah serta keabadian sepanjang hidup. Oleh sebab itu syariat Islam mengadakan beberapa peraturan untuk menjaga keselamatan perkawinan ini. Demikianlah maksud perkawinan yang sejati dalam Islam.
3.      Rukun dan Syarat Perkawinan
Menurut UUP Bab I pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Bagi umat Islam, perkawinan itu adalah sah apabila diiakuka:. mer.urut Hukum Perkawinan Islam. Suatu akad perkawinan dipandang sah apabila telah memenuhi segala rukun dan syaratnya sehingga keadaan akad itu diakui oleh hukum syara.
Perbedaan antara syarat dan rukun perkawinan ialah, bahwa rukun perkawinan sebagian dari hakikat perkawinan, seperti laki-laki, perempuan, wali, akad nikah dsb. Semuanya itu adalah sebagian dari hakikat perkawinan, dan tidak dapat terjadi suatu perkawinan, kalau tidak ada misalnya laki-laki atau perempuan. Maka demikian itu dinamai rukun perkawinan.
Adapun syarat ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan,tetapi tidak termasuk salah satu bagian dari pada hakikat perkawinan itu, misalnya syarat wali itu laki-laki, baligh, berakal, dsb.
Rukun akad perkawinan ada lima, yaitu:
1.      Calon suami, syarat-syaratnya :[40]
  1. Beragama Islam.
  2. Akil baligh.
  3. Tidak sedang berihram haji/umrah.
  4. Tidak mempunyai isteri empat, termasuk isteri yang masih dalam menjalani talak raj'iy.
  5. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan mempelai perempuan, termasuk isteri yang Tasih dalam menjalani iddah talak raj'iy.
  6. Tidak dipaksa.
  7. Bukan mahram calon isteri.
2.      Calon isteri,syarat-syaratnya :[41]
  1.  Beragama Islam atau ahli kitab.
  2. Akil baligh.
  3. Tidak sedang berihram haji/umrah.
  4. Belum pernah disumpah li'an oleh calon suami.
  5. Tidak bersuami atau tidak sedang menjalani iddah dari lelaki lain.
  6. Telah memberi ijin atau menunjukkan kerelaan kepada wali untuk menikahkannya.
  7. Bukan mahram calon suami.
3.      Wali pihak perempuan, syarat-syaratnya:[42]
  1. Beragama Islam jika calon isteri beragama Islam.
  2. Jelas ia laki-laki.
  3. Sudah baligh.
  4. Berakal.
  5. Tidak sedang berihram haji/umrah.
  6. Tidak mahjur bisafah (dicabut hak kewaliannya).
  7. Tidak dipaksa.
  8. Tidak rusak fikirannya.
  9. Tidak fasiq.
  10. Merdeka
Wali al-nikaah selalu laki-laki orangnya dan terdiri pula atas bermacam-macam:



1)      Wali nasab[43]
Artinya anggota keluarga laki-laki bagi calon pengantin perempuan yang mempunyai hubungan darah patrilinial dengan calon pengantin perempuan itu. Termasuk kedalamnya:
a.       Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya.
b.      Kelompok kerabat saudara laki-lar.i kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki­laki mereka.
c.       Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
d.      Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
2)      Wali hakim
Adalah penguasa atau wakil penguasa yang berwenang dalam bidang perkawinan. Biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen Agama. Dalam hal ditemui kesulitan untuk hadirnya wali nasab atau ada halangan-halangan dari wali nasab atas suatu perkawinan, maka seorang calon pengantin perempuan dapat mempergunakan bantuar. Wali Hakim baik melalui Pengadilan Agama atau tidak, tergantung pada prosedur yang dapat ditempuh.[44]

3)      Hakam
Dapat juga bertindak sebagai wali, seseorang yang masih masuk keluarga si perempuan walaupun bukan merupakan wali nasab, bukan mempunyai hubungan darah patrilineal dengan perempuan tersebut tetapi dia mempunyai pengertian keagamaan yang dapat bertindak sebagai wali perkawinan.[45]
4)      Muhakam
Adalah seorang laki-laki bukan keluarga dari perempuan tadi dan bukan pula dari pihak penguasa, tetapi mempunyai pengetahuan keagaamaan yang baik dan dapat menjadi wali dalam perkawinan.[46]
4.      Dua orang saksi laki-laki, syarat-syaratnya: [47]
a.       Beragama Islam.
b.      Sudah baligh.
c.       Berakal.
d.      Dapat menjaga harga diri.
e.       Tidak fasiq.
f.        Tidak ditentukan menjadi wali nikah.
g.      Memahami arti kalimat dalam ijab kabul.
h.      Merdeka

5.      Ijab dan kabul[48]
“Ijab akad perkawinan adalah serangkaian kata yang diucapkan oleh wali nikah atau wakilnya dalam akad nikah untuk menerima nikah calon suami atau wakilnya.”
Syarat-syarat ijab akad nikah adalah:
a.       Dengan kata-kata tertentu dan tegas, misalnya “Saya nikahkan...... atau saya kawinkan...... ".
b.      Diucapkan oleh wakil atau wakilnya.
c.       Tidak dibatasi dengan waktu tertentu, misalnya satu bulan, satu tahun dan sebagainya.
d.      Tidak dengan kata-kata sindiran.
e.       Tidak digantungkan dengan sesuatu hal, misalnya: “Kalau anakku...telah lulus sarjana muda maka saya menikahkan…...dengan engkau…...dengan mas kawin..”
f.        Ijab harus didengar oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik yang berakad maupun saksi­-saksinya.
Kabul akad perkawinan adalah serangkaian kata yang diucapkan oleh calon suami atau wakilnya dalam akad nikah, untuk menerima nikah yang disampaikan oleh wali nikah atau wakilnya.



Syarat-syarat kabul akad nikah adalah :
a.       Dengan kata-kata tertentu dan tegas, misalnya: "Saya terima nikahnya........ .
b.      Diucapkan oleh calon suami atau wakilnya.
c.       Tidak dibatasi oleh waktu tertentu, misalnya: "Saya terima nikahnya....untuk masa satu bulan dan sebagainya.
d.      Tidak dengan kata-kata sindiran.
e.       Tidak digantungkan oleh sesuatu hal.
f.        Beruntun dengan ijab, artinya kabul diucapkan segera, sete1ah ijab diucapkan, tidak boleh mendahuluinya, atau berjarak waktu, atau diselingi perbuatan lain sehingga dipandang terpisah dari ijab.
g.      Diucapkan dalam satu majelis dengan ijab.
h.      Sesuai dengan ijab, artinya tidak bertentangan dengan ijab.
i.        Kabul harus didengar oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik yang berakad meupun saksi­-saksinya.
Sahnya suatu perkawinan daiam hukum Islam adalah engan terlaksananya beberapa hal yang telah disebutkan ii atas, selain itu dalam rangka pelaksanaan suatu akad perkawinan, Hukum Islam mewajibkan calon suami untuk memberikan mahar kepada calon isteri.
Mahar atau sadaq adalah sesuatu yang diserahkan oleh calon suami kepada calon isteri dalam rangka akad perkawinan antara keduanya, (tetapi tidak menjadi rukun nikah) untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya. Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberikan hak kepadanya, diantaranya adalah hak untuk menerima mahar.[49]
Allah SWT berfirman dalam Q.S.An-Nisaa: 4, yaitu:[50]
“Berikanlah mas kawin atau (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.”
Juga berdasarkan firman Allah dalam Q.S.An-Nisaa: 25 yang artinya:
“Karena itu k.awinilah mereka de:gan seijin tuannya dan berilah maskawinnya menurut yang patut.”[51]
Para ahli hukum Islam bersepakat bahwa mahar adalah merupakan suatu hal yang wajib adanya dalam suatu akad perkawinan dan merupakan syarat sahnya akad perkawinan karenanya tidak sah suatu akad perkawinan jika yang bersangkutan bersepakat tidak adanya mahar dalam perkawinan itu.
4.      Larangan Perkawinan
Pada dasarnya seorang laki-laki Islam diperbolehkan kawin dengan perempuan mana saja tetapi diberikan batasan-batasan berupa larangan kawin karena perlainan agama, larangan kawin karena hubungan darah, karena hubungan persusuan, karena hubungan semenda yang timbul dari perkawinan yang terdahulu dan larangan poliandri.[52]

Larangan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam, yaitu:[53]
A.    Pasal 39:
1.      Karena pertalian nasab:
a.       dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya.
b.      dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu.
c.       dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
2.      Karena pertalian kerabat semenda:
a.       dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya.
b.      dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya.
c.       dengan seoranq wanita keturunan isteri atau bekas isterinya kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qabla               ad-dukhul.
d.      dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
3.      Karena pertalian sesusuan:
a.       dengan wanita yang menyusuinya garis lurus ke atas dan seterusnya menurut garis lurus keatas.
b.      dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah.
c.       dengan seorana wanita saudara kemenakan sesusuan, dan sesusuan ke bawah.
d.      dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas.
e.       dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:

B.     Pasal 40:
a.       karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
b.      seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
c.       seorang wanita yang tidak beragama Islam.

C.     Pasal 41:
1.      Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorana wanita yang Mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan isterinya:
a.       saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya.
b.      wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
2.      Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah         ditalak raj' iy, tetap i masih dari masa iddah.




D.    Pasal 43:
1.      Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:
a.       dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali.
b.      dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili’an.
2.      Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin denqan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba'da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
E.     Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

B.     Kedudukan Harta Dalam Perkawinan
1.      Pengertian Harta
Dari berbagai pendapat para fuqaha, dapat diambil kesimpulan mengenai pengertian harta, yaitu:[54]
a.       Harta (mal) adalah nama bagi yang selain manusia, yang ditetapkan untuk kemashalatan manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat, dapat dilakukan perbuatan hukum dengan jalan ikhtiar.
b.      Benda yang dijadikan harta itu, dapat oleh umum manusia atau oleh sebagian mereka.
c.       Sesuatu yang tidak dipandang harta, tidak sah kita menjualnya.
d.      Sesuatu yang dimubahkan walaupun tidak dipandang harta, seperti sebiji beras, sebiji beras tidak dipandang harta walaupun kita boleh miliki.
e.       Harta wajib mempunyai wujud. Karenanya manfaat tidak masuk ke dalam bagian harta, karena tidak mempunyai wujud.
f.        Benda yang dapat dijadikan harta, dapat disimpan untuk waktu tertentu, atau untuk waktu yang lama dan dipergunakan di waktu dia dibutuhkan.
Dari pendapat tersebut di atas, harta bersendi kepada dua asas dan dua unsur, yaitu: `ainiyah dan 'urf.
Yang dimaksud dengan 'ainiyah ialah harta itu merupakan benda, ada wujudnya dalam kenyataan, sedangkan 'urf ialah harta itu dipandang harta oleh manusia, baik oleh semua manusia ataupun sebagian mereka, dapat diberi atau tidak diberi.[55]
Maka sesuatu yang tidak berlaku demikian, tidaklah dipandang harta walaupun benda, seperti manus-ia yang merdeka, sepotong roti dan secupak tanah. Maka manusia itu walaupun merupakan suatu benda, suatu tubuh, namun tidak bisa dikatakan harta.
Sesuatu yang dipelihara manusia, dimilikinya, dapat diberi atau tidak dapat diberi, tetapi tidak bersifat benda, seperti manfaat dari suatu rumah atau dari suatu benda, maka tidak juga dipandang harta, hanya dinamai milik atau hak. Dan sudah terang bahwa suatu yang menurut 'urf dipandang harta, tentulah mempunyai qimah dan nilainya, karenanya tidaklah seseorang manusia memelihara sesuatu atau melindunginya, kecuali karena ada sesuatu manfaat, baik manfaat itu merupakan manfaat maddiyah, ataupun merupakan manfaat ma'nawiyah.[56]
Perkataan lain yang terdapat dalam definisi di atas berarti manfaat dan hak-hak yang mahdlah, yang dipandang, tidak termasuk dalam definisi harta.
Perkataan qimah maddiyah yang terdapat pada definisi di atas, be_rarti benda-benda yana tak bernilai, seperti sebiji beras atau sebiji padi, tidak termasuk dalam definisi harta.
Demikianlah keadaan sebiji beras dalam keadaan bentuknya yang asli. Tetapi sebiji beras umpamanya yang telah memiliki nilai tersendiri, atau memiliki nilai seni, umpamanya: sebuah benda yang sangat kecil tetapi mempunyai nilai tersendiri, maka pada waktu itu dapat dipandang harta yang bernilai. Contohnya: selembar copy yang ditulis oleh seorang ulama atau boleh seorang tokoh masyarakat yang kemudian kita jadikannya barang yang berharga. Selembar kertas biasa dengan tulisan biasa, tentu tidak bernilai.
Harta dalam pengertian yang umum menurut fiqh Islam terbagi kepada banyak bagian, karena ditinjau dari beberapa segi, yang masing-masing bagian itu mempunyai ciri-ciri sendiri dan hukum-hukum sendiri.
2.      Macam-macam Harta Suami-Isteri
1.      Harta bawaan/ harta pribadi
Yang dimaksud dengan harta bawaan/ harta pribadi adalah harta masing-masing suami-isteri yang telah dimilikinya sebelum mereka kawin baik berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka sendiri-sendiri maai7un harta yang dimilikinya sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan yang bukan merupakan atas dasar usaha sendiri-sendiri atau bersama-sama.[57]
Dalam hal harta bawaan atau harta pribadi antara suami dan isteri, pada dasarnya tidak ada percampuran antara keduanya (harta suami dan harta isteri) karena perkawinan.
2.      Harta bersama
Yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang mereka atau disebut harta pencaharian.[58]
Mengenai harta bersama tersebut sampai saat ini belum terdapat kesatuan pendapat tentang harta bersama antara suami-isteri, apakah ada atau tidak.
Ada pendapat yang mengemukakan tidak ada harta bersama kecuali melalui syirkah (perjanjian) antara suami-isteri yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Dalam perjanjian itu harus ditegaskan bahwa ada Harta bersama antara suami-isteri itu selama perkawinan berlangsung. Hal tersebut di atas didasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam ayat Al-Qur'an, yaitu:
1)      Q.S. An-Nisaa: 29[59]
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.”

2)      Q.S. An-Nisaa: 32[60]
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada  sebagian kamu lebih banyak daripada sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

3)      Q.S. An-Nisaa: 34[61]
“Bahwa suami kepala keluarga dan mempunyai kewajiban mutlak harus memberi nafkah kepada baik isteri maupun anak-anak.”

4). Q.S. An-Nisaa: 6[62]
"Berikanlah tempat tinggal kepada isteri (para isteri) kamu dimana kamu bertempat tinggal dan jangan kamu menyusahkan mereka.”

Karena isteri mendapat perlindungan baik tentang nafkah lahir, nafkah batin, moral dan material, maupun tempat tinggal, biaya pemeliharaan serta pendidikan anak­anak, menjadi tanggung jawab penuh suami sebagai kepala keluarga. Berarti sang isteri dianggap pasif menerima apa yang datang dari suami, maka tidak ada harta bersama antara suami dan isteri.
Sedangkan di lain pihak ada kecenderungan bahwa otomatis ada harta bersama antara suami-isteri itu selama perkawinan berlangsung baik mereka yang bekerja bersama­ sama maupun salah seorang saja dari mereka yang bekerja, sedangkan lainnya mungkin mengurus rumah tangga suami dan anak-anaknya.
Pendapat yang mengatakan bahwa ada harta bersama dalam perkawinan antara suami-isteri itu, bertitik tolak dari ayat-ayat Al-Qur'an antara lain sebagai berikut :
1.      Q. IV : 19:
“Pergaulilah isteri kamu itu secara makruf, dan manakala kamu benci kepadanya hendaklalh kamu bersabar, kemungkinan ketidaksetujuan kamu itu (benci) Allah akan menjadikan kepaanya kebaikan yang banyak.”[63]
2.      Q. IV: 21:
“Bahwa perkawinan itu adalah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh (Mitsaaqan ghaliizhan).”[64]

3.      Q. IV : 34:
"Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum wanita olleh karena Allah telah melebihkan sebagian laki-laki itu dari wanita, oleh sebab itu laki-laki sebagai suami adalah Kepala Keluarga dan berkewajiban membiayai isteri dan anak-anaknya atau keluarganya.”[65]

4.      Q. XXX : 21:
“Di antara tanda-tanda kekuasaan Tuhan diciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu supaya kamu cenderung dan merasa aman dan tenteram (sakinah), saling me::cintai (mawaddah) dan santun-menyantuni (rahmah).”[66]

5.      Q. II : 228:
Hak isteri seimbang dengan kewajiban suami yang diberikan kepadanya secara baik-baik (makruf).[67]

Bertitik tolak dari ayat-ayat Al-Qur'an tersebut, penulis seper.dapat dengan kesimpulan yang diambil oleh beberapa Sarjana Islam dewasa ini di Indonesia, terutama Sajuti Thalib, S.H. dan Prof. DR. Hazairin, S.H. (almarhum) bahwa menurut Hukum Islam harta yang diperoleh suami dan isteri karena usahanya, adalah harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama atau hanya sang suami saja yang bekerja sedangkan isteri hanya mengurus rumah tangga beserta anak-anak saja di rumah. Sekali mereka itu terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami isteri maka semuanya menjadi bersatu, baik harta maupun anak­anak, seperti yana diatur oleh Al-Qur'an Surah IV: 21, tidak perlu diiringi dengan syirkah, sebab perkawinan dengan ijab kabul serta memenuhi persyaratan lain-lainnya seperti adanya wali, saksi, mahar dan walimah sudat dapat dianggap adanya syirkah antara suami-isteri itu.
3.       Hak dan Rewajiban Suami-Isteri terhadap Harta
Apabila telah sah dan sempurna suatu ar:ac perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, maka sejak itu menjadi tetaplah kedudukan laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai isteri dan sejak itu pula suami memperoleh hak-hak tertentu beserta kewajiban-kewajiban tertentu pula, sebaliknya isteri memperoleh hak-hak tertentu beserta kewajiban-kewajiban tertentu pula.
Apa yang menjadi kewajiban bagi suami adalah menjadi hak bagi isteri, sebaliknya apa yang menjadi kewajiban isteri adalah menjadi hak bagi suami. Tentang hak-hak suami terhadap harta benda yang diperoleh atau dibawa sebelum akad perkawinan adalah tetap menjadi hak suami secara penuh untuk menguasainya dan bertindak hukum terhadap harta benda bawaannya itu setelah akad perkawinan, demikian pula hak-hak kebendaan yang diperoleh suami secara khusus baginya setelah akad perkawinan sebagai hadiah atau warisan, sedangkan harta benda yang diperoleh bersama selama perkawinan menjadi hak bersama dan diatur menurut persetujuan bersama secara adil.[68]
Terpisahnya harta suami-isteri itu memberikan hak yang sama bagi mereka mengatur hartanya sesuai dengan kebijaksanaannya masing-masing.
Terhadap harta pribadi maka masing-masing suami­ isteri bebas untuk menggunakannya baik dalam bentuk pernyataan maupun perbuatan, kecuali apabila pada harta pribadi tersebut terdapat juga hak orang lain. Maka penggunaannya harus memperhatikan hak orang lain yang terdapat pada harta pribadi tersebut.
Sementara itu untuk harta bersama, maka hak dari masing-masing suami atau isteri tersebut dibatasi pada suatu pernyataan atau perbuatan yang tidak akan merugikan salah satu.pihak, yaitu suami atau isteri.
Segala apa yang menjadi hak kehartaan istri maka suami tidak boleh mengganggu gugat dengan dalih apapun, atau menghabiskannya tanpa ijin isteri, demikian pula sebaliknya. Tentang hak-hak isteri terhadap harta benda yang diperoleh atau dibawa sebelum akad perkawinan adalah tetap menjadi hak isteri secara penuh untuk menguasair.ya, dan isteri berhak melakukan perbuatan hukum terhadap harta bawaannya itu dengan sepengetahuan suaminya, demikian pula hak-hak kebendaan yang diperoleh isteri secara khusus baginya setelah akad perkawinar, sebagai hadiah atau warisan, sedangkan harta benda yang diperoleh bersama selama perkawinan menjadi hak bersama dan diatur menurut persetujuan bersama secara adil.[69]
Masing-masing suami-isteri pada dasarnya berhak bertindak hukum terhadap hartanya sendiri, sedemikian rupa sehingga jika dasar ini berlaku dalam kehidupan suami-isteri, sudah barang tentu jika terjadi perceraian antara keduanya, atau salah seorang dari suami-isteri itu meninggal dunia, maka dengan mudah dapat dipisahkan manakah harta yang menjadi hak suami dan manakah harta yang menjadi hak isterinya.

BAB III
KETENTUAN PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM

A.    Akad/ Perjanjian dalam Hukum Islam
1.      Pengertian
Akad adalah suatu macam tasharruf  yang dilakukan manusia. Menurut istilah fuqaha, akad ialah “Perikatan antara ijab dan kabul secara yang dibenarkan syara', yang menetapkan persetujuan kedua belah pihak dan karenanya timbullah beberapa hukum.”[70]
Tasharruf (perbuatan hukum) menurut fiqh adalah segala yang dilakukan dari seseorang dengan iradat-nya (akan diuraikan lebih lanjut), dan syara' menetapkan kepada orang tersebut beberapa natijah hak.”[71]
Tasharruf ini terbagi dalam:[72]
1.      Fi'1i
2.      Qau1i, ada dua macam:
  1. aqdy, yaitu sesuatu yang berdasar persetujuan dua pihak yang mengikat keduanya.
  2. ghairu  'a qdy, ada dua macam:
a)      merupakan pernyataan mengadakan suatu hak atau menggugurkan suatu hak, seperti waqaf, talak, 'itq (memerdekakan budak).
b)      tidak menyatakan sesuatu kehendak, tetapi dapat menimbulkan tuntutan-tuntutan hak, misalnya: gugatan, iqrar, sumpah untuk menolak gugatan.
Dari pengertian ini para fuqaha memakai juga lafadz akad untuk sumpah, untuk 'ahd (perjanjian), untuk sesuatu persetujuan dalam bidang jual beli.
Dengan kita memperhatikan takrif akad, dapatlah kita mengatakan, bahwa akad itu suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang berdasarkan persetujuan masing­masing).
2.      Unsur Pembentuk Akad
Akad itu terbentuk dengan adanya:[73]
1)      dua akid, yang dinamakan tharafayil aqdi (dua pihak akad)
Aqid, terkadang masing-masing pihak terdiri dari seorang saja, terkadang terdiri dari beberapa orang.
2)      mahalul aqdi, yang dinamakan ma'qud 'alaihi
Mahallu1 'aqdi atau ma'qud 'alaihi ialah benda yang menjadi objek akad.
3)      maudlu 'il aqadi (ghayatul ,'aqad)
Maudlu 'i1 aqadi ialah tujuan akad atau maksud pokok mengadakan akad itu.
4)      rukun-rukun akad
Rukun akad adalah ijab dan qabul. Ijab dan qabul dinamakan shighatul aqdi atau ucapan yang menunjukkan kepada kehendak kedua belah pihak dan memerlukan tiga syarat:
1.      Harus terang pengertiannya
2.      Harus bersesuaian antara ijab dan qabul
3.      Memperlihatkan kesungguhan dari pihak yang bersangkutan
Kemudian haruslah lafadz yang dipakai buat ijab dan qabul itu terang pengertiannya menurut 'urf (kebiasaan). Haruslah qabul itu sesuai dengan ijab dari segala segi. Apabila qabul menyalahi ijab, tidaklah sah akad dan haruslah shighat ijab dan qabul memperlihatkan kesungguhan, tidak diucapkan secara ragu-ragu.
Iradah aqdiyah (kehendak mengadakan akad) yang harus ada pada waktu mengadakan akad, ialah:[74]
1.       bathinah
2.      dhahirah
Iradah bathinah (haqiqiyah) adalah iradah yang tersembunyi tak dapat diketahui oleh seorang lain; iradah yang ada di dalam hati.
Iradah dhahirah (kehendak lahir) adalah iradah yang dinyatakan dengan ucapan lidah, atau dilakukan dengan tindakan.
Iradah bathinah haqiqiyah sendiri tidak menggantikan perbuatan atau ucapan lidah. Karenanya tidaklah sah akad dengan adanya niat saja, walaupun kedua belah pihak mempunyai niat yang sama.
Iradah dhahirah adalah sesuatu yang dilakukan dengan menggambarkan iradah bathinah, baik dia merupakan ucapan ataupun perbuatan. Dengan adanya iradah dhahirah, kita tidak lagi membahas tentang adanya iradah haqiqiyah (bathinah) selama iradah haqiqiyah itu tersembunyi bagi kita dan tidak ada gejala-gejala, atau dalil-dalil yang menunjukkan kepada tidak adanya bathinah itu.
Apabila iradah haqiqiyah tidak jelas, bahwa dia ada, maka akad ini dipandang sah. Namun dipandang ada sesuatu kecederaan yang melemahkan ikatan akad ini.
Kecederaan-kecederaan yang menganggu iradah (syawaib iradah) kembali kepada empat keadaan, yaitu:[75]
-         ikrah (paksaan/ cacat kehendak) - khilabah (bujukan)
-         ghalath (salah sangka)
-         ikhtilatut tanfia'z (cacat yang datatang kemudian)
Ikrah, adalah cacat yang tei;adi pada keridlaan (kehendak) yang paling penting jaiam fiqh Islam.
Khilabah, dalam masalar. akad ialah seseorang aqid membujuk seorang dengan suatu cara yang dapat menarik hatinya untuk mengadakan suatu akad. Di antara contoh khilabah, ialah: adanya khiyanat, adanya tanjusy, adanya taghrir dan tad-lisul 'aib (menyembunyikan cacat).
Taghrir dalam istilah fuqaha adalah: memperdayakan atau membujuk, memikat dengan salah satu cara, baik perkataan maupun perbuatan yang bohong, yang palsu, untuk menarik hati salah seorang aqiduntuk melaksanakan akad.
Tad-Iisu1 'aib adalah menyembunyikan cacat atau dalam istilah fiqh, akad barar.g yang ada cacat (aib) nya. Ghalath adalah suatu persangkaan yang diangan­angankan oleh salah satu pihak, yang sebenarnya tak ada. Dan karena persangkaan itu dibuatlah akad, seperti orang yang membeli suatu barang karena menyangkut barang itu baik, padahal sebenarnya barang itu buruk, atau barang tua .[76]
Sebenarnya persangkaan itu terdapat juga pada khilabah walaupun berbeda saatnya. Maka dalam hal ini dan yang sebandingnya kita menghadapi dua hal yang berlawanan, yang ada paradoknya, yaitu: a) Ihtiramul iradah, (menghormati iradah), b) Istiqrarut ta'amul (tetap berlakunya apa yang sudah di akadkan).[77]
Kalau tidak terus berlaku apa yang sudah dilakukan, tidak adalah ketetapan hukum. Kedua-dua prinsip ini wajib diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Kalau kita perhatikan satu saja, berarti kita mengabaikan yang satu lagi. Hal ini menghendaki supaya kita memegang iradah dhahiriyah, yaitu: ijab dan qabul dan menyampingkan ghalath yang terjadi dari salah satu aqid. Ini konklusinya. Mengingat hal ini, maka fiqh Islam tidak banyak memperhatikan masalah dalam akad dan tidak pula para fuqaha membicarakan masalah ghalath dalam akad secara khusus.
Pemuka mahzab tidak memandang chalath sebagai suatu cacat yang membolehkan pihak-pihak itu membatalkan akad terkecuali dalam hal kesalahan yang nyata (innama yakunul ghalatu Wadlihan). Dalam hal ini iradah haqiqiyah dipandang nyata maka dia memberikan hak membatalkan akad yang salah. Yakni si akid yang salah itu diberikan hak membatalkan akad. Itulah yang diharuskan oleh prinsip ihtiramul iradah A1 aqdiyah, yakni: di kala nyata bahwa kesalahannya itu memang kesalahan yang dapat diketahui dengan mudah dan tidak berlawanan dengan prinsip istiqrarut ta'amu1. Karena aqid yang kedua yang tidak salah mengetahui benar, bahwa temannya adalah keliru, karena salahnya telah nyata. Dengan demikian, kedua prinsip-prinsip ini terpelihara pada masalah ghalath itu nyata. Inilah yang menjadi mazhab­-mazhab yang berkembang dikalangan kita sekarang ini.[78]
Cacat-cacat yang terjadi pada akad, lantaran sebab­sebab yang mendatang, dinamakan ikhtilalut Tanfidz. Melaksanakan apa yang dikehendaki oleh akad, adalah tahap kedua, yang dilakukan sesudah terjadinya akad yang sah. Sesudah terjadi akad yang dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak, masing-masing akid harus melaksanakan apa yang dikehendaki oleh akid itu.
3.      Syarat-syarat akad
Syarat-syarat terjadinya akad, ada dua macam:[79]
1.      syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam segala macam akad.
2.      syarat-syarat yang sifatnya khusus, yaitu: syarat-syarat yang disyaratkan wujudnya dalam sebagian akad, tidak dalam sebagian yang lain.
Syarat-syarat umum yang harus terdapat dalam segala macam syarat, ialah:[80]
1)      Ahliyatul 'aqidainii (kedua belah pihak cakap berbuat).
2)      Qabliyatul mahallil aqdi li  hukmihi (yang dijadikan obyek akad, dapat menerima hukumnya).
3)      A1 wilyatus syari'iyah fi maudlu 'il Aqdi (akad itu diijinkan oleh syara', dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya, walaupun dia bukan si aqid sendiri).
4)      Alla yakunal 'aqdu au maudlu'uhu mamnu'an binashshin syar'iyin (‘janganlah akad itu akad yang dilarang syara’).
5)      Kaunul 'aqdi mufidan (akad itu memberi faedah).
6)      Baqaul ijbabi shalihan ila mauqu 'ii qabul. (Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut, sebelum terjadi qabul).
7)      Ittihadu majlisil     'aqdi    (bertemu di maj 'is akad) .
Karenanya, ijab menjadi batal apabila sampai kepada berpisah yang seorang dengan yang lain, belum ada qabul. Syarat yang ketujuh ini disyaratkan oleh mazhab Asy Syafi'y, tidak terdapat dalam mazhab-mazhab yang lain.
Dari uraian tersebut di atas, perjanjian yang dibuat menurut ketentuan hukum Islam adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat para pihak yang membuatnya dan membawa akibat hukum.
Perjanjian Perkawinan yang dibuat sebagai salah satu upaya untuk memperjelas kedudukan harta dalam perkawinan adalah sah menurut hukum Islam apabila terpenuhinya semua unsur-unsur dan persyaratan yang diwajibkan.

B.     Hal-hal yang Berkaitan dengan Perjanjian Perkawinan
1.      Persoalan Harta Bersama Suami-Isteri
Dalam kitab-kitab Fiqih, perkongsian itu disebut Syirkah atau Syarikah.
Syirkah menurut bahasa ialah percampuran suatu harta dengan harta lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu dari yang lain dan menurut istilah hukum Islam ialah adanya hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu.[81]
Dasar hukumnya sebelum ada ijma' ialah hadits Qudsi dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda:[82]
Berfirman Allah: "Aku adalah kongsi ketiga dari dua orang kongsi, selama salah seorang kongsi itu tidak mengkhianati, kongsinya yang seorang lagi. Apabila ia mengkhianatinya, maka aku keluar dari perkongsian itu." (Riwayat Abu Daud dan Al-Hakim).

Berkaitan dengan persoalan harta bersama suami­ isteri, penulis mencoba menguraikan mengenai macam-macam syirkah menurut pendapat-pendapat ulama.
Pendapat-pendapat ulama tentang macam-macam perkongsian yang berhubungan dengan persoalan harta bersama suami-isteri.
a.      Pendapat Ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah membagi syirkah kepada dua bagian:[83]
a.       syirkan milik (perkongsian mengenai milik)
b.      syirkah 'uqud (perkongsian dengan akad atau kontrak)
Syirkah milik adalah perkongsian antara dua orang atau lebih terhadap sesuatu dengan tidak ada kontrak atau perjanjian. [84]
Sedang syirkah `uqud adalah perkongsian yang terjadi dengan akad atau dengan kontrak .[85]
Syirkah 'uqud menurut mereka ada enam macam:[86]
a.       Syirkah Harta Mufawadlah/ Syirkah Mufawadlah bil Amwal , adalah syirkah tidak terbatas mengenai perdagangan di mana anggota yang satu menjadi penanggung bagi anggota lainnya.
b.      Syirkah Harta 'Inan/Syirkah 'Inan bi1 Amwal, adalah syirkah terbatas mengenai perdagangan di mana anggota yang satu tidak menjadi penanggung bagi anggota lainnya.
c.       Syirkah Badan Mufawadlah/ Syirkatu I'Abdan Mufawadlah, adalah syirkah tidak terbatas dalam pemberian jasa, di mana anggota yang satu menjadi penanggung bagi anggota lainnya.
d.      Syirkah Badan 'Inan/ Syirkatu 1'Abdan    `Inan, adalah syirkah terbatas mengenai pemberian jasa, di mana anggota yang satu tidak menjadi penanggung bagi anggota lainnya.
e.       Syirkah      Kepercayaan   Mufaawadhah/ Syirka tu 1'Wujuh Mufawadlah, adalah syirkah tidak terbatas dan berdasar kepercayaan orang, di mana anggota syirkah yang satu menjadi penanggung bagi anggota lainnya.
f.         Syirkah Kepercayaan 'Inaan/ Syirkatu 1'Wujuh 'Inan, adalah syirkah terbatas dan,berdasar kepada kepercayaan orang, di mana anggota syirkah yang satu tidak menjadi penanggung bagi anggota lainnya.
Hukumnya semua syirkah yang tersebut di atas 4L-,.u menurut Hanafi adalah boleh. Ketentuan umum yang diberikan oleh Hanafi ialah bahwa benda kekayaan diperoleh di.luar syirkah tetap menjadi milik masing-masing.
b.      Pendapat Ulama Malikiyah[87]
Menurut Ulama Malikiyah memba,i syirkah ada beberapa macam :
1.      Syarikatu 'Inan (perkongsian warisan), yaitu berkongsinya para ahli waris memiliki sesuatu barang dengan jalan menerima warisan.
2.      Syarikah Ghanimah (perkongsian pada harta rampasan), yaitu perkongsian anggota tentara dalam peperangan terhadap barang rampasan perang.
3.      Perkongsian beberapa orang yang membeli sesuatu barang.
Ketiga macam syarikah ini oleh Ulama Hanafi disebut Syarikah Milik (perkongsian milik).
Macam-macam syarikah yang terkenal selain dari tiga macam yang telah disebutkan, ada enam:
1.      Syirkah Mufawadlah (perkongsian tak berbatas), yaitu perkongsian dua orang atau lebih dalam bidanq peiniagaan, dengan perjanjian bahwa masing-masing anggota perkongsian akan menerima keuntungan sesuai dengan modalnya dengan tidak berlebih kurang, dan masing-masing kongsi bebas bertindak meskipun tidak diketahui oleh peserta lainnya, baik mereka sepakat berniaga dalam satu macam barang saja atau dalam segala macam barang.
2.      Syirkah 'Inan (perkongsian terbatas), yaitu perkongsian dengan syarat bahwa seorang anggota perkongsian tidak boleh bertindak kecuali dengan seijin kongsinya yang lain.
3.      Syirkah 'Ama1 (Perkongsian tenaga), sama dengan Syirkah Abdan menurut istilah mahzab-mahzab lain, yaitu perkongsian antara dua orang tukang atau lebih yang bekerja bersama-sama dan masing-masing mendapat upahnya sesuai dengan pekerjaan yang dilakukannya. Syaratnya haruslah pekerjaan yang mereka lakukan itu sejenis. Walau tidak sejenis, maka perkongsian itu tidak sah, kecuali kalau kedua pekerjaan itu berhubungan erat.
4.      Syirkah Dzimam (perkongsian kepercayaan), adalah perkongsian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan tidak menggunakan modal, tetapi membeli barang­barang apa saja dengan cara kredit kemudian barang­barang itu dijual kembali dan keuntungannya dibagi antara para kongsi. Perkongsian semacam itu, tidak sah menurut mahzab Maliki. Tetapi kalau perkongsian dilakukan mengenai sesuatu barcna tertentu, maka perkongsian menjadi sah.
5.      Syirkah      Jabar   (perkongsian    terpaksa) , yaitu apabila sesorang membeli sesuatu barang dagangan dimuka seorang saudagar lain yang juga berdagang barang itu.
6.      Syirkah Mudlarabah adalah suatu kontrak antara orang yang mempunyai modal dengan orang yang tidak mempunyai modal untuk berdagang, dengan cara yang seorang member modal dan yang lainnya memberi tenaga. Syaratnya ialah modal yang diberikan itu adalah uang tunai.
Disini jelas terlihat perbedaan pendapat antara Ulama Hanafiyah dan Ulama Malikiyah. Ulama Hanafiyah tidak membolehkan modal itu berupa barang, sedang Ulama Malikiyah memperbolehkannya.
c.       Pendapat Mama Syafi’iyah[88]
Ulama Syafi'iyah membagi syirkah itu kepada empat macam, yaitu:
1.      Syirkah 'Inan (perkongsian terbatas), adalah syirkah terbatas dalam bentuk penggabungan harta dan usaha untuk mendapatkan untung. Sedangkan perolehan masing-masing pihak dengan cara lain seperti, salah seorang mendapat hibah, hadiah, dli, tidak menjadi syirkah, tetapi tetap mer.jadi milik masing-masing yang memperolehnya. Hukumnya menurut Syafi'i adalah boleh.
2.      Syirkah Abdan (perkongsian tenaga), adalah syirkah dalam bidang pemberian jasa atau melakukan pekerjaan. Jasa yang diberikan atau pekerjaan yang dilahirkan itu mungkin jasa atau pekerjaan yang sama mungkin pula jasa dan pekerjaan yang berlainan. Hukumnya menurut Imam Nawawi dan Syarbaini adalah batal (tidak boleh).
3.      Syirkah Mufawadlah (perkongsian tak terbatas), syirkah tidak terbatas dan dalam bentuk penggabungan harta dan usaha untuk mendapatkan untung serta meliputi pula perolehan masing-masing pihak dengan cara lain seperti salah seorangnya mendapat hibah, hadiah, dll. Hukumnya menurut Syafi'i adalah batal.
4.      Syirkah Al –Wujuh (perkongsian kepercayaan),  adalah syirkah antara dua orang atau lebih berdasarkan kepercayaan bahwa masing-masing anggota syirkah membeli sesuatu barang dagangan dengan dasar kepercayaan (kredit)  dan menjualkannya. Hukumnya menurut Imam Nawawi dan Syarbaini adalah batal (tidak boleh).
Menurut Ulama Syafi'iyah, modal para peserta tidak perlu sama besarnya, demikian pula tidak perlu sama tentang pekerjaan yang dilakukan, oleh masing-masing peserta menurut qaul (pendapat yang mu'tamad).
d.      Pendapat Mama Hanabilah
Ulama Hanabilah membagi  syarikah  kepada dua macam, yaitu:
a.       Syarikah Fi `I-Maal, adalah perkongsian dua orang atau lebih dalam memiliki sesuatu benda dengan jalan warisan, pemberian, pembelian, dan sebagainya.[89]
b.      Syarikah Fi '1-'Uquud, adalah perkongsian dua orang atau lebih untuk mengadakan suatu usaha dimana mereka masing­masing akan mendapat keuntungan.[90]
Kemudian Syirkah 'Uquud ini dibagi menjadi lima macam, yaitu:[91]
1.      Syirkatu 1'Inan (perkongsian terbatas).
2.      Syirkatu 1'Mufawadlah (perkongsian tak terbatas).
3.      Syirkatu 1'Wujuh (perkongsian kepercayaan).
4.       Syirkatu 1'Abdan (perkongsian tenaga).
5.       Syirkatu 1'Mudlaarabah (perkongsian berdua laba).
Syirkatu 1'Inan adalah perkongsian dua orang atau lebih yang masing-masing mempunyai modal dan sama-sama bekerja menjalankan usaha perkongsian itu, kemudiankeuntungan antara mereka menurut perjanjian yang mereka adakan pada waktu aqad. Ataupun modal dari keduanya sedang yang bekerja hanya salah seorang saja, dengan syarat bahwa yang bekerja itu akan mendapat keuntungan lebih banyak dari anggota perkongsian yang tidak bekerja.[92]
Syirkatu Mufawadlah, adalah perkangsian dalam menjalankan modal, dengan ketentuan bahwa masing-masing anggota perkongsian memeberikan hak penuh kepada anggota lainnya untuk melakukan pekerjaan.[93]
Syirkatu 1'Wujuh adalah perkonqsian antara dua orang atau lebih dengan bermodalkan kepercayaan.[94]
Syirkatu I'Abdan adalah perkongsian dua orang tukang untuk sama-sama bekerja, dan upah yang mereka peroleh dari pekerjaan itu, akan dibagi di antara mereka menurut perjanjian semula.[95]
Menurut Ulama Hanabilah, tidak menjadi syarat bahwa modal peserta itu harus sejenis. Juga tidak disyaratkan bahwa masing-masing peserta sama banyak modalnya, dan juga tidak disyaratkan modal para peserta itu dicampurkan sebelum akad.

2.      Harta Bersama Suami-Isteri adalah Syirkah Abdaan/ Mufawadlah
Dalam suatu perkawinan akan terjadi perkongsian harta yang tidak terbatas antara suami-isteri, hasil dari usaha yang dilakukan suami dan isteri termasuk harta bersama, selain dari warisan dan pemberian yang tegas-tegas dikhususkan untuk  salah seorang dari kedua suami istri itu.
Setelah memperhatikan definisi dan macam-macam Syirkah, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa pencaharian bersama atau harta bersama suami-isteri adalah termasuk golongan Syirkah Abdan/ Mufawadlah. Hukum Syirkah Abdaan dan Syirkah Mufawadlah itu adalah boleh menurut mazhab Hanafy, mazhab Maliky, mazhab Hanbaly dan tidak boleh menurut mazhab Syafi'iy.
Perkongsian suami-isteri dalam bentuk harta bersama adalah sah ditinjau dari segi hukum Islam, karena :[96]
1.      Semua Ulama sependapat, bahwa perkongsian dibolehkan dalam syariat Islam, berdasarkan Hadits Qudsi, yang menunjukkan bahwa:
a.       Perkongsian hukumnya boleh.
b.      Allah SWT turut serta dalam perkongsian, selama tidak ada salah seorang dari para peserta perkongsian itu mengkhianati peserta lainnya.
c.       Tidak boleh ada penipuan dalam sesuatu perkongsian.
d.      Perkongsian yang tidak ada penipuan disukai Allah. Sebaliknya, perkongsian yang ada penipuan, dimurkai Allah dan oleh karenanya tidak sah. Imam Syafi'iy berpendapat, bahwa selain daripada Syirkah ‘inan semuanya penipuan, dan oleh karena itu, semua syirkah tidak sah, kecuali Syirkah `Inan atau perkongsian terbatas.
2.      Pada perkongsian harta bersama, tidak ada penipuan, meskipun pada perkongsian tenaga dan Syirkah Mufawadlah lainnya masih ada kemungkinan terdapatnya penipuan itu. Sebab perkongsian antara suami-isteri, jauh berbeda sifatnya dengan perkongsian-perkongsian lain yang bisa terjadi antara anggota masyarakat.
3.      Tidak ada suatu nash pun yang menunjukkan bahwa perkongsian semacam itu tidak diperbolehkan dalam Islam. Satu-satunya alasan yang dikemukakan oleh golongan Syafi'iyah, ialah penipuan, tetapi alasan ini sudah tertolak dengan keterangan nomor dua.
4.      Syariat Islam datang untuk kemashalatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Oleh karena itu, peraturan-peraturan dalam Islam terbagi dalam tiga golongan, yaitu:
a.       Mengenai `Aqidah (kepercayaan).
b.      Mengenai Ibadah.
c.       Mengenai Muamalah (pergaulan hidup antara manusia dengan manusia).
Aturan-aturan dalam bidang Aqidah dan bidang ibadah adalah terbatas, tidak boleh dikurangi dan tidak boleh pula ditambah oleh siapapun juga. Adapun mengenai Muamalah, maka pada umumnya diserahkan kepada kaum muslimin sendiri. Kalau ada beberapa hukum yang telah diatur mengenai Muamalah, kebanyakan hanya sebagai pengakuan terhadap sesuatu adat kebiasaan yang berlaku pada waktu itu, yaitu adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam ajaran Islam.
5.      Kalau ada yang mengatakan bahwa pada perkongsian harta bersama itu tidak ada shighah baik ijab maupun kabul, para Fuqaha berpendapat tentang shighah, ialah lafai yang memberi pengertian izin kepada kongsinya untuk bertindak atas namanya. Dan sama dengan lafal, tulisan yang memberi pengertian yang sama. Juga kalau ada izin serupa itu meskipun tidak ada lafal perkongsian, juga dianggap cukup.

3.      Tinjauan Eukum Islam terhadap Perjanjian Perkawinan
Hukum Islam tidak mengenal istilah perjanjian perkawinan, hanya saja di dalam hukum Islam dikenal adanya suatu perjanjian yang dapat diterapkan dalam suatu perkawinan.
Pendirian hukum Islam terhadap perjanjian perkawinan ternyata dalam penerapan syirkah terhadap persoalan harta kekayaan suami-isteri dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Seperti telah disebutkan dalam bab terdahulu bahwa pada dasarnya harta suami-isteri terpisah, baik harta bawaannya masing-masing atau harta yang diperoleh oleh salah seorang suami-isteri atas usahanya sendiri-sendiri maupun harta yang diperoleh salah seorang mereka kar.ena hadiah atau hibah atau warisan sesudah mereka terikat dalam hubungan perkawinan.
Walaupun demikian telah dibuka kemungkinan syirkah atas harta kekayaan suami-isteri itu secara resmi dan menuruc cara-cara tertentu. Suami isteri dapat mengadakan syirkah yaitu percampuran harta kekayaan yang diperoieh suami dan/ atau isteri selama masa adanya perkawinan atas usaha suami atau isteri sendiri-sendiri, atau atas usaha mereka bersama-sama. Begitupun mengenai harta kekayaan usaha sendiri-sendiri, sebelum perkawinan dan harta yang berasal bukan dari usaha mereka berdua, tetapi berasal dari pemberian atau warisan atau lainnya yang khusus teruntuk mereka masing-masing baik yang diperolehnya sesudah mereka berada dalam ikatan suami-isteri dapat pula mereka syirkahkan.
Mengenai cara terjadinya syirkah untuk masing-masing jenis harta itu dapat pula terjadi dengan bentuk yang berlainan, yaitu:[97]
1.      Syirkah dapat diadakan dengan mengadakari perjanjian syirkah secara nyata-nyata tertulis atau diucapkan sebelum atau sesudah dilangsungkannya akad nikah dalam suatu perkawinan, baik untuk harta bawaan atau harta yang diperoleh sesudah kawin tapi bukan atas usaha mereka maupun dari atau harta pencaharian.
2.      Di samping itu syirkah dapat pula ditetapkan dengan Undang-undang/ peraturan perundangan, bahwa harta yang diperoleh atas usaha salah seorang suami isteri atau oleh kedua-duanya dalam masa adanya hubungan perkawinan adalah harta bersama atau harta syirkah suami isteri tersebut.
3.      Di samping terjadinya syirkah dengan cara tertulis atau ucapan nyata-nyata serta dengan penentuan Undang-undang tersebut, syirkah antara suami-isteri itu dapat pula terjadi dengan kenyataan dalam kehidupan pasangan suami-isteri itu. Cara ketiga ini memang hanya khusus untuk harta bersama atau syirkah pada harta kekayaan yang diperoleh atas usaha selama perkawinan, apabila kenyataan suami­ isteri itu bersatu dalam mencari hidup dan membiayai hidup.
Dalam Pasal KHI Kompilasi Hukum Islam-selanjutnya disebut KHI --disebutkan:[98]
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu.

Selanjutnya dalam Pasal 45 KHI disebutkan:[99]
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:
1.      Taklik talak, dan
2.      Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Adapun persyaratan yang diharamkan ialah yang bertentangan dengan syari'at Islam atau bertentangan dengan kesopanan umum, yaitu:[100]
a.       Persyaratan bahwa masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sama untuk sewaktu-waktu membubarkan pernikahan.
b.      Persyaratan bawa suami tidak akan mensetubuhi isterinya, sedangkan diwaktu akad perkawinan itu terjadi, isteri telah layak untuk bersetubuh.
c.       Persyaratan atau perjanjian bahwa sesudah bersetubuh suami harus manalaknya.

Perlu kiranya diketengahkan disini, bahwa pendirian Hukum Islam terhadap perjanjian perikawinan ternyata dalam Al-Qur'an adalah sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu ....”[101]
Dari A1-Qur'an tersebut, ternyata bahwa hukum Islam membenarkan perjanjian perkawinan yana diperbuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya dan mewajibkan mereka pula untuk mematuhi perjanjian itu.
Dalam pasal 16 Rancangan Undang-undang tentang Pernikahan Umat Islam tahun 1958 telah ditentukan:
1.      Kedua belah pihak dapat mengadakan perjanjian:
  1. sebelum akad nikah
  2. pada waktu ijab kabul
  3. sesudah akad nikah
2.      Perjanjian yang dimaksud dalam ayat 1 tidak sah, kalau bertentangan dengan Hukum Agama Islam.
Selanjutnya dalam Rancangan Undang-undang tersebut di atas, pada pasal 21 menentukan:
1.      Pernikahan permaduan dapat dicegah, jika dibuat perjanjian tertulis, bahwa laki-laki tidak akan melakukan perkawinan dengan isteri yang kedua dan seterusnya.
2.      Perjanjian tersebut dapat dibatalkan dengan persetujuan bersama antara kedua suami-isteri dan pembatalannya dilakukan dengan tertulis dimuka Pegawai Pencatat Nikah.     
Demikian juga pada Rancangan Undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam lainnya yaitu pasal 24 menentukan:
1.      Atas persetujuan kedua pihak dapat diadakan perjanjian tertulis antara kedua suami-isteri yang dibuat padasebelum akad nikah dan kemudian diucapkan (diikrarkan) segera sesudahnya atau pada waktu lain sesudah melangsungkan perkawinan: perjanjian itu dapat berupa ta'lik dan lainnya.
2.      Perjanjian yang dimaksud dalam ayat l, tidaklah sah, kalau bertentangan dengan` tujuan perkawinan sebagai tersebut dalam pasal l.
Selanjutnya dalam Rancangan Undang-undang tersebut di atas, pada pasal 27 menentukan:
1.      Perkawinan lebih dari seorang isteri dapat dicegah jika perjanjian tertulis, segera sesudah melangsungkan atau pada waktu lain sesudahnya, bahwa iaki-laki akan melangsungkan perkawinan yang kedua dan seterusnya.
2.      Kedua suami-isteri dapat membatalkan kembali perjanjian tersebut dan pembatalan itu harus dilakukan dengan tertulis dimuka Penghului Naib Penghulu.
Dalam hal ini dapat dikemukakan lagi di sini, bahwa Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975, seperti ternyata pada pasal 11 antara lain berbunyi sebagai berikut: “Calon suami-isteri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tida'r. bertentangan dengan hukum Islam. Ada atau tidak adanya perjanjian itu dicatat di dalam daftar Pemeriksaan Nikah.”
Disamping hal-hal tersebut di atas, dalam hukum Islam terdapat pula perjanjian lain yang dapat diterapkan dalam suatu perkawinan, yaitu taklik talak. Dalam suatu taklik talak yang diucapkan sesudah akad nikah oleh suami dinyatakan mengenai hal-hal sebagai berikut:[102]

Sewaktu-waktu saya:
1.      Meninggalkan isteri saya tersebut dua tahun berturut-­turut.
2.      Tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
3.      Menyakiti badan/ jasmani isteri saya itu.
4.      Membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya itu enam bulan lamanya.
Sesuai dengan pengertian ta'lik-talak yaitu suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi sebagaimana telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dulu. Perkawinan menjadi putus atas permintaan isteri, bila suami melanggar janji ta'lik­talak atau janji-janji lain yang dibuat waktu akad nikah/ sesudahnya. Jadi pengertian ta'lik talak ini menunjukkan adanya hubungan yang erat dengan perceraian.
Dari uraian tersebut di atas, jelas ternyata bahwa Hukum Islam membenarkan calon suami-isteri untuk secara sukarela mengadakan perjanjian perkawinan sesuai dengan keinginan mereka berdua dan` selanjutnya perjanjian perkawinan itu mengikat kedua belah pihak, sebab hukum Islam menghormati hak-hak asasi masing-masing suami-isteri selaku hamba Allah yang bertanggungjawab, sepanjang dalam perjanjian perkawinan itu tidak terdapat hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.
C.    Isi dan Bentuk Perjanjian Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Perjanjian perkawinan adalah lembaga hukum yang ada di dalam hukum Perkawinan Belanda yaitu di dalam het Bvrgerlijk Wetboek yang juga diberlakukan di zaman Penjajahan Belanda pada tahun 1848 di Hindia Belanda, tetapi hanya diberlakukan bagi mereka yang termasuk ke dalam golongan eropa dan yang dipersamakan, dan kemudian pada tahun 1917 juga diberlakukan bagi Golongan Timur Asing Keturunan Cina. Terbuka pula kemungkinan bagi mereka yang tinggal di Hindia Belanda yang tidak termasuk kepada kedua golongan yang disebutkan di atas untuk menggunakan lembaga hukum Perjanjian Perkawinan dengan cara menundukkan diri secara sukarela pada sebagian atau seluruh ketentuan tersebut.[103]
Berdasarkan penulusuran sejarah terbentuknya lembaga perjanjian kawin ini, diicetahui bahwa lembaga perjanjian kawin ini dibentuk untuk menyimpangi ketentuan hukum harta perkawinan Belanda yang unik, yang menetapkan bahwa begitu perkawinan diiangsungkan maka terbentuklah percampuran harta perkawinan secara bulat (algehele qemeenschappelijke huwelijksgoederen). Konsekuensi yuridis dari ketentuan itu, maka begitu perkawinan dilangsungkan maka terjadilah pencampuran harta bawaan pihak pria dan harta bawaan pihak perempuan menjadi satu kesatuan harta perkawinan yang bulat. [104]
Kemudian pada waktu Indonesia membuat UU tentang Perkawinan, lembaga ini dimasukkan menjadi lembaga yang dapat dipergunakan oleh seluruh rakyat Indonesia melalui Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan-selanjutnya disebut UUP-- jo Pasal 12 huruf "h" Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP.[105]
Dalam Pasal 29 UU No. 1/ 1974 disebutkan:
1.      Pada waktu atau sebelum perkawinan iilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2.      Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
3.      Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4.      Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Berdasarkan pasal tersebut di atas, untuk pengesahan perjanjian kawin yang diberi wewenang oleh undang-undang ialah pegawai pencatat perkawinan, yaitu pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk bagi mereka yang beragama Islam dan pegawai pencatat perkawinan yang lain (catatan sipil) bagi mereka yang bukan Islam. Pengesahan hanya diberikan, bila tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan (Pasal 29 ayat 2 UUP).[106]
UUP mengatur persoalan perjanjian perkawinan hanya terdiri atas satu pasal atau empat ayat, yaitu Pasal 29 UUP. Jumlah pasal yang mengatur tentang perjanjian kawin ini dirasakan cukup sedikit kalau dibandingkan dengan pengaturan oleh Burgerlijk Wetboek-- selanjutnya ditulis B.W.-- untuk materi yang sama. B.W. mengatur perjanjian kawin di dalam Pasal 139 sampai dengan 179. Oleh karena itu, apabila kita mengalami kesulitan yang berkaitan dengan perjanjian kawin karena tidak tercakup pengaturannya di dalam UUP, maka kita dapat menggunakan ketentuan mengenai perjanjian kawin yang diatur di dalam B.W. Dasar hukum untuk penggunaan ketentuan perjanjian kawin B.W.  adalah ketentuan pasal 66 UUP.
Pasal 66 UUP, kalau ditafsirkan dapat dikatakan bahwa ketentuan yang ada di dalam BW yang mengatur tentang perkawinan dapat dinyatakan masih berlaku sejauh tentang hal itu belum diatur di dalam UUP.
Mengenai isi perjanjian perkawinan, UUP hanya memuat ketentuan bahwa isinya tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Sedangkan mengenai hai tersebut, undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.
Dalam B.W. terkandung asas-asas, bahwa kedua belah pihak adalah bebas untuk menentukan isi perjanjian perkawinan yang dibuatnya. Pasal 139 B.W. menetapkan bahwa dalam perjanjian perkawinan itu kedua calon suami-isteri dapat menyimpangi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam harta bersama, asal saja penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum dengan mengindahkan pula isi ketentuan yang disebutkan setelah Pasal 139 B.W. itu.
Asas kebebasan kedua belah pihak dalam menentukan isi perjanjian kawinnya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan sebagai berikut:[107]
1.      Tidak membuat janji-janji yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum;
2.      perjanjian kawin tidak boleh:
a.       mengurangi hak-hak yang timbul dari kekuasaan suami sebagai suami: hak suami untuk menentukan tempat kediaman atau hak suami untuk mengurus kebersamaan harta perkawinan;
b.      hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua. Misalnya, hak untuk me ngurus harta kekayaan anak-anak dan mengambil keputusan mengenai pendidikan atau hak untuk mengasuh anak-anak;
c.       hak-hak yang ditentukan oleh undang-undang bagi suami atau isteri yang hidup terlama (Pasal 140 ayat 1 B.W.), misalnya: untuk menjadi wali dan wewenang untuk menunjuk wali dengan "testamen";
3.      Tidak dibuat janji-janji yang mengandung pelepGsan hak atas harta peninggalan keluarga sedarah mereka dalam garis ke bawah. Ketentuan ini (Pasal 141 B.W.) sebenarnya berkelebihan, oleh karena larangan tersebut sudah diatur secara umum dalam Pasal 1063 dan Pasal 1334 ayat 2 B.W.;
4.      Tidak dibuat janji-janji, bahwa salah satu pihak akan memikul hutang lebih besar daripada bagiannya dalam aktiva;
5.      tidak dibuat janji dengan kata-kata umum, bahwa harta perkawinan mereka akan diatur oleh undang­undang negara asing dan peraturan yang pernah berlaku di Indonesia atau di Nederland. Dilarang pula, bila j anj i i ,=u dibuat dengan kata-kata umum, bahwa kedudukan mereka akan diatur oleh hukum adat dan sebagainya (Pasal 143 B.W.).

Pada umumnya perkawinan-perkawinan dilangsungkan tanpa dibarengi dengan perjanjian kawin. Dengan demikian menurut B.W. terjadilah kebersamaan harta kekayaan secara bulat. Suami dan isteri adalah bebas untuk membatasi kebersamaan harta menurut kehendak mereka, asal tidak melanggar larangan-larangan yang ditetapkan oleh undang-­undang.
B.W. hanya mengenal 2 macam kebersamaan harta kekayaan yang terbatas, yaitu: “kebersamaan untung dan rugi" dan "kebersamaan hasil dan pendapatan”.[108]
Bagi calon suami-isteri yang ingin mengadakan kebersamaan untung dan rugi haruslah menentukan keinginannya itu dalam perjanjian kawin secara tegas:
a.       bahwa mereka menghendaki kebersamaan untung dan rugi (Pasal 155 B.W.) atau
b.      bahwa mereka meniadakan kebersamaan harta kekayaan. (Pasal 144 B.W.)
Jadi ada 2 cara untuk mengadakan kebersamaan untung dan rugi. Cara yang pertama, yaitu menurut ketentuan pasal 155 B.W, yaitu bilamana perkawinan bubar, maka segala keuntungan yang diperoleh selama perkawinan dibagi dua, demikian juga kerugian yang diderita. Sedangkan cara yang kedua ditentukan dalam perjanjian kawin, bahwa kebersamaan harta kekayaan ditiadakan berarti, bahwa tiap-tiap kebersamaan telah ditiadakan, akan tetapi bahwa suami­isteri itu telah kawin dengan kebersamaan untung dan rugi. Jadi untuk mengadakan kebersamaan untung dan rugi menurut cara kedua, dalam perjanjian kawinnya harus ditentukan, bahwa kebersamaan harta kekayaan ditiadakan.
Untuk meniadakan tiap-tiap kebersamaan harta kekayaan (termasuk kebersamaan untung dan rugi, dan kebersamaan hasil dan pendapatan), maka dalam perjanjian kawin harus ditentukan bahwa kebersamaan harta kekayaan dan kebersamaan untung dan rugi ditiadakan. Hal ini menurut ketentuan Pasal 144 B.W.
Pada kebersamaan untung dan rugi yang menjadi milik dan beban “bersama” adalah keuntungan yang diperoleh sepanjang perkawinan pula. Harta kekayaan (aktiva dan pasiva) suami dan isteri yang dibawa ke dalam perkawinan dan harta kekayaan yang masing-masing mereka peroleh dengan cuma-cuma (sebagai hadiah, warisan, legaat) sepanjang perkawinan, modal mereka tetap milik pribadi suami atau isteri dan tidak masuk dalam kebersamaan.[109]

Dengan demikian, maka terdapat 3 macam harta kekayaan :
1.      milik pribadi (modal) suami;
2.      milik pribadi (modal) isteri;
3.      untung dan rugi yang masuk dalam kebersamaan.
Tentang kebersamaan hasil dan pendapatan, B.W. hanya mengaturnya dengan satu pasal saja, yaitu Pasal 164, dengan demikian terdapat 3 macam harta kekayaan, yaitu:
1.   harta kekayaan suami;
2.   harta kekayaan isteri;
3.   kebersamaan hasil dan pendapatan
Kebanyakan sarjana hukum berpendapat bahwa kebersamaan tersebut dalam kebanyakan hal adalah sama dengan kebersamaan untung dan rugi. Perbedaannya hanyalah bilamana kebersamaan tersebut menunjukkan kerugian (saldo negatif), maka suamilah yang mengurus kebersamaan itu, artinya bahwa suamilah yang memikul seluruh saldo negatif. Sedangkan bilamana kebersamaan menunjukkan keuntungan,maka keuntungan tersebut haruslah dibagi antara suami dan isteri.[110]
Dalam hal hanya ada perjanjian peniadaan tiap-tiap kebersamaan harta kekayaan, maka dalam perkawinan itu hanya ada 2 macam harta kekayaan, yaitu : harta pribadi isteri dan harta pribadi suami, dan tidak adanya kemungkinan adanya harta kekayaan milik bersama.

Pasal 35 UUP menyebutkan, bahwa:
1.      harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;
2.      harta bawaan dari masing-masing suami-isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah dan warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dari ketentuan tersebut, berarti jika tidak ada perjanjian kawin berarti terjadilah kebersamaan harta yang terbatas. Yang dimaksud dengan "terbatas" adalah terbatas pada harta yang diperoleh sepanjang perkawinan yang bukan. berasal dari hadiah atau warisan.
Sebaliknya, bilamana pihak-pihak menghendaki adanya kebersamaan harta yang menyeluruh, mereka harus membuat perjanjian kawin. Hal tersebut dapat ditarik dari kata-kata akhir dari ayat 2 yang berbunyi: “.....sepanjang para pihak tidak menentukan lain". Dengan kata-kata ini tidak dapat lain yang dimaksud adalah “perjanjian.”
Sedangkan ketentuan Pasal 36 ayat 1 dan 2 mengatur perkawinan, bilamana tidak ada perjanjian kawin.
Dari ketentuan Pasal 35 dan 36 UUP, Perjanjian Perkawinan yang dibuat calon pasangan suami-isteri dapat berisi:
1.      kebersamaan harta yang menyeluruh/ bulat
2.      peniadaan setiap kebersamaan harta
Sedangkan untuk kebersamaan harta terbatas tidak perlu dibuat perjanjian, karena tanpa perjanjian kawinpun sudah terjadi kebersamaan harta yang terbatas, yaitu terbatas pada segala sesuatu yang diperoleh sepanjang perkawinan. Sehingga dengar. demikian dapat kita samakan dengan pengertian kebersamaan dalam untung dan rugi seperti yang diatur dalam B.W.
Di samping hal-hal tersebut di atas, HOCI juga mengenal perjanjian perkawinan, seperti ternyata dari pasal 48 yang antara lain berbunyi:
1.      Dalam daerah Maluku calon suami-isteri dapat membuat perjanjian waktu hendak kawin bahwa semua anaknya atau beberapa saja diantara anaknya, laki-laki atau perempuan atau yang akan ditunjukkan menurut turunan lahirnya, tidak akan meneruskan turunan suami, melainkan akan meneruskan turunan dari napak isteri.
2.      Hukum yang timbul karena perjanjian itu, ditentukan oleh Hukum Adat.
3.      Perjanjian semacam itu harus disebutkar. dalam akta kawin, dan akan dicatat dalam akta lahir mengenai anak dari perkawinan yang demikian itu; perjanjian itu hanya dibuktikan dengan akta kawin itu saja.
Materi ketentuan tersebut di atas, belum diatur baik Jalam UUP maupun Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, sehingga oleh sebab itu berdasarkan pasal 66 UUP jo Pasal 47 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 ketentuan Pasal 49 HOCI masih tetap berlaku.
Dengan demikian menurut pendapat penulis pengertian Perjanjian perkawinan yang diatur. dalam Pasal 29 UUP tentang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 jo pasal 12 huruf "h" Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 adalah perumusan yang luas, ia tidak hanya mengatur harta benda akibat perkawinan saja, akan tetapi dapat juga berisi syarat-syarat/ janji-­janji lain yang harus dipenuhi oleh salah satu pihak kepada pihak lain, sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan batas-batas hukum, agama dan kesusilaan baik.
D.    Isi dan Bentuk Perjanjian Perkawinan dalam Praktek di Indonesia
Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan baik pada KUA Kecamatan Pondok Barnbu, Pengadilan Agama Jakarta Timur, Pengadilan F.cama Jakarta Selatan, Pengadilan Agama Jakarta Barat, Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menyatakan bahwa perjanjian perkawinan itu masih sangat jarang dilakukan oleh calon pasangan suami-isteri, terutama oleh calon pasanaan suami-isteri yang beragama Islam.
Hal tersebut disebabkan hukum yang mengatur harta kekayaan suami-isteri telah jelas, yaitu dala;n Bab VII Undang-undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa:
1.      Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2.      Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Walaupun didalam hukum Islam terdapat perbedaan pendapat mengenai kedudukan harta bersama tetapi dalam prakteknya harta bersama diakui dan apabila terjadi perselisihan harta bersama tersebut dibagi dua.
Selain itu masih jarangnya dibuat perjanjian perkawinan antara calon suami-isteri tersebut juga disebabkan bahwa adanya suatu prasangka apabila calon pasangan suami-isteri melakukan suatu perjanjian perkawinan sebelum atau pada saat perkawinan mereka dilangsungkan, calon pasangan suami-isteri tersebut telah memperkirakan perkawinan mereka tidak akan langgeng dan menimbulkan rasa saling tidak percaya satu dengan yang lainnya, padahal seharusnya rasa percaya tersebut merupakan landasan dan dasar yang kuat untuk membentuk suatu mahliqai perkawinan yang langgeng.
Dalam Q. S. An-Nisaa: 21 disebutkan bahwa perkawinan merupakan perjanjiar. yang suci, kuat dan kokoh yang menyebabkan segala sesuatu yang diperoleh selama perkawinan adalah milik bersama, kecuali harta yang ditujukan untuk diberikan kepada masing-masing pihak suami-isteri, sehingga tidak diperlukan lagi suatu perjanjian syirkah.
Seharusnya perjanjian perkawinan yang dilakukan oleh calon pasangan suami-isteri tidaklah menimbulkan prasangka yang demikian, karena suatu perjanjian perkawinan hanyalah merupakan suatu sarana untuk m(Impermudah dan memperjelas mengenai pengaturan harta kekayaan mereka ataupun hal lain seiauh hal tersebut tidak bertentangan dengan UU yang mengaturnya. Dari hal-hal tersebut di atas terlihat masyarakat masih belum paham benar mengenai perjanjian perkawinan.
Rita Serena Kalibonso SH, pengacara dari LBH Jakarta, menyebutkan:[111]
"Beberapa pengalaman membuktikan bahwa banyak perkawinan yang kemudian putus, menyisakan persoalan pembagian harta antara suami-isteri. Kenyataannya persoalan ini tidak mudah untuk diselesaikan karena setelah hubungan memburuk, untuk diselesaikan karena setelah hubungan memburuk, untuk pembagian harta menjadi cukup ruwet.”

Dalam UUP yang di dalamnya terdapat ihwal perjanjian ini sangat dimungkinkan dipakai dan dilaksanakan sejauh suami-isteri menghendaki. Perjanjian Perkawinan itu sendiri sangat penting, karena ada beberapa yang patut diketahui secara jelas bagi pasangan suami-isteri untuk melindungi hak-hak dan kewajiban dari pada akibat hukum adanya perkawinan.
Pada prakteknya apabila calon pasangan suami-isteri melakukan suatu perjanjian perkawinan, maka calon pasangan suami-isteri tersebut bermaksud untuk mengatur mengenai harta kekayaan mereka di dalam suatu akta, bukan mengenai hal-hal yang lain selain mengenai harta kekayaan mereka. Perjanjian Perkawinan yang banyak dibuat adalah peniadaan kebersamaan harta kekayaan yang disebutkan secara tegas di dalam akta perjanjian perkawinan.
BAB IV
ANALISA PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM PRAKTEK DITINJAU MENURUT HUKUM ISLAM

A.    Akta Perjanjian Perkawinan dalam Praktek
Penulis bermaksud untuk membanas ccntoh Akta Perjanjian Perkawinan dalam perspektif hukum Islam, yang diperoleh penulis pada Kantor Notaris di Jakarta Pusat, untuk mendukung pernyataan penulis.
Dalam Perjanjian Perkawinan  dalam hal ini disebut Perjanjian Kawinan disebutkan bahwa :
1.      Para penghadap menerangkan, bahwa mereka telah sepakat untuk mengatur harta bendaayaan, sebagai akibat hukum dari perkawinan yang akan dilangsungkan.
2.      Antara suami-isteri tidak akan terjadi campur/ persatuan harta sehingga campur harta baik campur harta lengkap maupun campur  untung rugi dan campur hasil pendapatan dengan tegas ditiadakan.
3.      Oleh karena itu, maka suami dan isteri tetap memiliki harta yang dibawanya ke dalan perkawinan mereka dan yang diperoleh masing-masing selam:a perkawinan itu, demikian pula semua harta yang diperoleh masing-masing karena penggantian dari penanaman atau penukaran.
4.      Semua hutang yang dibawa oleh suami atau isteri  kedalam perkawinan yang dibuat oleh mereka selama perkawinan atau diperoleh mereka secara cuma-cuma, tetap akan menjadi tanggungan (dipikul oleh)      suami atau isteri yang masing-masing  telah membawa, membuat atau menerima hutang-hutang itu.
5.      Isteri akan mengurus semua harta pribadinya, baik yang bergerak maupun tidak bergerak dan dengan bebas memungut (menikmati) hasil dari pendapatat, baik dari hartanya itu maupun dari pekerjaannya atau dari sumber lainnya.
6.      Untuk mengurus hartanya itu isteri tidak memerlukan bantuan atau kekuasaan dari suami dan dengan ini suami untuk keperluannya memberi kuasa yang tetap dan tidak dapat dicabut lagi kepada isteri untuk melakukan segala tindakan pengurusan harta pribadi isteri itu tanpa diperlukan bantuan dari suami.
7.      Apabila ternyata suami telah melakukan pengurusan atas harta pribadi isteri, mereka suami bertangqung jawab akan hal itu.
8.      Semua biaya yang dikeluarkan untuk rumah tanqga dan pemeliharaan serta pendidikan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka menjadi tangqungan, harus dipikul dan dibayar oleh suami sendiri, untuk hal mana isteri tidak dapat dituntut.
9.      Pengeluaran biasa dan sehari-hari untuk keperluan rumah tangga yang dilakukan oleh isteri, dianggap telah dilakukan dengan persetujuan suami.
10.  Barang-barang yang berupa pakaian, perhiasan, buku-buku, surat-surat, alat-alat dan perkakas yang dipergunakan untuk pelajaran atau pekerjaan oleh suami atau isteri masing-masing, baik yang sewaktu­-waktu terdapat, juga bila terdapat pada waktu putusnya perkawinan mereka merupakan milik suami atau isteri yang menggunakan barang-barang itu atau dianggap biasa menggunakan barang-barang itu.
11.  Barang-barang tersebut tanpa diadakan penyelidikan atau perhitungan dianggap sama atau sebagai pengganti dari barang-barang yang serupa dengan yang dibawa ke dalam perkawinan mereka.
12.  Semua perabot rumah tangga yang sewaktu-waktu terdapat dalam rumah suami-isteri, juca pada waktu putusnya perkawinan mereka, terkecuali barang­barang tersebut dalam ayat pertama pasal ini milik suami, adalah milik isteri pribadi karena perabot rumah tangga itu dianggap sama dengan atau sebagai pengganti dari perabot yang dibawa oleh isteri kedalam perkawinan mereka itu, tanpa ada atau diperlukan penyelidikan asal usulnya atau perhitungan.
13.   Barang-barang bergerak lainnya yang tidak termasuk ketentuan-ketentuan tersebut di atas yang selama perkawinan oleh karena pembelian, warisan, hibah wasiat, hibahan atau dengan cara lain menjadi milik (jatuh kepada) isteri, harus terr.yata dari suatu daftar atau catatan lain yang ditanda tangga oleh suami dan isteri dengan tidak mengurangi hak isteri atau (para) ahli warisnya untuk membuktikan tentanq adanya atau harganya barang-barang itu, baik dengan surat-surat bukti lain, saksi-saksi atau karena umum telah diketahuinya.

B.     Analisa Kasus
Berkaitan dengan Akta Perjanjian Kawin tersebut penulis mencoba membahasnya dalam perspektif hukum Islam yang menjadi topik penulisan ini.
Akta Perjanjian Kawin di atas, sistematikanya adalah:
1.      Tidak ada persekutuan harta dalam bentuk apapun juga.
2.      Harta masing-masing tetap milik masing-masing.
3.      Isteri berhak mengurus hartanya sendiri serta bebas memungut hasilnya, tidak perlu bantuan suaminya.
4.      Hutanq masing-masing juga menjadi tanggungan masig-­masing.
5.      Biaya rumah tangga dan pendidikan anak menjadi tangqungan suami.
6.      Perabot rumah tangga, milik pihak isteri.
7.      Pakaian, perhiasan, buku, perkakas dan alat-alat yang berkenaan dengan pendidikan / pekerjaan masing-masing adalah milik pihak yang dianggap menggunakan barang itu.
8.      Barang bergerak lain yang karena hibah, warisar., atau jalar. lain selama perkawinan jatuh pada salah satu pihak, harus dapat dibuktikan asal-usulnya.
Apabila isi perjanjian kawin di atas diteliti dengan seksama, intinya adalah “Peniadaan kebersamaan harta kekayaan”. Dengan demikian, apabila terjadi perceraian atau terjadi kematian salah satu pihak dapat seqera ditentukan harta mana yang menjadi hak isteri dan mana yang menjadi hak suami.
Dalam hal terdapat perjanjian peniadaan tiap-tiap kebersamaan harta kekayaan, maka dalam perkawinan itu hanya ada 2 macam harta kekayaan, yaitu: harta pribadi isteri dan harta pribadi suami, dan tidak adanya kemungkinan adanya harta kekayaan milik bersama.
Hal tersebut adalah tidak bertentangan dengan hukum islam, karena hal ini berarti mereka tidak mengadakan syirkah, artinya tidak terjadi percampuran harta kekayaan antara suami-isteri.
Dengan memperhatikan pengertian, syarat-syarat dan unsur-unsur pembentuk suatu perjanjian menurut hukum Islam, akta perjanjian perkawinan di atas, telah memenuhi hal-hal tersebut, artinya perjanjian kawin tersebut adalah sah menurut hukum Islam.
Perjanjian Kawin tersebut terbentuk dengan adanya:
1.      tharafayil aqdi (dua pihak akad), dalam hal ini adalah calon pasangan suami-isteri.
2.      mahalul aqdi (benda yang menjadi objek akad), dalam hal ini adalah harta kekayaan masing-masing pihak.
3.      Maudlu 'i1 aqadi (tujuan akad atau maksud pokok mengadakan akad itu), daiam hal ini adalah untuk mengatur, mempermudah dan memperjelas mengenai peraturan harta kekayaan suami-istri tersebut.
4.      rukun-rukun akad (ijab dan qabul), adalah ucapan / tindakan yang menunjukkan kepada kehendak kedua belah pihak, hal ini berhubungan dengan Iradah bathinah (haqiqiyah) dan Iradah dhahirah (kehendak lahir) yang dimiliki kedua belah pihak yang bersedia membuat Akta Perjanjian Kawin tersebut.
Masing-masing pihak ini juga telah memenuhi syarat yang ditentukan syara’ yang wajib dipenuhi dalam melakukan suatu akad/ perjanjian supaya akad/ perjanjian itu menjadi sempurna, yaitu:
1)      Ahliyatul  'aqidainii kedua belah pihak cakap berbuat ).
2)      Qabliyatul mahallil aqdi li hukmihi (yang dijadikan obyek akad, dapat menerima hukumnya).
3)      wilyatus syari'iyah fi maudlu 'i1 Aqdi (akad itu diijinkan oleh syara', dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya).
4)      Alla yakunal    ‘aqdu   au mauduv'uhu mamnu'an binashshin syar’iyin (akad tersebut tidak dilarang syara).
5)      Kaunul 'aqdi mufidan (akad itu memberi faedah).
6)       Baqaul ijbabi shalihan ila mauqu 'i1 qabul. (Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut, sebelum terjadi qabul). Ittihadu majlisil 'aqdi (bertemu di majlis akad). Karenanya, ijab menjadi batal apabila sampai kepada berpisah yang seorang dengan yang lain, belum ada qabul. Syarat yang ketujuh ini disyaratkan oleh mazhab Asy Syafi’ y, tidak         terdapat dalam mazhab- mazhab yang lain.
Perjanjian Kawin yang dibuat oleh pasangan suami­isteri tersebut memenuhi semua unsur-unsur, syarat-syarat yang harus ada dalam suatu perjanjian menurut hukum perikatan Islam. Namun, Perjanjian Perkawinan masih dipandang tabu oleh sebagian masyarakat Indonesia terutama yang beragama Islam, karena mereka menganggap bahwa Perjanjian Perkawinan tidak sesuai dan bersumber dengan jiwa ajaran Islam mengenai tujuan dari konsep perkawinan yang memandang perkawinan adalah suatu ikatan yang suci (mitsaaqan ghaliizhan), hal yang sakral, mengandung nilai ibadah, sunnatullah serta keabadian separ.jang hidup, sehingga apabila calon pasangan suami-isteri membuat Perjanjian Perkawinan berarti mereka telah memprediksi bahwa perkawinan tersebut tidak akan berlangsung lama dalam hal ini akan menimbulkan rasa saling tidak percaya yang merupakan hal yang penting dalam suatu perkawinan.
Seperti telah diterangkan pada bab sebelumnya, bahwa Perjanjian Perkawinan dibuat untuk mengatur akibat hukum yang timbul dari perkawinan dan pada umumnya calon pasangan suami-isteri membuat perjanjian Perkawinan untuk mengatur, memperjelas dan mempermudah kedudukan harta dalam perkawinan. Perjanjian Perkawinan adalah suatu langkah preventif untuk mencegah terjadinya perselisihan mengenai harta dalam perkawinan. Hai ini tidaklah dapat dihubungkan dengan tujuan dan konsep perkawinan dalam Islam.
Adanya sebagian masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Islam yang memandang bahwa Perjanjian Perkawinan adalah hal yang tabu untuk dilaksanakan, disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuar. mereka tentang arti pentingnya Perjanjian Perkawinan.
Perlu kiranya diketengahkan disini bahwa dengan adanya Undang-undang Nomor 1/ 1974 tentang Perkawinan-­seianjutnya disebut UUP-- yang berlaku untuk seluruh warga Negara Republik Indonesia tanpa membedakan agama dan keturunan, maka segala ketentuan mengenai Perjanjian Perkawinan harus mengikuti aturan-aturan yang terdapat di dalamnya.
Pada praktek yang terjadi di Indonesia, para pihak yaitu calon pasangan suami-isteri yang akan membuat Perjanjian Perkawinan datang ke Notaris untuk mengatur akibat hukum dari suatu perkawinan, mengenai harta kekayaan masing-masing, dan biasanya mereka meniadakan kebersamaan harta baik kebersamaan untung rugi maupun hasil pendapatan dan untuk pengesahan perjanjian kawin yang diberi wewenang oleh undang-undang ialah pegawai pencatat perkawinan, yaitu pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk bagi mereka yang beragama Islam dan pegawai pencatat perkawinan yang lain (catatan sipil) baqi mereka yang bukan Islam. Pengesahan hanya diberikan, bila tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan (pasal 29 ayat 2 UU No.1/ 1974).
Dengan mellihat isi dari UUP pasal 35, 36 dan 37, ketentuan mengenai harta kekayaan yang di atur dalam UUP sudah sangat jelas dan sejalan dengan ketentuan hukum Islam. Di sini hanya ditekankan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan baik karer,a usaha suami/ isteri atau suami-isteri bersama-sama otomatis menjadi harta bersama, tetapi apabila terjadi perceraian maka pembagian harta bersama tetap mengikuti ketentuan hukumnya masing-masing, Jadi bagi orang Islam tetap mengikuti ketentuan hukum islam.
Pada hakikatnya Perjanjian Perkawinan kurang berlaku efektif di Indonesia. Meskipun dalam Pasal 29 UUP disebutkan bahwa Perjanjian Perkawinan dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, tetapi ada prakteknya banyak pasangan suami-isteri yang membuat Perjanjian Perkawinan setelah perkawinan berlangsung.
Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan Martin, S.H., pada Kantcr Notaris Yuris, Martin & Partners, terjadi perbuatan melanggar hukum dalam hal Perjanjian Perkawinan ini dengan diberlakukannya Undang-undang tentang Perseroan Terbatas, UU No. 4 Tahun 1996, yang meletakkan tanggung jawab direktur PT sampai ke harta pribadi, banyak pasangan yang salah satunya direktur dari sebuah perusahaan terbatas (PT), yang telah melangsungkan perkawinan, membuat Perjanjian Perkawinan. Tujuannya tentunya untuk membatasi jumlah harta kekayaan suami/ isteri yang direktur PT, agar kalau terjadi sesuatu dan dia harus bertanggunajawab sampai harta pribadi, maka harta sudah tidak ada lagi.
Para pihak yang berniat mengingkari tanggungjawab direktur sampai harta pribadi seperti yang ditetapkan dalam UU PT yana baru, berupaya dengan segala cara agar hal itu dapat terlaksana dengan cara mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar Pengadilan Negeri membuat penetapan yang berisi izin bagi para pihak untuk membuat perjanjian kawin setelah perkawinan dilangsungkan. Para pihak dengan berbekal           penetapan pengadilan itu pergi ke Notaris dan membuat perjanjian kawin yang mengabulkan permohonan penetapan izin membuat perjanjian kawin berdalih bahwa kalau Undang-undang tidak mengatur, maka hakim demi keadilan dapat mengisi kekosongan hukum.
Hakim yang mengabulkan permohonan penetapan izin membuat perjanjian kawin tidak melindungi kepentingan pihak ketiga yaitu orang yang mempunyai piutang kepada suami/ isteri tersebut.
Perjanjian Perkawinan yang dibuat setelah berlangsungnya perkawinan adalah perbuatan melanggar hukum dan batal demi hukum, hal ini telah jelas diatur dalam UUP di Indonesia.
BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian yang mendalam dan membuat suatu penulisan mengenai “Perjanjian Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam” dengan penuh kehati-hatian untuk memenuhi standar objektif keilmuan, penulis mencoba membuat suatu kesimpulan berkaitan dengan permasalahan yang timbul mengenai hal tersebut.
1.      Kedudukan harta suami-isteri dalam perkawinan :
Pada dasarnya menurut hukum Islam harta suami-isteri itu terpisah, baik harta bawaannya masing-masing atau harta yang diperoleh salah seorang suami-isteri atas usahanya sendiri-sendiri maupun harta yang diperoleh salah seorang mereka karena hadiah atau hibah atau warisan seseorang, mereka terikat dalam hubungan perkawinan. Dilihat dari asalnya harta kekayaan dalam perkawian itu dapat digolongkan menjadi tiga golongan :
a.       Harta masing-masing suami-isteri yang telah dimilikinya sebelum kawin baik diperolehnya karena mendapat warisan atau usaha-usallia lainnya, disebut sebagai harta bawaan.
b.      Harta masing-masing suami-isteri yang diperolehnya selama berada dalam hubungan perkawinan, tetapi diperoleh bukan karena usaha mereka bersama-sama maupun sendiri-sendiri, tetapi diperolehnya karena hibah, warisan ataupun wasiat untuk masing-masing.
c.       Harta yang diperoleh setelah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau salah satu pihak dari mereka disebut harta pencaharian atau harta bersama.
Mengenai harta bersama tersebut sampai saat ini belum terdapat kesatuan pendapat tentang harta bersama antara suami-isteri, apakah ada atau tidak.                Al-Qur’an maupun Hadist Nabi tidak menjelaskan dengan tegas bahwa harta yang diperoleh selama dalam hubungan perkawinan menjadi milik suami sepenuhnya, dan juga tidak menjelaskan dengan tegas bahwa harta yang diperoleh selama dalam hubungan perkawinan itu menjadi milik bersama.
2.      Penerapan perjanjian syirkah pada persoalan harta suami ­isteri :
Perjanjian syirkah dapat diterapkan pada kedudukan harta pribadi dari suami-isteri, yang siapat terjadi dengan cara :
a.       Mengadakan perjanjian syirkah secara nyata-nyata tertulis atau diucapkan sebelum atau sesudah dilangsungkannya akad nikah dalam suatu perkawinan.
b.      Syirkah dapat pula ditetapkan dengan undang-undang/ peraturan perundangan.
c.       Syirkah antara suami-isteri itu dapat pula terjadi dengan kenyataan dalam kehidupan pasangan suami­isteri itu.
Penulis sependapat dengan kesimpulan yang diambil oleh beberapa Sarjana Islam dewasa ini di Indonesia, terutama Sajuti Thalib, S.H. dan Prof. DR. Hazairin, S.H. (almarhum) bahwa menurut Hukum Islam harta yang diperoleh suami dan isteri karena usahanya, adalah harta bersama (tidak perlu diiringi dengan syirkah). Dengan memperhatikan definisi macam-macam syirkah, dapatlah disimpulkan bahwa pencaharian bersama suami-isteri termasuk golongan Syirkah Abdar/ Mufawadlah.
3.      Pengaturan Perjanjian Perkawinan dalam Hukum Islam:
Hukum Islam tidak mengenal istilah Perjanjian Perkawinan, hanya saja dengan memperhatikan syarat­syarat dan cara terjadinya suatu perjanjian dalam perikatan Islam, perjanjian dapat diterapkan dalam suatu perkawinan dengan memenuhi semua ketentuan dalam hukum Islam. Di Indonesia Perjanjian Perkawinan yang berlaku uncuk umat Islam, diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 52 KHI.
4.       Bentuk dan Isi Perjanjian Perkawinan dalam praktek:
Perjanjian Perkawinan di Indonesia diatur dalam Pasal 29 Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974)-­selanjutnya disebut UUP-- jo Pasal 12 huruf "h" Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Pasal 45 sampai dengan 52 KHI. Pada praktek yang terjadi di Indonesia calon pasangan suami-isteri yang akan membuat Perjanjian Perkawinan datang ke Notaris untuk menoatur akibat hu}:um dari perkawinan mengenai harta kekayaan mereka.
Untuk pengesahannya, yang diberi wewenang oleh undanq­undang ialah pegawai pencatat perkawinan, yaitu pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk bagi mereka yang beragama Islam dan pegawai pencatat perkawinan yang lain (catatan sipil) bagi mereka yang bukan Islam.

B.     Saran
Berdasarkan permasalahan yang timbul berkaitan denqan Perjanjian Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam, penulis mencoba memberikan saran untuk sekedar memberi masukan mengenai penanggulangan permasalahan tersebut.
1.      Mengenai harta bersama pada waktu terjadi perceraian antara suami-isteri, pasal 37 tidak memberi patokan penyelesaian yang pasti, karena disebutkan bahwa kembali kepada hukum masing-masing (hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya). Untuk menghindari perselsihan yang sering terjadi menqenai harta bersama ini, perlu kiranya diadakan suatu Peraturan Pelaksana sehingga terdapat kepastian hukum mengenai harta bersama ini.
2.      Syirkah atau perkongsian dalam Islam banyak macamnya, sehingga terjadilah perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya sesuatu macam perkongsian. Harta bersama suami-isteri yang digolongkan sebagai Syirkah Abdaan Mufawadlah masih terdapat perbedaan pendapat mengenai diperbolehkan atau tidak. Oleh karena itu, para ahli hukum Islam harus melakukan tinjauan mengenai pendapat­pendapat yang tumbuh dalam berbagai mahzab dengan terlebih dahulu rnemperhatikan kaidah-kaidah umum yang merupakan realisasi dari iirman Allah SWT.
3.      Hukum Islam tidak mengenal istilah Perjanjian Perkawinan. Al-Qur’an maupun hadits Nabi tidak menjelaskan dengan tegas mengenai Perjanjian Perkawinan, sehinqga masalah ini merupakan masalah yanc perlu ditentukan dengan cara ijtihad yaitu dengan penggunaan akal pikiran manusia dengan sendirinya hasil pemikiran itu harus sesuai dan bersumber dengan jiwa ajaran Islam.
4.      Dalam praktek di Indonesia, calon pasangan suami-isteri yang akan membuat Perjanjian Perkawinan datang ke Notaris dan pengesahannya diberikan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan bila tidak melanggar  batas-batas hukum, agama dan kesusilaan (pasai 29 ayat 2 UU No. 1/1974). Istilah "batas-batas" dalam undang-undang tersebut kiranya tidak tepat. Seharusnya digunakan istilah "r.orma-norma", jadi norma-norma hukum, agama dan kesusilaan, sebab norma mengandung perintah dan larangan, sedankan istilah batas-batas tidak mempunyai arti yang demikian. Disamping itu, mengenai pegawai pencatat perkawinan haruslah disyaratkan menguasai hukum sehingga mengetahui bahwa Perjanjian Perkawinan tersebut adalah sah. Upaya-upaya lain yang harus dilakukan untuk mencapai kepastian dan harmonisasi hukum adalah mengadakan pengaturan kercbali mengenai Perjanjian Perkawinan dengan kerjasama dan koordinasi antara eksekutif, legislatif, judikatif, praktisi hukum dan kalangan lainnya yang berhubungan dengan perjanjian perkawinan.



[1] H. Zahry Hamid, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undan-undang Perkawinan di Indonesia, cet.l, (Jogyakarta: Binacipta, 1978), hal 1.
[2] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam, cet. 5, (Jakarta: UI Press, 1986), hal 93.
[3] M. Idris Ramulyo, Op.cit, hal 92.

[4] Zaitun Abdullah. "Praktik Perkawinan Mut'ah di Indonesia (Studi Kasus Perkawinan Mut'ah di Jawa Barat)." Program Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Hukum;. Univer$itas Indonesia, Jakarta; 1999.

[5] lbid., hat 30.

[6] lbid.

[7] Ibid., hal 31 .

[8] Indonesia, Undan -undang Tentang Perkawinan, UU No.. I tahun 1974, LN No. 1 tahun 1974, ps.1

[9] Abdullati, Op.cit., hat 32.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Indonesia, Undang-undang  tentang Talak, Nikah dan Rujuk, UU No. 2211946, ps 1 ayat 2

[13] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, cet. 3 (Semarang. PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hal. 127.

[14] Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, ps. l huruf c.
[15] Sayuti Thalib, Op.cit, hal
[16] Fachruddin Fuad Mohd, Kawin Mut'ah dalam Pandangan Islam cet. 1., (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hal. 6.

[17] Ibid., hal.13

[18] Junus Muhammad, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: CV A1 Hidayah, 1964), hal. 1.

[19] Fuad Muhammad, gp.cit., hal 13.

[20] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluaruaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam, cet. 5., (Jakarta: UI Press, 1986), ha147.

[21] Indonesia, Undang-undangan Tentang Perkawinan , UU Nomor. 1 Tahun 1974, LN. No. 1 Tahun 1974, ps. 1.

[22] Al-Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsiran Al-Qur'an., hal. 11

[23] Fuad Muhammad, op. cit., hat. 9.

[24] Junus Muhammad, Qp. cit., hat. 1.

[25] M. Idris Ramulyo, Tinjauan beberaaa asai UndanQ-undang No.l/ 1974 dari segi Hukum Perkawinan Islam, cet. 1., (Jakarta: II-iC, 1985), hal. 26.

[26] Junus Muhammad, W. cit., hal. 27.

[27] AI-Qur'an dan Terjemahannya, Op. cit., hal. 644.

[28] Ibid., hal. 412.

[29] Ibid., hal. 791.

[30] Ibid., hat. 116.
[31] Ibid., hal. 54.

[32] Ibid., hal. 253.

[33] Ibid., hal. 115

[34] Junus Muhammad, Op.cit., hal. 29.

[35] Ibid

[36] Hamid, Op.cit., hal. 3.

[37] Ibid.

[38] Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiaih Munakahat, cet. 1, (Bandung: C.V. Pustaka Setia, 1999), hai. 15.

[39] Ibid., hal. 16.
[40] Hamid, Op.cit., hal. 24.

[41] Ibid.

[42] Ibid.

[43] Thaib, Op. cit., hal. 65.

[44] Ibid

[45] Ibid., hal. 66. 31

[46] Ibid.

[47] Hamid., Op. cit., hal 25.

[48] Ibid
[49] Abidin, Op.cit., hal. 105.

[50] A1-Qur'an dan Terjemahannya, Op.cit., hal. 121

[51] Ibid., hal. 122.

[52] Thalib, Op. cit., hal. 51.

[53] Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, ps. 39, 40, 41, 43, 44.

[54] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, cet. 3, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hal. 154.

[55] Ibid., hal. 155.

[56] Ibid., hal. 156.

[57] Thalib, Op. cit., hal. 83.
[58] Thalib, Op.cit., hal. 83.

[59] Al-Qur'an dan Terjemahannya. Op. cit., hal. 122.

[60] lbid.

[61] Ibid., hal. 123­

[62] Ibid., hal. 11 5.

[63] Ibid., hal. 119.
[64] Ibid., hal. 120.

[65] Ibid., hal. 123.

[66] Ibid., hal. 120.

[67] Ibid., hal. 55.

[68] Hamid, Op.cit., hal. 59.

[69] Ibid., hal. 64.
[70] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Penagantar Fiah Mu'amalah, cet. 3, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra), hal. 26.

[71] Ibid., hal. 25.

[72] Ibid
[73] Ibid., Hal.28.
[74] Ibid., 35
[75] Ibid., hal. 40
[76] Ibid., 42
[77] Ibid.
[78] Ibid., hal 43

[79] Ibid., hal 33

[80] Ibid., hal. 34

[81] H. Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri di Indonesia, cet. 2, (Jakarta: Bulan Bintang,: 978), hal. 55.

[82] Sulaiman Rasjid, FiQh Islam, cet. 17, (Jakarta: Attahiriyah, 1954), hal 284.

[83] Ismuha, Op.cit., hal. 56.

[84] Ibid., hal. 56
[85] Ibid., hal. 56

[86] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam, cet. 5, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 82.
[87] Ismuha, op. cit., hal. 63.

[88] Thalib, Op. cit., hal.80
[89] Ismuha, Op. cit., hal. 71

[90] Ibid., hal. 72.

[91] Ibid.

[92] Ibid.

[93] Ibid., hal. 73.

[94] 1bid.
[95] Ibid.
[96] Ibid., hal. 101
[97] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet. 5, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 84.

[98] Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, ps. 52.
[99] Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, ps. 45.
[100] R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan di Indflrpa, (Surabaya: Airlangga Univ. Press, 1986), hal 57.
[101]A1- Qur'an dan Terjemahannya, (Jakarta: Departeman Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Penafsir AI-Qur'an), hal 156:

[102] Sighat Ta'lik Talak, diperoleh pada KUA Pondok Bambu, Jakarta Timur.

[103] Wila Chandrawila, "Trend Baru: Perjanjian Kawin," Pikiran Rakyat (9 Juni 2001).

[104] Ibid.

[105] Indonesia, Undang-undang tentang Perkawinan, UU No. I, LN. No. I, ps. 29.

[106] R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan di Indonesia, (Surabaya: Airlangga Univ. Press, 1986), hal. 61.

[107] Ibid., hal. 64.

[108] Ibid., hal. 66.

[109] Ibid., hal.67.
[110] Ibid., hal. 68.
[111] Rita Kalibonso, “Tak Ada Salahnya Membuat Perjanjian Sebelum Menikah” , Kompas (17 Maret 1996).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar