BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Persoalan
perkawinan adalah persoalan yang selalu menarik untuk dibicarakan, karena
persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup rnanusia yang asasi
saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah
tangga.
Perkawinan
adalah salah satu asas pokok hidup yang terutama dalam pergaulan atau
masyarakat yang sempurna, bukan saja perkawinan itu satu jalan yang amat mulia
untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan turunan, tetapi perkawinan itu dapat
dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum der.qan
yang lain. Serta perkenalan itu akan menjadi jalan buat menyampaikan kepada
bertolong-tolongan antara satu dengan yang lainnya. Dengan berumah tangga,
maka terbinalah kekeluargaan, melestarikan rasa cinta antara keluarga dan makin
kuatlah hubungan kemasyarakatan.
Perkawinan
merupakan suatu lembaga penting dalam kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa
tanpa perkawinan tidak mungkin terjadi kehidupan. manusia yang berkesinambungan.
Perkawinan adalah suatu wujud hidup bersama yang mempunyai akibat yang sangat
penting didalam masyarakat. Perkawinan tidak hanya menyebabkan dua orang
membentuk suatu kesatuan masyarakat kecil dalam sebuh keluarga tetapi juga
membawa akibat hukum bagi anak-anak yang kemudian dilahirkan dalam perkawinan
itu dan juga akibat-akibat hukum lainnya.
Perkawinan
merupakan jalan yang paling bermanfaat dan paling afdhal dalam upaya
merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bisa
terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah
shallallahu'alaihi wassallam mendorong untuk mempercepat nikah, memberantas
kendala-kendalanya. Islam mengutamakan diri pribadi seseorang untuk menjaga jiwa,
agama, kehormatan, kekayaan, pikiran dan tanah air dan melarang menjerumuskan diri
ke jurang kebinsaan.
Islam
adalah agama yang syumul (universal) yang
mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah dalam kehidupan ini yang
tidak dijelaskan dan disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil
dan sepele. Islam menjelaskan arti dari segala perintah dan larangan. Pada
umumnya setiap yang baik diperintahkan untuk dilakukan dan ditegakkan.
Sebaliknya semua yang tidak baik dan ada bahayanya dilarang dan dicegah
melakukannya. Setiap yang baik atau yang tidak baik diberi definisi dan batas-batasnya.
Dalam
masalah perkawinan, agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan
rinci. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik
serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai
dalam proses nafaqah dan harta waris,
semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail.
Syariat
Islam memandang bahwa perkawinan itu adalah ibadah, dalam arti sarana dan
bentuk pengejawantahan diri dalam mengabdi kerada Allah melalui dan menqikuti
sunah Rasul-Nya.
Menurut
hukum Islam, pernikahan atau perkawinan ialah :
"Suatu ikatan lahir
batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam
suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan Hukum Syari’at Islam”[1]
Apabila
perkawinan telah berlangsung dan sah memenuhi syarat dan rukunnya, maka akan
menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, akan menimbulkan juga hak serta kewajibannya
selaku suami isteri dalam keluarga, yang meliputi hak suami isteri secara
bersama, hak suami atas isteri, dan hak isteri atas suami.
Jika
suami dan isteri sama-sama menjalankan tanggungjawabnya masing-masing, maka
akan terwujudlah ketenteraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah
kebahagiaan hidup berumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berkeluarga
akan terwujud sesuai dengan tuntutan agama, yaitu sakinah, makaddah dan warahmah.
Manusia
menginginkan perkawinan yang mereka aiarni hanya akan terjadi sekali dan untuk
selamanya sampai kematian memisahkan mereka. Sehingga tepatlah apabila tujuan
perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa.
Namun
demikian tidak dapat kita pungkiri bahwa untuk mempertahankan suatu mahligai
perkawinan yang sesuai dengan tujuan perkawinan dan ketentuan pergaulan
suami-isteri yang diharapkan dalam agama Islam itu tidaklah mudah. Ikatan perkawinan
antara suami-isteri menimbulkan hak dan kewajiban antara mereka dengan masyarakat
luas, juga dengan anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan itu, serta
menyangkut pula hubungan mereka dengan harta benda perkawinan.
Pada
dasarnya perkawinan bertujuan untuk mempersatukan hidup dua manusia untuk
membina jiwa dan raga hingga mendapatkan ketenteraman abadi dari hidup sarnpai
mati, tetapi tidak dapat dipungkiri akan timbulnya berbagai. hambatan dalam
usaha memadukan kepribadian dan keinginan antara pasangan suami-isteri
tersebut.
Dalam
suatu perkawinan akan dipertemukan dua jenis manusia, yaitu laki-laki dan
perempuan yang demikian kepribadian dan keinginan
yang berbeda satu sama lainnya. Apabila timbul suatu hambatan yang dapat
merusak perkawinan tersebut hendaknya segera diselesaikan sehingga perkawinan
tersebut dapat dipertahankan dan tidak menimbulkan
perceraian sebagai suatu jalan keluar terakhir yang akan ditempuh.
Ikatan
perkawinan antara suami-isteri rnenimbulkan hak dan kewajiban antara mereka dengan
masyarakat luas, juga dengan anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan itu, serta
menyangkut pula hubungan mereka dengan harta kekayaan. Harta kekayaan
suami-isteri tersebut disadari dapat atau potensial menimbulkan masalah-masalah
hukum. Permasalatlan tersebut dapat terjadi menyangkut mereka berdua maupun
yang menyangkut pihak lain (pihak ketiga). Untuk mencegah timbulnya masalah,
langkah preventif telah ditempuh dengan diatur perihal harta kekayaan itu dalam
suatu perjanjian yang lazim disebut "Perjanjian Perkawinan”.
Perjanjian
Perkawinan ini dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan dibuat oleh seorang
lelaki dan perempuan yang hendak kawin itu, calon suami dan istri dibebaskan
untuk mengatur akibat hukum yang timbul karena perkawinan terhadap harta kekayaan
mereka. Perjanjian perkawinan itu serdiri dapat melindungi hak dan kewajiban kedua
belah pihak, melindungi akibat hukum dari perceraian dan kematian, alat untuk
memperjelas hak dan kewajiban.
Dengan
melihat hal-hal yang terurai di atas, penulis merasa tertarik untuk mengetahui
lebih dalam mengenai Perjanjian Perkawinan yang akan ditinjau menurut hukum Islam
mengingat pasangan suami-isteri yang beragama Islam masih jarang membuat
perjanjian perkawinan tersebut.
Dalam
penelitian ini difokuskan pada masalah perjanjian perkawinan dalam perspektif
hukum Islam khusus mengenai kedudukan harta kekayaan suami-isteri, baik yang
ada sebelum maupun yang timbul selarna perkawinan.
Keseluruhan
masalah di atas akan penulis coba uraikan dalam suatu tulisan berjudul "Perjanjian Perkawinan dalam
Perspektif Hukum Islam".
B.
Pokok Permasalahan
Berdasarkan
ketertarikan penulis terhadap persoalan yang menyangkut perjanjian perkawinan,
maka penulisan skripsi ini perlu diberikan batasan-batasan mengenai hal-hal
yang harus diuraikan, agar permasalahan yang akan dibahas dapat dipecahkan,
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Seperti
yang telah diuraikan di atas dan sesuai dengan tema skripsi ini, permasalahan
yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
a.
Bagaimana kedudukan harta suami isteri
dalarn perkawinan?
b.
Bagaimanakah penerapan perjanjian syirkah
pada persoalan harta suami isteri?
c.
Dimanakah pengaturan perjanjian perkawinan
dalam hukum Islam?
d.
Bagaimana bentuk dan isi perjanjian
perkawinan dalam praktek?
C.
Tujuan
Penulisan
Sesuai
dengan permasalahan pokok yang ada dalam penulisan ini maka tujuan dari
penulisan ini adalah :
1.
Untuk mengetahui dan menjelaskan kedudukan harta
suami-isteri dalam perkawinan.
2.
Memberi pengetahuan lebih mendalam tentang
pengaturan perjanjian perkawinan dalam hukum Islam.
3.
Untuk mengetahui dan menjelaskan penerapan
perjanjian syirkah pada persoalan harta suami istri.
4.
Untuk mengetahui bentuk dan isi perjanjian
perkawinan dalam praktek.
Jadi
tujuan penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk dapat memberikan masukan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan dengan persoalan mengenai perjanjian perkawinan
dan juga untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Satyagama.
D.
Kerangka
Teoritis dan Konsepsional
- Kerangka Teoritis
Dalam
penulisan skripsi ini, penulis akan menyuraikan teori-teori perjanjian
perkawinan dikaitkan. dengan harta kekayaan suami isteri dalam perkawinan
menurut hukum Islam.
Teori-teori
tersebut adalah sebagai berikut :
a.
Menurut hukum Islam
Dalam hukum Islam, tidak dikenal istilah perjanjian
perkawinan, hanya saja di dalam hukum
Islam dikenal adanya suatu perjanjian yang dapat diterapkan dalam suatu perkawinan.
Pendirian hukum Islam terhadap perjanjian perkawinan ternyata
dalam penerapar, syirkah terhadap persoalan suami-isteri dan perjanjian lain
yang tidak kekayaan bertentangan dengan hukum Islam.
Mengenai perjanjian syirkah dikaitkan dengan harta
kekayaan sualti-isteri, maka ada dua pendapat yang dikemukakan oleh dua orang
pakar hukum Islam, sebagai berikut:
(1)
Sayuti Thal.ib, S.H.
Harta
bawaan masing-masing pihak tetap menjadi milik dan dibawah kekuasaan
masing-masing. Begitu pun hasil keuntungan dan kerugian dari harta bawaan itu
tetap menjadi tanggung jawab masing-masing. Dalam hal kedua belah pihah ingin
mengadakan penggabungan harta tersebut diperbolehkan dan sangat dianjurkan.
Bentuk penggabungan dan penyatuan harta itu dilakukan dengan syirkah.
Keuntungan dan kerugiar. yang timbul ditambahkan atau dibebankan pada harta
syirkah itu. Hal tersebut berlaku pula atas perolehan masing-masing pihak
secara tersendiri sesudah adanya ikatan perkawinan, yang diperoleh selama dalam
ikatan perkawinan yang didapat atas usaha masing-masing atau secara usaha
bersama merupakan harta bersama suami-isteri.[2]
(2)
Prof. Dr. Hazairin, S.H.
Menurut
hukum Islam, harta yang diperoleh suami isteri karena usahanya adalah harta
bersama, baik. Mereka bekerja bersama-sama atau suami saja yang bekerja
sedangkan isteri mengurus rumah tangga beserta ar.ak-anak saja di rumah. Sekali
mereka itu terikat dalam perjanjiar. perkawinan sebagai suami-isteri, maka
semuanya merjadi bersatu, baik harta rnaupun anak-anak seperti yang diatur dalam
Al-Qur'an: S.IV:21. Tidak perlu diiringi dengan syirkah, sebab perkawinan
dengan ijab kabul serta memenuhi persyaratan lain-lainnya sepertinya adanya
wali, saksi, mahar, walimah dan illanulnikah sudah dapat dianggap adanya
syirkah antara suami-isteri itu.[3]
Pada
dasarnya harta suami-isteri terpisah, baik harta bawaannya masing-masing atau
harta yang diperoleh oleh salah seorang suami-isteri atas usahanya sendirisendiri
maupun harta yang diperoleh salah seorang mereka karena hadiah atau hibah atau
warisan sesudah mereka terikat dalam hubungan perkawinan.
Walaupun
demikian telah dibuka kemungkinan syirkah atas harta kekayaan suami-isteri itu
secara resmi dan menurut cara-cara tertentu. Suami-isteri dapat rnengadakan
syirkah yaitu percampuran harta kekayaan yang diperoleh suami atau isteri
selama masa adanya perkawinan atas usaha suami atau isteri sendiri-sendiri,
atau atas usaha mereka bersama-sama. Begitupun mengenai harta kekayaan usaha
sendiri-sendiri, sebelum perkawinan dan harta yang berasal bukan dari usaha
mereka berdua, tetapi berasal dari pemberian atau warisan atau lainnya yang
khusus teruntuk mereka masing-masing baik yang diperolehnya sesudah mereka berada
dalam ikatan suami-isteri dapat puia mereka syirkahkan.
b.
Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
Perjanjian
Perkawinan dalam UUP diatur dalam satu pasal atau empat ayat, yaitu Pasal 29
UUP. Jumlah pasal yang mengatur tentang Perjanjian Perkawinan ini di rasakan cukup sedikit kalau dibandingkan
dengan pengaturan oleh Burgerlijk Wetboek
selanjutnya ditulis B.W. untuk materi
yang sama. Oleh karena itu, apabila kita mengalami kesulitan yang berkaitan
dengan Perjanjian Perkawinan karena tidak tercakup pengaturannya di dalam UUP,
maka kita dapat menggunakan ketentuan mengenai Perjanjian Perkawinan yang
diatur dalam B.W. Dasar hukum penggunaan ketentuan Perjanjian Perkawinan B.W.
adalah Pasa1 66 UUP.
- Kerangka Konsepsional
Adalah
operation difination yang berfungsi untuk
menghindarkan kerancuan pengertian. Sehubungan dengan hal tersebut, berikut ini
diuraikan batasan-batasan operasionai istilah-istilah yang sering ditemukan
dalam penulisan ini.
1.
Hukum adalah norma atau peraturan-peraruran
yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik berupa
kenyataan maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan
ditegakkan oleh penguasa.[4]
2.
Islam adalah berserah diri atau taat sepenuh
hati kepada kehendak Allah demi tercapainya kepribadian yang bersih dari noda,
hubunga; yang harmcnis dengan Allah dan damai sesama manusia, untuk keselamatan
dan kesejahteraan di dunia ini dan di akhirat kelak.[5]
3.
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan
rnenjadi bagian dari aga:na Islam. Agama Islam sendiri mempunyai tiga bidana,
yaitu akidah, syariah, dan akhlak. Untuk menjelaskan akidah tirnbul ilmu kalam dan ushuluddin,untuk menjelaskan syariah muncul ilmu fikih dan untuk menjelaskan akhlak
muncul ilmu tasawuf dan ilmu akhlak.[6]
4.
Syariah adalah seperangkat norma Illahi yang
mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain
dalam kehidupan sosial, hubungan manusi dengan benda dan alam lingkungan hidupnya.[7]
5.
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suam-isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.[8]
6.
Mitsaaqan Ghaliizhan adalah ikatan (perkawinan)
yang kokoh dan kuat, artinya suatu perkawinan seyogyanya tidak mudah putus.[9]
7.
KUA adalah Kantor Urusan Agama kecamatan
yang biasa mencatat perkawinan yang terjadi di antara warganya yang beragama
Islam. [10]
8.
Peradilan Agama adalah peradilan bagi
orang-orang yang beragama Islam, sedangkan pengadilan adalah pengadiian agama
dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan agama.[11]
9.
Pegawai Pencatat Nikah adalah yang berhak
melakukan pengawasan atas nikah dan menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk,
hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai olehnya.[12]
10. Akad
adaiah suatu macam perbuatan hukum
yang dilakukan manusia yang karenanya timbullah beberapa hukum.[13]
11. Akad nikah adalah rangkaian ijab yang
diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya
disaksikan oleh dua orang disakasikan oleh dua orang saksi.[14]
12. Syirkah adalah
pengaturan persyarikatan atau perkongsian
dalam perdagangan atau pemberian jasa.[15]
E.
Metode
Penulisan
Untuk
mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan dalam penyusunan tulisan ini, penulis
telah mengadakan penelitian. Sebagaimana kita ketahui penelitian merupakan
suatu kegiatan iimiah yang berkaitan dengan analisa dan Konstruksi, yang
dilakukan secara metodelogis, sistematis dan konsisten untuk mengungkapkan kebenaran.
Ciri-ciri ilmiah yang membedakannya dari kegiatan-k.egiatan lain juga bertujuan
mengungkap kebenaran.
Dalam
pembuatan tulisan ini penulis mengunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian
lapangan (field research). Penelitian
kepustakaan dilakukan dengan membaca buku-buku/ literatur terlampir,
perundang-undangar. serta hasil-hasil penelitian sebelumnya yang ada sangkut
pautnya dengan tulisan yang akan dibuat untuk menemukan fakta. Sedangkan
penelitian lapangan dengan kegiatan di luar kepustakaan, yaitu wawancara dan
pencarian bahan di KUA, Catatan Sipil, Pengadilan Agama dan Kantor Notaris. Pilihan
penelitian kepustakaan dan lapangan tersebut di atas dilakukan dengan
pertimbangan bahwa tujuan dan data yang diperlukan dalam penelitian ini dapat
dicapai.
F.
Sistematika
Penulisan
Secara
keseluruhan penulisan ini terdiri dari lima Bab, diawali dengan Bab I yang terdiri dari Pendahuluan yang
berisi latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penulisan, kerangka konsepsional dan
teoritis, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab
II skripsi ini memuat tinjauan mengenai kedudukan harta dalam perkawinan
menurut hukum Islam yang membahas pengertian perkawinan dalam Islam, juga
memuat mengenai kedudukan harta suami-isteri dalam perkawinan dan akan
diuraikan mengenai pengertian harta suami-isteri, macam-macam harta suami-isteri,
hak dan kewijiban suami isteri terhadap harta tersebut.
Bab
III sripsi ini menyajikan ketentuan Perjanjian Perkawinan dalam hukum Islam,
baik mengenai pengertian perjanjian, unsur pembentuk, syarat-syarat dan
penghalang suatu perianlian, juga akan diuraikan mengenai pengertian syirkah,
bagaimana penerapan syirkah pada persoalan harta suami isteri dan uraian mengenai
bentuk dan isi Perjanjian Perkawinan.
Dalam
Bab IV akan memuat contoh Akta Perjanjian Perkawinan dalam praktek beserta
analisa dalam perspektif hukum Islam.
Bab
V yang merupakan bab Penutup skripsi ini memuat kesimpulan yang dirumuskan dari
hasil penelitian serta analisis yang dilakukan di dalam bab terdahulu dan saran
yang diberikan penulis untuk mengatasi permasalahan yang timbul berkaitan dengan
Perjanjian Perkawinan.
BAB II
KEDUDUKAN HARTA DALAM PERKAWINAN
MENURUT HUKUM ISLAM
A. Tinjauan Syariat Islam tentang Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan
dalam Islam dinamakan zawaj atau nikah. Zawaj artinya pasangan dalam arti
mempertemukan dua jenis manusia menjadi pasangan hidup. Sebab arti nikah dalam
bahasa ialah merangkul dan mempertemukan.[16]
Dalam
syariat Islam kata nikah ini
mendapatkan arti yang lebih menentukan yaitu akad nikah yang mengikat dengan
rukun-rukun dan syarat-syarat yang menghalalkan dua jenis manusia untuk hidup
secara halal dalam hubungan yang sah secara mendalam. Sebenarnya kata nikah dalam istilah bahasa Arab adalah
bersetubuh tetapi dipakai untuk akad nikah ini adalah jalan yang wajar dan sah untuk
melakukan tujuan daripada kata itu.[17]
Dalam
bahasa Indonesia sehari-hari perkawinan disebut akad nikah yang berarti
perjanjian suci untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan
seorang pria membentuk keluarga bahagia dan kekal (abadi).[18]
Pendapat
lain menyebutkan bahwa perkawinan mengikat dengan rukun-rukun dan syarat-syarat
yang menghalalkan dua jenis manusia untuk hidup secara halal dalam hubungan
yang sah secara mendalam di mana terdapat persetubuhan yang menjaga hawa nafsu,
mata dan pikiran dari sikap yang menjerumuskan dan membahayakan.[19]
Dalam
pasal 1 Bab I Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan-selanjutnya
disebut UUP dinyatakan :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.[20]
Bermacam-macam
pendapat yang dikemukakan orang mengenai perkawinan. Perbedaan di antara
pendapatpendapat itu tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan yang
sungguh-sungguh antara satu pendapat dengan pendapat yang lain, tetapi
memperluas wawasan berpikir dan bertindak untuk manusia mengutamakan yang lebih
baik dari apa yang baik dan yang lebih aman untuk memelihara keutuhan
perkawinan itu. Sebab perkawinan pada dasar dan tujuannya ialah mempersatukan
hidup dua manusia untuk membina jiwa dan raga hingga mendapatkan ketentraman abadi
dari hidup sampai mati.
Perkawinan
harus dilihat dari tiga segi pandangan Perkawinan dilihat dari segi hukum :[21]
1. Dipandang dari segi hukum,
perkawinan itu merupakan suatu perjanjian, dinyatakan ".....perkawinan
adalah perjanjian yang sangat kuat....." disebut dengan kata-kata
"mitsaqoon qholiidhoon". Juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk
mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya:
- Cara menandakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu.
- Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talaq, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.
2. Segi sosial dari suatu
perkawinan.
Dalam masyarakat setiap
bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum, ialah bahwa orang yang berkeluarga
atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dihargai dari
mereka yang tidak kawin.
3. Pandangan suatu perkawinan
dari segi aaama atau segi yang sangat penting.
Dalam
agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan
adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suamiisteri
atau saling minta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.
Perkawinan
merupakan sunnatullan yang umum dan
berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun
tumbuh-tumbuhan. Ia adalah saiah satu cara yang dipilih Allah SWT, sebagai
jalan bagi mahukNya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.[22]
Allah
SWT berfirman dalam Surat An-Nisa: 1 yang artinya :
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang sa tu dan dari padanya Allah menciptakan
istrinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak...”
Allah
SWT, tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas
mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anargik
atau tidak aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia,
maka Allah SWT, mengadakan hukum sesuai dengan martabat tersebut. Dengan demikian,
hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat berdasarkan
kerelaan dalam suatu ikatan berupa perkawinan.
Bentuk
perkawinan ini memberikan jalan yang aman pada naluri seksual untuk memelihara
keturunan yang sah dalam masyarakat.
Agama
Islam menetapkan bahwa untuk membangun rumah tangga yang damai dan teratur itu
haruslah dengan perkawinan menurut ketentuan hukum Islam.
2. Tujuan Perkawinan
Perkawinan
Islam, setelah terdapat persetujuan antara dua jenis manusia untuk mengikat
diri dalam hidup bersama yang halal, maka diadakanlah satu perjanjian yang utuh
kukuh dengan iman dan keyakinan menerima syarat hidup dalam ikatan abadi dan
pribadi.
Perkawinan
itu adalah perjanjian bilateral yang mengikat dua makhluk berlainan jenis untuk
mendirikan rumah tangga dengan tujuan memakmurkan dunia dan kelestarian hidup.
Ini merupakan hidup panjang dengan penuh kepercayaan, sebab perkawinan
dilakukan antara makhluk Allah satu sama lain.[23]
Tujuan
perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah
dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.[24]
Selain
itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam
selain memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia juga sekaligus untuk
membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani
hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan
ketenteraman jiwa bagi yang yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.
bersangkutan, ketenteraman keluarga dan masyarakat.[25]
Dari
rumusan di atas Filsuf Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah perkawinan
dalam lima hal, yaitu :[26]
1. Memperoleh keturunan yang
sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa
manusia.
2. Memenuhi tuntutan naluriah
hidup kemanusiaan.
3. Memelihara manusia dari
kejahatan dan kerusakan.
4. Membentuk dan mengatur
rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar di atas
dasar kecintaan dan kasih sayang.
5. Menumbuhkan kesungguhan
berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggung
jawab.
Pada
dasarnya inti mengenai tujuan perkawinan yang disebutkan di atas tidak berbeda,
untuk lebih jelasnya dapat kita lihat beberapa ayat-ayat A1-Qur'an dan Hadits
yang berhubungan dengan perkawinan:
1.
Membentuk keluarga sakinah (Q.S.Rum:21):
“Dan diantara tanda-tanda
kekuasaan Allah itu, telah dijadikan jodoh buat kalian yang sejenis dengan
kalian (bangsa manusia) agar kalian mendapat ketenteraman dan la telah jadikan
cinta kasih diantara kalian dan itu semuanya merupakan tanda-tanda kekuasaan
Allah baagi mereka yang berfikir”.[27]
2.
Penerus keturunan (Q.S.An-Nahl: 72) :
“Dan dari isteri kalian itulah Tuhan
jadikan anak cucu kalian serta Tuhan rizki yang baik buat kalian”.[28]
Dalam
Q.S.Asy-Syura: 49-50, Allah SWT juga berfirman:
“Kepunyaan Allah-lah
kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia
memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan
anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua
jenis lakilaki dan perempuan (kepada siapa yang kehendaki-Nya), dan Dia
menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui
lagi Mahakuasa”.[29]
3.
Meninggalkan keturunan dalam keadaan kecukupan dan tidak
menjadi beban masyarakat (Q.S. An-Nisa:9):
“Hendaknya orang-orang itu
takut/khawatir apabila mereka meninggalkan keluarga/keturunannya dalam keadaan
lemah dan mengkhawatirkan dalam hidupnya”.[30]
4.
Melaksanakan libido seksualis (Al-Baqarah:223):
“Isteri-isterimu adalah
(seperti) tanah kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok
tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk
dirimu...”.[31]
5.
Memperoleh kebahagiaan dan ketenteraman (Q.S.Al-Araf:189):
“Dialah yang menciptakan kamu dari
diri yang satu dan darinya Dia menciptakan istrinya agar dia merasa senang kepadanya”.[32]
6.
Menjalankan perintah Allah (Q.S.An-Nisa:3) :
“..maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu sukai...” .[33]
Sabda-sabda Rasulullah SAW, mengenai
perkawinan dapat kita jumpai sebagai berikut:
1.
Hadits riwayat A1 baihaqy dari Sa'ied bin Hilal Allaitsy:
"Kawinlah kamu, berketurunanlah
kamu, sesungguhnya aku (Muhammad) bangga dengan kamu terhadap umat lain pada
hari kiamat”. [34]
2.
Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim dari Ibn Mas'ud:
“Hai para pemuda, barang
siapa di antaramu telah cukup bersiap untuk kawin, maka segeralah berkawin,
karena perkawinan itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan, dan
barang siapa tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat
mengurangi svahwat”.[35]
3.
Hadits riwayat Atturmudzy dari Abu Hatim dan Abu Hurairah:
“Bila datang kepadamu
seorang yang kemu pandang baik agamanya dan budi pekertinya, maka kawinkanlah
dia. Kalau tidak demikian maka terjadi fitnah dan bahaya yang besar”.[36]
4.
Hadits riwayat Al Bukhary dan Muslim, dari Anas:
"Apa gerangan kamu
berkata ini dan itu. Ingatlah Demi Allah, sungguh sayalah yang paling bertaqwa
kepada Allah daripada kalian, namun saya ini melakukan shalat, tidur, berpuasa
dan berbuka, serta berkawin”.[37]
5.
Hadits riwayat Bukhari:
“Jika seorang anak Adam telah
meninggal, maka putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara, yaitu: sadaqah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya”.[38]
6.
Hadits riwayat Ibnu Majah:
"Nikah itu adalah
sunahku, maka barang siapa yang tidak mau mengikuti sunahku, dia bukan umatku”.[39]
Memperhatikan
ayat-ayat A1-Qur'an dan Hadits Rasulullah SAW tersebut di atas jelas bahwa
Islam menganjurkan perkawinan, agar terwujud keluarga yang besar yang mampu
mengatur kehidupan mereka di atas bumi ini, dan dapat menikmati serta
memanfaatkan segala yang telah disediakan Tuhan.
Jadi
perkawinan adalah hal yang sakral, mengandung nilai ibadah, sunnatullah serta
keabadian sepanjang hidup. Oleh sebab itu syariat Islam mengadakan beberapa
peraturan untuk menjaga keselamatan perkawinan ini. Demikianlah maksud perkawinan
yang sejati dalam Islam.
3. Rukun dan Syarat Perkawinan
Menurut
UUP Bab I pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Bagi
umat Islam, perkawinan itu adalah sah apabila diiakuka:. mer.urut Hukum
Perkawinan Islam. Suatu akad perkawinan dipandang sah apabila telah memenuhi
segala rukun dan syaratnya sehingga keadaan akad itu diakui oleh hukum syara.
Perbedaan
antara syarat dan rukun perkawinan ialah, bahwa rukun perkawinan sebagian dari
hakikat perkawinan, seperti laki-laki, perempuan, wali, akad nikah dsb.
Semuanya itu adalah sebagian dari hakikat perkawinan, dan tidak dapat terjadi
suatu perkawinan, kalau tidak ada misalnya laki-laki atau perempuan. Maka demikian
itu dinamai rukun perkawinan.
Adapun
syarat ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan,tetapi tidak termasuk
salah satu bagian dari pada hakikat perkawinan itu, misalnya syarat wali itu
laki-laki, baligh, berakal, dsb.
Rukun
akad perkawinan ada lima, yaitu:
- Beragama Islam.
- Akil baligh.
- Tidak sedang berihram haji/umrah.
- Tidak mempunyai isteri empat, termasuk isteri yang masih dalam menjalani talak raj'iy.
- Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan mempelai perempuan, termasuk isteri yang Tasih dalam menjalani iddah talak raj'iy.
- Tidak dipaksa.
- Bukan mahram calon isteri.
- Beragama Islam atau ahli kitab.
- Akil baligh.
- Tidak sedang berihram haji/umrah.
- Belum pernah disumpah li'an oleh calon suami.
- Tidak bersuami atau tidak sedang menjalani iddah dari lelaki lain.
- Telah memberi ijin atau menunjukkan kerelaan kepada wali untuk menikahkannya.
- Bukan mahram calon suami.
- Beragama Islam jika calon isteri beragama Islam.
- Jelas ia laki-laki.
- Sudah baligh.
- Berakal.
- Tidak sedang berihram haji/umrah.
- Tidak mahjur bisafah (dicabut hak kewaliannya).
- Tidak dipaksa.
- Tidak rusak fikirannya.
- Tidak fasiq.
- Merdeka
Wali
al-nikaah selalu laki-laki orangnya dan terdiri pula atas bermacam-macam:
Artinya
anggota keluarga laki-laki bagi calon pengantin perempuan yang mempunyai
hubungan darah patrilinial dengan calon pengantin perempuan itu. Termasuk
kedalamnya:
a.
Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke
atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya.
b.
Kelompok kerabat saudara laki-lar.i kandung
atau saudara laki-laki seayah dan keturunan lakilaki mereka.
c.
Kelompok kerabat paman, yakni saudara
laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
d.
Kelompok saudara laki-laki kandung kakek,
saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
2)
Wali hakim
Adalah
penguasa atau wakil penguasa yang berwenang dalam bidang perkawinan. Biasanya
penghulu atau petugas lain dari Departemen Agama. Dalam hal ditemui kesulitan
untuk hadirnya wali nasab atau ada halangan-halangan dari wali nasab atas suatu
perkawinan, maka seorang calon pengantin perempuan dapat mempergunakan bantuar.
Wali Hakim baik melalui Pengadilan Agama atau tidak, tergantung pada prosedur
yang dapat ditempuh.[44]
3)
Hakam
Dapat
juga bertindak sebagai wali, seseorang yang masih masuk keluarga si perempuan
walaupun bukan merupakan wali nasab, bukan mempunyai hubungan darah patrilineal
dengan perempuan tersebut tetapi dia mempunyai pengertian keagamaan yang dapat
bertindak sebagai wali perkawinan.[45]
4)
Muhakam
Adalah
seorang laki-laki bukan keluarga dari perempuan tadi dan bukan pula dari pihak
penguasa, tetapi mempunyai pengetahuan keagaamaan yang baik dan dapat menjadi
wali dalam perkawinan.[46]
a.
Beragama Islam.
b.
Sudah baligh.
c.
Berakal.
d.
Dapat menjaga harga diri.
e.
Tidak fasiq.
f.
Tidak ditentukan menjadi wali nikah.
g.
Memahami arti kalimat dalam ijab kabul.
h.
Merdeka
“Ijab
akad perkawinan adalah serangkaian kata yang diucapkan oleh wali nikah atau
wakilnya dalam akad nikah untuk menerima nikah calon suami atau wakilnya.”
Syarat-syarat
ijab akad nikah adalah:
a.
Dengan kata-kata tertentu dan tegas,
misalnya “Saya nikahkan...... atau saya kawinkan...... ".
b.
Diucapkan oleh wakil atau wakilnya.
c.
Tidak dibatasi dengan waktu tertentu,
misalnya satu bulan, satu tahun dan sebagainya.
d.
Tidak dengan kata-kata sindiran.
e.
Tidak digantungkan dengan sesuatu hal,
misalnya: “Kalau anakku...telah lulus sarjana muda maka saya menikahkan…...dengan
engkau…...dengan mas kawin..”
f.
Ijab harus didengar oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, baik yang berakad maupun saksi-saksinya.
Kabul
akad perkawinan adalah serangkaian kata yang diucapkan oleh calon suami atau
wakilnya dalam akad nikah, untuk menerima nikah yang disampaikan oleh wali
nikah atau wakilnya.
Syarat-syarat kabul akad nikah adalah
:
a.
Dengan kata-kata tertentu dan tegas,
misalnya: "Saya terima nikahnya........ .
b.
Diucapkan oleh calon suami atau wakilnya.
c.
Tidak dibatasi oleh waktu tertentu,
misalnya: "Saya terima nikahnya....untuk masa satu bulan dan sebagainya.
d.
Tidak dengan kata-kata sindiran.
e.
Tidak digantungkan oleh sesuatu hal.
f.
Beruntun dengan ijab, artinya kabul
diucapkan segera, sete1ah ijab diucapkan, tidak boleh mendahuluinya, atau
berjarak waktu, atau diselingi perbuatan lain sehingga dipandang terpisah dari
ijab.
g.
Diucapkan dalam satu majelis dengan ijab.
h.
Sesuai dengan ijab, artinya tidak
bertentangan dengan ijab.
i.
Kabul harus didengar oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, baik yang berakad meupun saksi-saksinya.
Sahnya
suatu perkawinan daiam hukum Islam adalah engan terlaksananya beberapa hal yang
telah disebutkan ii atas, selain itu dalam rangka pelaksanaan suatu akad perkawinan,
Hukum Islam mewajibkan calon suami untuk memberikan mahar kepada calon isteri.
Mahar atau sadaq adalah
sesuatu yang diserahkan oleh calon suami kepada calon isteri dalam rangka akad
perkawinan antara keduanya, (tetapi tidak menjadi rukun nikah) untuk menimbulkan
rasa cinta kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya. Islam sangat
memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberikan hak
kepadanya, diantaranya adalah hak untuk menerima mahar.[49]
“Berikanlah
mas kawin atau (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan.”
Juga berdasarkan firman Allah dalam
Q.S.An-Nisaa: 25 yang artinya:
“Karena itu k.awinilah mereka de:gan
seijin tuannya dan berilah maskawinnya menurut yang patut.”[51]
Para
ahli hukum Islam bersepakat bahwa mahar adalah merupakan suatu hal yang wajib
adanya dalam suatu akad perkawinan dan merupakan syarat sahnya akad perkawinan
karenanya tidak sah suatu akad perkawinan jika yang bersangkutan bersepakat
tidak adanya mahar dalam perkawinan itu.
4. Larangan Perkawinan
Pada
dasarnya seorang laki-laki Islam diperbolehkan kawin dengan perempuan mana saja
tetapi diberikan batasan-batasan berupa larangan kawin karena perlainan agama,
larangan kawin karena hubungan darah, karena hubungan persusuan, karena
hubungan semenda yang timbul dari perkawinan yang terdahulu dan larangan poliandri.[52]
Larangan
perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam, yaitu:[53]
A. Pasal 39:
1.
Karena pertalian nasab:
a.
dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya
atau keturunannya.
b.
dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu.
c.
dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
2.
Karena pertalian kerabat semenda:
a.
dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas
isterinya.
b.
dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya.
c.
dengan seoranq wanita keturunan isteri atau bekas isterinya
kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qabla ad-dukhul.
d.
dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
3.
Karena pertalian sesusuan:
a.
dengan wanita yang menyusuinya garis lurus ke atas dan
seterusnya menurut garis lurus keatas.
b.
dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus
kebawah.
c.
dengan seorana wanita saudara kemenakan sesusuan, dan sesusuan
ke bawah.
d.
dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan
ke atas.
e.
dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena
keadaan tertentu:
B. Pasal 40:
a.
karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan
dengan pria lain.
b.
seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain.
c.
seorang wanita yang tidak beragama Islam.
C. Pasal 41:
1.
Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorana wanita
yang Mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan isterinya:
a.
saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya.
b.
wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
2.
Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya
telah ditalak raj' iy, tetap i masih dari masa iddah.
D. Pasal 43:
1.
Dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria:
a.
dengan seorang wanita bekas isterinya yang
ditalak tiga kali.
b.
dengan seorang wanita bekas isterinya yang
dili’an.
2.
Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a
gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin denqan pria lain, kemudian perkawinan
tersebut putus ba'da dukhul dan telah
habis masa iddahnya.
E. Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
B. Kedudukan Harta Dalam Perkawinan
1. Pengertian Harta
Dari
berbagai pendapat para fuqaha, dapat diambil kesimpulan mengenai pengertian
harta, yaitu:[54]
a.
Harta (mal) adalah nama bagi yang selain
manusia, yang ditetapkan untuk kemashalatan manusia, dapat dipelihara pada
suatu tempat, dapat dilakukan perbuatan hukum dengan jalan ikhtiar.
b.
Benda yang dijadikan harta itu, dapat oleh
umum manusia atau oleh sebagian mereka.
c.
Sesuatu yang tidak dipandang harta, tidak
sah kita menjualnya.
d.
Sesuatu yang dimubahkan walaupun tidak
dipandang harta, seperti sebiji beras, sebiji beras tidak dipandang harta
walaupun kita boleh miliki.
e.
Harta wajib mempunyai wujud. Karenanya
manfaat tidak masuk ke dalam bagian harta, karena tidak mempunyai wujud.
f.
Benda yang dapat dijadikan harta, dapat
disimpan untuk waktu tertentu, atau untuk waktu yang lama dan dipergunakan di
waktu dia dibutuhkan.
Dari
pendapat tersebut di atas, harta bersendi kepada dua asas dan dua unsur, yaitu:
`ainiyah dan 'urf.
Yang
dimaksud dengan 'ainiyah ialah harta
itu merupakan benda, ada wujudnya dalam kenyataan, sedangkan 'urf ialah harta
itu dipandang harta oleh manusia, baik oleh semua manusia ataupun sebagian
mereka, dapat diberi atau tidak diberi.[55]
Maka
sesuatu yang tidak berlaku demikian, tidaklah dipandang harta walaupun benda,
seperti manus-ia yang merdeka, sepotong roti dan secupak tanah. Maka manusia itu
walaupun merupakan suatu benda, suatu tubuh, namun tidak bisa dikatakan harta.
Sesuatu
yang dipelihara manusia, dimilikinya, dapat diberi atau tidak dapat diberi,
tetapi tidak bersifat benda, seperti manfaat dari suatu rumah atau dari suatu
benda, maka tidak juga dipandang harta, hanya dinamai milik atau hak. Dan sudah
terang bahwa suatu yang menurut 'urf dipandang harta, tentulah mempunyai qimah dan nilainya, karenanya tidaklah
seseorang manusia memelihara sesuatu atau melindunginya, kecuali karena ada
sesuatu manfaat, baik manfaat itu merupakan manfaat maddiyah, ataupun merupakan manfaat ma'nawiyah.[56]
Perkataan
lain yang terdapat dalam definisi di atas berarti manfaat dan hak-hak yang
mahdlah, yang dipandang, tidak termasuk dalam definisi harta.
Perkataan
qimah maddiyah yang terdapat pada definisi di atas, be_rarti benda-benda yana
tak bernilai, seperti sebiji beras atau sebiji padi, tidak termasuk dalam
definisi harta.
Demikianlah
keadaan sebiji beras dalam keadaan bentuknya yang asli. Tetapi sebiji beras
umpamanya yang telah memiliki nilai tersendiri, atau memiliki nilai seni,
umpamanya: sebuah benda yang sangat kecil tetapi mempunyai nilai tersendiri,
maka pada waktu itu dapat dipandang harta yang bernilai. Contohnya: selembar
copy yang ditulis oleh seorang ulama atau boleh seorang tokoh masyarakat yang
kemudian kita jadikannya barang yang berharga. Selembar kertas biasa dengan
tulisan biasa, tentu tidak bernilai.
Harta
dalam pengertian yang umum menurut fiqh Islam terbagi kepada banyak bagian,
karena ditinjau dari beberapa segi, yang masing-masing bagian itu mempunyai
ciri-ciri sendiri dan hukum-hukum sendiri.
2. Macam-macam Harta Suami-Isteri
1.
Harta bawaan/ harta pribadi
Yang
dimaksud dengan harta bawaan/ harta pribadi adalah harta masing-masing suami-isteri yang telah dimilikinya
sebelum mereka kawin baik berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka
sendiri-sendiri maai7un harta yang dimilikinya sesudah mereka berada dalam hubungan
perkawinan yang bukan merupakan atas dasar usaha sendiri-sendiri atau
bersama-sama.[57]
Dalam
hal harta bawaan atau harta pribadi antara suami dan isteri, pada dasarnya
tidak ada percampuran antara keduanya (harta suami dan harta isteri) karena
perkawinan.
2.
Harta bersama
Yang
dimaksud dengan harta bersama adalah harta yang diperoleh sesudah mereka berada
dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang
mereka atau disebut harta pencaharian.[58]
Mengenai
harta bersama tersebut sampai saat ini belum terdapat kesatuan pendapat tentang
harta bersama antara suami-isteri, apakah ada atau tidak.
Ada
pendapat yang mengemukakan tidak ada harta bersama kecuali melalui syirkah
(perjanjian) antara suami-isteri yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan. Dalam perjanjian itu harus ditegaskan bahwa ada Harta bersama
antara suami-isteri itu selama perkawinan berlangsung. Hal tersebut di atas didasarkan
pada ketentuan-ketentuan dalam ayat Al-Qur'an, yaitu:
“Hai orang-orang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesama dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.”
“Dan janganlah kamu iri
hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak daripada sebahagian
yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian karunia-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.”
“Bahwa suami kepala keluarga dan
mempunyai kewajiban mutlak harus memberi nafkah kepada baik isteri maupun
anak-anak.”
4). Q.S. An-Nisaa: 6[62]
"Berikanlah tempat tinggal
kepada isteri (para isteri) kamu dimana kamu bertempat tinggal dan jangan kamu
menyusahkan mereka.”
Karena
isteri mendapat perlindungan baik tentang nafkah lahir, nafkah batin, moral dan
material, maupun tempat tinggal, biaya pemeliharaan serta pendidikan anakanak,
menjadi tanggung jawab penuh suami sebagai kepala keluarga. Berarti sang isteri
dianggap pasif menerima apa yang datang dari suami, maka tidak ada harta bersama
antara suami dan isteri.
Sedangkan
di lain pihak ada kecenderungan bahwa otomatis ada harta bersama antara
suami-isteri itu selama perkawinan berlangsung baik mereka yang bekerja bersama
sama maupun salah seorang saja dari mereka yang bekerja, sedangkan lainnya
mungkin mengurus rumah tangga suami dan anak-anaknya.
Pendapat yang mengatakan bahwa ada
harta bersama dalam perkawinan antara suami-isteri itu, bertitik tolak dari
ayat-ayat Al-Qur'an antara lain sebagai berikut :
1.
Q. IV : 19:
“Pergaulilah isteri kamu
itu secara makruf, dan manakala kamu benci kepadanya hendaklalh kamu bersabar,
kemungkinan ketidaksetujuan kamu itu (benci) Allah akan menjadikan kepaanya
kebaikan yang banyak.”[63]
2.
Q. IV: 21:
“Bahwa perkawinan itu
adalah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh (Mitsaaqan ghaliizhan).”[64]
3.
Q. IV : 34:
"Kaum laki-laki
adalah pemimpin kaum wanita olleh karena Allah telah melebihkan sebagian
laki-laki itu dari wanita, oleh sebab itu laki-laki sebagai suami adalah Kepala
Keluarga dan berkewajiban membiayai isteri dan anak-anaknya atau keluarganya.”[65]
4.
Q. XXX : 21:
“Di antara tanda-tanda
kekuasaan Tuhan diciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu supaya kamu
cenderung dan merasa aman dan tenteram (sakinah), saling me::cintai (mawaddah)
dan santun-menyantuni (rahmah).”[66]
5.
Q. II : 228:
Hak isteri seimbang dengan kewajiban
suami yang diberikan kepadanya secara baik-baik (makruf).[67]
Bertitik
tolak dari ayat-ayat Al-Qur'an tersebut, penulis seper.dapat dengan kesimpulan
yang diambil oleh beberapa Sarjana Islam dewasa ini di Indonesia, terutama
Sajuti Thalib, S.H. dan Prof. DR. Hazairin, S.H. (almarhum) bahwa menurut Hukum
Islam harta yang diperoleh suami dan isteri karena usahanya, adalah harta
bersama, baik mereka bekerja bersama-sama atau hanya sang suami saja yang
bekerja sedangkan isteri hanya mengurus rumah tangga beserta anak-anak saja di
rumah. Sekali mereka itu terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami isteri
maka semuanya menjadi bersatu, baik harta maupun anakanak, seperti yana diatur
oleh Al-Qur'an Surah IV: 21, tidak perlu diiringi dengan syirkah, sebab perkawinan dengan ijab kabul serta memenuhi
persyaratan lain-lainnya seperti adanya wali, saksi, mahar dan walimah sudat
dapat dianggap adanya syirkah antara
suami-isteri itu.
3. Hak
dan Rewajiban Suami-Isteri terhadap Harta
Apabila
telah sah dan sempurna suatu ar:ac perkawinan antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan, maka sejak itu menjadi tetaplah kedudukan laki-laki sebagai
suami dan perempuan sebagai isteri dan sejak itu pula suami memperoleh hak-hak
tertentu beserta kewajiban-kewajiban tertentu pula, sebaliknya isteri memperoleh
hak-hak tertentu beserta kewajiban-kewajiban tertentu pula.
Apa
yang menjadi kewajiban bagi suami adalah menjadi hak bagi isteri, sebaliknya
apa yang menjadi kewajiban isteri adalah menjadi hak bagi suami. Tentang
hak-hak suami terhadap harta benda yang diperoleh atau dibawa sebelum akad
perkawinan adalah tetap menjadi hak suami secara penuh untuk menguasainya dan
bertindak hukum terhadap harta benda bawaannya itu setelah akad perkawinan,
demikian pula hak-hak kebendaan yang diperoleh suami secara khusus baginya
setelah akad perkawinan sebagai hadiah atau warisan, sedangkan harta benda yang
diperoleh bersama selama perkawinan menjadi hak bersama dan diatur menurut
persetujuan bersama secara adil.[68]
Terpisahnya
harta suami-isteri itu memberikan hak yang sama bagi mereka mengatur hartanya
sesuai dengan kebijaksanaannya masing-masing.
Terhadap
harta pribadi maka masing-masing suami isteri bebas untuk menggunakannya baik
dalam bentuk pernyataan maupun perbuatan, kecuali apabila pada harta pribadi
tersebut terdapat juga hak orang lain. Maka penggunaannya harus memperhatikan
hak orang lain yang terdapat pada harta pribadi tersebut.
Sementara
itu untuk harta bersama, maka hak dari masing-masing suami atau isteri tersebut
dibatasi pada suatu pernyataan atau perbuatan yang tidak akan merugikan salah
satu.pihak, yaitu suami atau isteri.
Segala
apa yang menjadi hak kehartaan istri maka suami tidak boleh mengganggu gugat
dengan dalih apapun, atau menghabiskannya tanpa ijin isteri, demikian pula
sebaliknya. Tentang hak-hak isteri terhadap harta benda yang diperoleh atau
dibawa sebelum akad perkawinan adalah tetap menjadi hak isteri secara penuh
untuk menguasair.ya, dan isteri berhak melakukan perbuatan hukum terhadap harta
bawaannya itu dengan sepengetahuan suaminya, demikian pula hak-hak kebendaan
yang diperoleh isteri secara khusus baginya setelah akad perkawinar, sebagai
hadiah atau warisan, sedangkan harta benda yang diperoleh bersama selama
perkawinan menjadi hak bersama dan diatur menurut persetujuan bersama secara adil.[69]
Masing-masing
suami-isteri pada dasarnya berhak bertindak hukum terhadap hartanya sendiri,
sedemikian rupa sehingga jika dasar ini berlaku dalam kehidupan suami-isteri,
sudah barang tentu jika terjadi perceraian antara keduanya, atau salah seorang
dari suami-isteri itu meninggal dunia, maka dengan mudah dapat dipisahkan
manakah harta yang menjadi hak suami dan manakah harta yang menjadi hak
isterinya.
BAB III
KETENTUAN PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM HUKUM
ISLAM
A.
Akad/
Perjanjian dalam Hukum Islam
1.
Pengertian
Akad adalah suatu macam tasharruf yang dilakukan manusia. Menurut istilah
fuqaha, akad ialah “Perikatan antara ijab dan kabul secara yang dibenarkan syara',
yang menetapkan persetujuan kedua belah pihak dan karenanya timbullah beberapa
hukum.”[70]
Tasharruf (perbuatan hukum) menurut fiqh adalah segala
yang dilakukan dari seseorang dengan iradat-nya (akan diuraikan lebih lanjut),
dan syara' menetapkan kepada orang tersebut beberapa natijah hak.”[71]
1.
Fi'1i
2.
Qau1i, ada dua
macam:
- aqdy, yaitu sesuatu yang berdasar persetujuan dua pihak yang mengikat keduanya.
- ghairu 'a qdy, ada dua macam:
a)
merupakan pernyataan mengadakan suatu hak
atau menggugurkan suatu hak, seperti waqaf, talak, 'itq (memerdekakan budak).
b)
tidak menyatakan sesuatu kehendak, tetapi
dapat menimbulkan tuntutan-tuntutan hak, misalnya: gugatan, iqrar, sumpah untuk
menolak gugatan.
Dari
pengertian ini para fuqaha memakai juga lafadz akad untuk sumpah, untuk 'ahd (perjanjian), untuk sesuatu
persetujuan dalam bidang jual beli.
Dengan
kita memperhatikan takrif akad, dapatlah kita mengatakan, bahwa akad itu suatu
perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang berdasarkan persetujuan masingmasing).
2.
Unsur
Pembentuk Akad
Akad itu
terbentuk dengan adanya:[73]
1)
dua akid, yang dinamakan tharafayil aqdi (dua pihak akad)
Aqid, terkadang
masing-masing pihak terdiri dari seorang saja, terkadang terdiri dari beberapa
orang.
2)
mahalul
aqdi, yang dinamakan ma'qud
'alaihi
Mahallu1 'aqdi atau ma'qud 'alaihi ialah benda yang menjadi
objek akad.
3)
maudlu
'il aqadi (ghayatul ,'aqad)
Maudlu 'i1 aqadi ialah
tujuan akad atau maksud pokok mengadakan akad itu.
4)
rukun-rukun akad
Rukun
akad adalah ijab dan qabul. Ijab dan qabul dinamakan shighatul aqdi atau ucapan yang
menunjukkan kepada kehendak kedua belah pihak dan memerlukan tiga syarat:
1.
Harus terang pengertiannya
2.
Harus bersesuaian antara ijab dan qabul
3.
Memperlihatkan kesungguhan dari pihak yang bersangkutan
Kemudian
haruslah lafadz yang dipakai buat ijab dan qabul itu terang pengertiannya
menurut 'urf (kebiasaan). Haruslah qabul itu sesuai dengan ijab dari segala
segi. Apabila qabul menyalahi ijab, tidaklah sah akad dan haruslah shighat ijab
dan qabul memperlihatkan kesungguhan, tidak diucapkan secara ragu-ragu.
1.
bathinah
2.
dhahirah
Iradah bathinah (haqiqiyah) adalah
iradah yang tersembunyi tak dapat diketahui oleh seorang lain; iradah yang ada
di dalam hati.
Iradah dhahirah (kehendak lahir) adalah
iradah yang dinyatakan dengan ucapan lidah, atau dilakukan dengan tindakan.
Iradah
bathinah haqiqiyah sendiri tidak menggantikan perbuatan atau ucapan lidah.
Karenanya tidaklah sah akad dengan adanya niat saja, walaupun kedua belah pihak
mempunyai niat yang sama.
Iradah
dhahirah adalah sesuatu yang dilakukan dengan menggambarkan iradah bathinah,
baik dia merupakan ucapan ataupun perbuatan. Dengan adanya iradah dhahirah,
kita tidak lagi membahas tentang adanya iradah haqiqiyah (bathinah) selama
iradah haqiqiyah itu tersembunyi bagi kita dan tidak ada gejala-gejala, atau dalil-dalil yang menunjukkan kepada tidak
adanya bathinah itu.
Apabila
iradah haqiqiyah tidak jelas, bahwa dia ada, maka akad ini dipandang sah. Namun
dipandang ada sesuatu kecederaan yang melemahkan ikatan akad ini.
Kecederaan-kecederaan
yang menganggu iradah (syawaib iradah) kembali
kepada empat keadaan, yaitu:[75]
-
ikrah (paksaan/
cacat kehendak) - khilabah (bujukan)
-
ghalath (salah
sangka)
-
ikhtilatut
tanfia'z (cacat yang datatang kemudian)
Ikrah, adalah cacat yang
tei;adi pada keridlaan (kehendak) yang paling penting jaiam fiqh Islam.
Khilabah, dalam
masalar. akad ialah seseorang aqid membujuk seorang dengan suatu cara yang
dapat menarik hatinya untuk mengadakan suatu akad. Di antara contoh khilabah,
ialah: adanya khiyanat, adanya tanjusy, adanya taghrir dan tad-lisul 'aib (menyembunyikan
cacat).
Taghrir dalam istilah fuqaha
adalah: memperdayakan atau membujuk, memikat dengan salah satu cara, baik perkataan
maupun perbuatan yang bohong, yang palsu, untuk menarik hati salah seorang
aqiduntuk melaksanakan akad.
Tad-Iisu1 'aib adalah
menyembunyikan cacat atau dalam istilah fiqh, akad barar.g yang ada cacat (aib)
nya. Ghalath adalah suatu persangkaan
yang dianganangankan oleh salah satu pihak, yang sebenarnya tak ada. Dan
karena persangkaan itu dibuatlah akad, seperti orang yang membeli suatu barang
karena menyangkut barang itu baik, padahal sebenarnya barang itu buruk, atau barang
tua .[76]
Sebenarnya
persangkaan itu terdapat juga pada khilabah walaupun berbeda saatnya. Maka
dalam hal ini dan yang sebandingnya kita menghadapi dua hal yang berlawanan,
yang ada paradoknya, yaitu: a) Ihtiramul
iradah, (menghormati iradah), b) Istiqrarut
ta'amul (tetap berlakunya apa yang sudah di akadkan).[77]
Kalau
tidak terus berlaku apa yang sudah dilakukan, tidak adalah ketetapan hukum.
Kedua-dua prinsip ini wajib diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Kalau kita
perhatikan satu saja, berarti kita mengabaikan yang satu lagi. Hal ini
menghendaki supaya kita memegang iradah dhahiriyah, yaitu: ijab dan qabul dan
menyampingkan ghalath yang terjadi dari salah satu aqid. Ini konklusinya.
Mengingat hal ini, maka fiqh Islam tidak banyak memperhatikan masalah dalam
akad dan tidak pula para fuqaha membicarakan masalah ghalath dalam akad secara
khusus.
Pemuka
mahzab tidak memandang chalath sebagai suatu cacat yang membolehkan pihak-pihak
itu membatalkan akad terkecuali dalam hal kesalahan yang nyata (innama yakunul ghalatu Wadlihan). Dalam
hal ini iradah haqiqiyah dipandang nyata maka dia memberikan hak membatalkan
akad yang salah. Yakni si akid yang salah itu diberikan hak membatalkan akad.
Itulah yang diharuskan oleh prinsip ihtiramul
iradah A1 aqdiyah, yakni: di kala nyata bahwa kesalahannya itu memang
kesalahan yang dapat diketahui dengan mudah dan tidak berlawanan dengan prinsip
istiqrarut ta'amu1. Karena aqid yang
kedua yang tidak salah mengetahui benar, bahwa temannya adalah keliru, karena
salahnya telah nyata. Dengan demikian, kedua prinsip-prinsip ini terpelihara
pada masalah ghalath itu nyata. Inilah yang menjadi mazhab-mazhab yang
berkembang dikalangan kita sekarang ini.[78]
Cacat-cacat
yang terjadi pada akad, lantaran sebabsebab yang mendatang, dinamakan ikhtilalut Tanfidz. Melaksanakan apa
yang dikehendaki oleh akad, adalah tahap kedua, yang dilakukan sesudah
terjadinya akad yang sah. Sesudah terjadi akad yang dilakukan dengan
persetujuan kedua belah pihak, masing-masing akid harus melaksanakan apa yang dikehendaki
oleh akid itu.
3.
Syarat-syarat
akad
Syarat-syarat
terjadinya akad, ada dua macam:[79]
1.
syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu
syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam segala macam akad.
2.
syarat-syarat yang sifatnya khusus, yaitu:
syarat-syarat yang disyaratkan wujudnya dalam sebagian akad, tidak dalam
sebagian yang lain.
Syarat-syarat
umum yang harus terdapat dalam segala macam syarat, ialah:[80]
1)
Ahliyatul
'aqidainii (kedua belah pihak cakap berbuat).
2)
Qabliyatul
mahallil aqdi li hukmihi (yang dijadikan
obyek akad, dapat menerima hukumnya).
3)
A1
wilyatus syari'iyah fi maudlu 'il Aqdi (akad itu diijinkan
oleh syara', dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan
melaksanakannya, walaupun dia bukan si aqid sendiri).
4)
Alla yakunal
'aqdu au maudlu'uhu mamnu'an binashshin syar'iyin (‘janganlah akad itu
akad yang dilarang syara’).
5)
Kaunul
'aqdi mufidan (akad itu memberi faedah).
6)
Baqaul
ijbabi shalihan ila mauqu 'ii qabul. (Ijab itu berjalan
terus, tidak dicabut, sebelum terjadi qabul).
7)
Ittihadu
majlisil 'aqdi (bertemu di maj 'is akad) .
Karenanya,
ijab menjadi batal apabila sampai kepada berpisah yang seorang dengan yang
lain, belum ada qabul. Syarat yang ketujuh ini disyaratkan oleh mazhab Asy
Syafi'y, tidak terdapat dalam mazhab-mazhab yang lain.
Dari
uraian tersebut di atas, perjanjian yang dibuat menurut ketentuan hukum Islam
adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat para pihak yang membuatnya dan
membawa akibat hukum.
Perjanjian
Perkawinan yang dibuat sebagai salah satu upaya untuk memperjelas kedudukan
harta dalam perkawinan adalah sah menurut hukum Islam apabila terpenuhinya
semua unsur-unsur dan persyaratan yang diwajibkan.
B.
Hal-hal
yang Berkaitan dengan Perjanjian Perkawinan
1.
Persoalan
Harta Bersama Suami-Isteri
Dalam
kitab-kitab Fiqih, perkongsian itu disebut Syirkah
atau Syarikah.
Syirkah menurut bahasa ialah
percampuran suatu harta dengan harta lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi
satu dari yang lain dan menurut istilah hukum Islam ialah adanya hak dua orang
atau lebih terhadap sesuatu.[81]
Dasar
hukumnya sebelum ada ijma' ialah hadits Qudsi dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW
bersabda:[82]
Berfirman Allah: "Aku
adalah kongsi ketiga dari dua orang kongsi, selama salah seorang kongsi itu
tidak mengkhianati, kongsinya yang seorang lagi. Apabila ia mengkhianatinya,
maka aku keluar dari perkongsian itu." (Riwayat Abu Daud dan Al-Hakim).
Berkaitan
dengan persoalan harta bersama suami isteri, penulis mencoba menguraikan
mengenai macam-macam syirkah menurut pendapat-pendapat ulama.
Pendapat-pendapat
ulama tentang macam-macam perkongsian yang berhubungan dengan persoalan harta
bersama suami-isteri.
a.
Pendapat
Ulama Hanafiyah
Ulama
Hanafiyah membagi syirkah kepada dua
bagian:[83]
a.
syirkan
milik (perkongsian mengenai milik)
b.
syirkah
'uqud (perkongsian dengan akad atau kontrak)
Syirkah milik adalah perkongsian
antara dua orang atau lebih terhadap sesuatu dengan tidak ada kontrak atau
perjanjian. [84]
Sedang syirkah `uqud adalah perkongsian yang
terjadi dengan akad atau dengan kontrak .[85]
a.
Syirkah
Harta Mufawadlah/ Syirkah Mufawadlah bil Amwal , adalah syirkah tidak
terbatas mengenai perdagangan di mana anggota yang satu menjadi penanggung bagi
anggota lainnya.
b.
Syirkah
Harta 'Inan/Syirkah 'Inan bi1 Amwal, adalah syirkah
terbatas mengenai perdagangan di mana anggota yang satu tidak menjadi
penanggung bagi anggota lainnya.
c.
Syirkah
Badan Mufawadlah/ Syirkatu I'Abdan Mufawadlah, adalah syirkah tidak
terbatas dalam pemberian jasa, di mana anggota yang satu menjadi penanggung
bagi anggota lainnya.
d.
Syirkah
Badan 'Inan/ Syirkatu 1'Abdan `Inan, adalah
syirkah terbatas mengenai pemberian jasa, di mana anggota yang satu tidak
menjadi penanggung bagi anggota lainnya.
e.
Syirkah Kepercayaan Mufaawadhah/ Syirka tu 1'Wujuh Mufawadlah, adalah
syirkah tidak terbatas dan berdasar kepercayaan orang, di mana anggota syirkah
yang satu menjadi penanggung bagi anggota lainnya.
f.
Syirkah Kepercayaan 'Inaan/ Syirkatu 1'Wujuh 'Inan, adalah syirkah terbatas dan,berdasar
kepada kepercayaan orang, di mana anggota syirkah yang satu tidak menjadi
penanggung bagi anggota lainnya.
Hukumnya semua
syirkah yang tersebut di atas 4L-,.u menurut
Hanafi adalah boleh. Ketentuan umum yang diberikan oleh Hanafi ialah bahwa
benda kekayaan diperoleh di.luar syirkah tetap menjadi milik masing-masing.
Menurut Ulama
Malikiyah memba,i syirkah ada beberapa macam :
1.
Syarikatu
'Inan (perkongsian warisan), yaitu berkongsinya para ahli waris
memiliki sesuatu barang dengan jalan menerima warisan.
2.
Syarikah
Ghanimah (perkongsian pada harta rampasan), yaitu perkongsian anggota
tentara dalam peperangan terhadap barang rampasan perang.
3.
Perkongsian beberapa orang yang membeli
sesuatu barang.
Ketiga
macam syarikah ini oleh Ulama Hanafi disebut Syarikah Milik (perkongsian
milik).
Macam-macam
syarikah yang terkenal selain dari tiga macam yang telah disebutkan, ada enam:
1.
Syirkah
Mufawadlah (perkongsian tak berbatas), yaitu perkongsian dua orang
atau lebih dalam bidanq peiniagaan, dengan perjanjian bahwa masing-masing
anggota perkongsian akan menerima keuntungan sesuai dengan modalnya dengan
tidak berlebih kurang, dan masing-masing kongsi bebas bertindak meskipun tidak
diketahui oleh peserta lainnya, baik mereka sepakat berniaga dalam satu macam
barang saja atau dalam segala macam barang.
2.
Syirkah
'Inan (perkongsian terbatas), yaitu perkongsian dengan syarat bahwa
seorang anggota perkongsian tidak boleh bertindak kecuali dengan seijin
kongsinya yang lain.
3.
Syirkah
'Ama1 (Perkongsian tenaga), sama dengan Syirkah Abdan menurut istilah mahzab-mahzab lain, yaitu perkongsian
antara dua orang tukang atau lebih yang bekerja bersama-sama dan masing-masing
mendapat upahnya sesuai dengan pekerjaan yang dilakukannya. Syaratnya haruslah
pekerjaan yang mereka lakukan itu sejenis. Walau tidak sejenis, maka
perkongsian itu tidak sah, kecuali kalau kedua pekerjaan itu berhubungan erat.
4.
Syirkah
Dzimam (perkongsian kepercayaan), adalah perkongsian yang dilakukan
oleh dua orang atau lebih dengan tidak menggunakan modal, tetapi membeli barangbarang
apa saja dengan cara kredit kemudian barangbarang itu dijual kembali dan
keuntungannya dibagi antara para kongsi. Perkongsian semacam itu, tidak sah
menurut mahzab Maliki. Tetapi kalau perkongsian dilakukan mengenai sesuatu barcna
tertentu, maka perkongsian menjadi sah.
5.
Syirkah Jabar (perkongsian terpaksa) , yaitu apabila sesorang membeli
sesuatu barang dagangan dimuka seorang saudagar lain yang juga berdagang barang
itu.
6.
Syirkah Mudlarabah
adalah suatu kontrak antara orang yang mempunyai modal dengan
orang yang tidak mempunyai modal untuk berdagang, dengan cara yang seorang member
modal dan yang lainnya memberi tenaga. Syaratnya ialah modal yang diberikan itu
adalah uang tunai.
Disini
jelas terlihat perbedaan pendapat antara Ulama Hanafiyah dan Ulama Malikiyah.
Ulama Hanafiyah tidak membolehkan modal itu berupa barang, sedang Ulama
Malikiyah memperbolehkannya.
Ulama
Syafi'iyah membagi syirkah itu kepada empat macam, yaitu:
1.
Syirkah
'Inan (perkongsian terbatas), adalah syirkah terbatas dalam bentuk
penggabungan harta dan usaha untuk mendapatkan untung. Sedangkan perolehan
masing-masing pihak dengan cara lain seperti, salah seorang mendapat hibah,
hadiah, dli, tidak menjadi syirkah, tetapi tetap mer.jadi milik masing-masing
yang memperolehnya. Hukumnya menurut Syafi'i adalah boleh.
2.
Syirkah
Abdan (perkongsian tenaga), adalah syirkah dalam bidang pemberian
jasa atau melakukan pekerjaan. Jasa yang diberikan atau pekerjaan yang
dilahirkan itu mungkin jasa atau pekerjaan yang sama mungkin pula jasa dan
pekerjaan yang berlainan. Hukumnya menurut Imam Nawawi dan Syarbaini adalah
batal (tidak boleh).
3.
Syirkah
Mufawadlah (perkongsian tak terbatas), syirkah tidak terbatas dan
dalam bentuk penggabungan harta dan usaha untuk mendapatkan untung serta
meliputi pula perolehan masing-masing pihak dengan cara lain seperti salah
seorangnya mendapat hibah, hadiah, dll. Hukumnya menurut Syafi'i adalah batal.
4. Syirkah Al –Wujuh (perkongsian kepercayaan), adalah
syirkah antara dua orang atau lebih berdasarkan kepercayaan bahwa masing-masing
anggota syirkah membeli sesuatu barang dagangan
dengan dasar kepercayaan (kredit) dan menjualkannya. Hukumnya menurut Imam
Nawawi dan Syarbaini adalah batal (tidak boleh).
Menurut
Ulama Syafi'iyah, modal para peserta tidak perlu sama besarnya, demikian pula
tidak perlu sama tentang pekerjaan yang dilakukan, oleh masing-masing peserta
menurut qaul (pendapat yang mu'tamad).
d.
Pendapat
Mama Hanabilah
Ulama
Hanabilah membagi syarikah kepada dua macam, yaitu:
a.
Syarikah
Fi `I-Maal, adalah perkongsian dua orang atau lebih dalam memiliki
sesuatu benda dengan jalan warisan, pemberian, pembelian, dan sebagainya.[89]
b.
Syarikah
Fi '1-'Uquud, adalah perkongsian dua orang atau lebih untuk mengadakan
suatu usaha dimana mereka masingmasing akan mendapat keuntungan.[90]
Kemudian Syirkah 'Uquud ini dibagi menjadi lima macam,
yaitu:[91]
1.
Syirkatu
1'Inan (perkongsian terbatas).
2.
Syirkatu
1'Mufawadlah (perkongsian tak terbatas).
3.
Syirkatu 1'Wujuh (perkongsian kepercayaan).
4.
Syirkatu 1'Abdan (perkongsian
tenaga).
5.
Syirkatu 1'Mudlaarabah (perkongsian
berdua laba).
Syirkatu 1'Inan adalah
perkongsian dua orang atau lebih yang masing-masing mempunyai modal dan
sama-sama bekerja menjalankan usaha perkongsian itu, kemudiankeuntungan antara
mereka menurut perjanjian yang mereka adakan pada waktu aqad. Ataupun modal
dari keduanya sedang yang bekerja hanya salah seorang saja, dengan syarat bahwa
yang bekerja itu akan mendapat keuntungan lebih banyak dari anggota perkongsian
yang tidak bekerja.[92]
Syirkatu Mufawadlah, adalah
perkangsian dalam menjalankan modal, dengan ketentuan bahwa masing-masing
anggota perkongsian memeberikan hak penuh kepada anggota lainnya untuk
melakukan pekerjaan.[93]
Syirkatu I'Abdan adalah
perkongsian dua orang tukang untuk sama-sama bekerja, dan upah yang mereka
peroleh dari pekerjaan itu, akan dibagi di antara mereka menurut perjanjian
semula.[95]
Menurut
Ulama Hanabilah, tidak menjadi syarat bahwa modal peserta itu harus sejenis.
Juga tidak disyaratkan bahwa masing-masing peserta sama banyak modalnya, dan
juga tidak disyaratkan modal para peserta itu dicampurkan sebelum akad.
2.
Harta
Bersama Suami-Isteri adalah Syirkah Abdaan/ Mufawadlah
Dalam
suatu perkawinan akan terjadi perkongsian harta yang tidak terbatas antara
suami-isteri, hasil dari usaha yang dilakukan suami dan isteri termasuk harta
bersama, selain dari warisan dan pemberian yang tegas-tegas dikhususkan untuk salah seorang dari kedua suami istri itu.
Setelah
memperhatikan definisi dan macam-macam Syirkah, dapatlah diambil kesimpulan,
bahwa pencaharian bersama atau harta bersama suami-isteri adalah termasuk
golongan Syirkah Abdan/ Mufawadlah. Hukum Syirkah
Abdaan dan Syirkah Mufawadlah itu adalah boleh menurut mazhab Hanafy,
mazhab Maliky, mazhab Hanbaly dan tidak boleh menurut mazhab Syafi'iy.
Perkongsian
suami-isteri dalam bentuk harta bersama adalah sah ditinjau dari segi hukum
Islam, karena :[96]
1.
Semua Ulama sependapat, bahwa perkongsian
dibolehkan dalam syariat Islam, berdasarkan Hadits Qudsi, yang menunjukkan
bahwa:
a.
Perkongsian hukumnya boleh.
b.
Allah SWT turut serta dalam perkongsian,
selama tidak ada salah seorang dari para peserta perkongsian itu mengkhianati
peserta lainnya.
c.
Tidak boleh ada penipuan dalam sesuatu
perkongsian.
d.
Perkongsian yang tidak ada penipuan disukai
Allah. Sebaliknya, perkongsian yang ada penipuan, dimurkai Allah dan oleh
karenanya tidak sah. Imam Syafi'iy berpendapat, bahwa selain daripada Syirkah ‘inan
semuanya penipuan, dan oleh karena itu, semua syirkah tidak sah, kecuali
Syirkah `Inan atau perkongsian terbatas.
2.
Pada perkongsian harta bersama, tidak ada
penipuan, meskipun pada perkongsian tenaga dan Syirkah Mufawadlah lainnya masih
ada kemungkinan terdapatnya penipuan itu. Sebab perkongsian antara
suami-isteri, jauh berbeda sifatnya dengan perkongsian-perkongsian lain yang
bisa terjadi antara anggota masyarakat.
3.
Tidak ada suatu nash pun yang menunjukkan bahwa perkongsian semacam itu tidak
diperbolehkan dalam Islam. Satu-satunya alasan yang dikemukakan oleh golongan
Syafi'iyah, ialah penipuan, tetapi alasan ini sudah tertolak dengan keterangan
nomor dua.
4.
Syariat Islam datang untuk kemashalatan
manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Oleh karena itu,
peraturan-peraturan dalam Islam terbagi dalam tiga golongan, yaitu:
a.
Mengenai `Aqidah (kepercayaan).
b.
Mengenai Ibadah.
c.
Mengenai Muamalah (pergaulan hidup antara
manusia dengan manusia).
Aturan-aturan dalam bidang Aqidah dan bidang ibadah
adalah terbatas, tidak boleh dikurangi dan tidak boleh pula ditambah oleh
siapapun juga. Adapun mengenai Muamalah, maka pada umumnya diserahkan kepada
kaum muslimin sendiri. Kalau ada beberapa hukum yang telah diatur mengenai
Muamalah, kebanyakan hanya sebagai pengakuan terhadap sesuatu adat kebiasaan
yang berlaku pada waktu itu, yaitu adat kebiasaan yang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip dalam ajaran Islam.
5.
Kalau ada yang mengatakan bahwa pada
perkongsian harta bersama itu tidak ada shighah baik ijab maupun kabul, para
Fuqaha berpendapat tentang shighah, ialah lafai yang memberi pengertian izin
kepada kongsinya untuk bertindak atas namanya. Dan sama dengan lafal, tulisan
yang memberi pengertian yang sama. Juga kalau ada izin serupa itu meskipun
tidak ada lafal perkongsian, juga dianggap cukup.
3.
Tinjauan Eukum Islam terhadap Perjanjian
Perkawinan
Hukum
Islam tidak mengenal istilah perjanjian perkawinan,
hanya saja di dalam hukum Islam dikenal adanya suatu perjanjian yang dapat
diterapkan dalam suatu perkawinan.
Pendirian
hukum Islam terhadap perjanjian perkawinan ternyata dalam penerapan syirkah
terhadap persoalan harta kekayaan suami-isteri dan perjanjian lain yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
Seperti
telah disebutkan dalam bab terdahulu bahwa pada dasarnya harta suami-isteri
terpisah, baik harta bawaannya masing-masing atau harta yang diperoleh oleh
salah seorang suami-isteri atas usahanya sendiri-sendiri maupun harta yang
diperoleh salah seorang mereka kar.ena hadiah atau hibah atau warisan sesudah mereka
terikat dalam hubungan perkawinan.
Walaupun
demikian telah dibuka kemungkinan syirkah atas harta kekayaan suami-isteri itu
secara resmi dan menuruc cara-cara tertentu. Suami isteri dapat mengadakan
syirkah yaitu percampuran harta kekayaan yang diperoieh suami dan/ atau isteri
selama masa adanya perkawinan atas usaha suami atau isteri sendiri-sendiri,
atau atas usaha mereka bersama-sama. Begitupun mengenai harta kekayaan usaha
sendiri-sendiri, sebelum perkawinan dan harta yang berasal bukan dari usaha mereka
berdua, tetapi berasal dari pemberian atau warisan atau lainnya yang khusus
teruntuk mereka masing-masing baik yang diperolehnya sesudah mereka berada
dalam ikatan suami-isteri dapat pula mereka syirkahkan.
Mengenai
cara terjadinya syirkah untuk masing-masing jenis harta itu dapat pula terjadi
dengan bentuk yang berlainan, yaitu:[97]
1.
Syirkah dapat diadakan dengan mengadakari
perjanjian syirkah secara nyata-nyata tertulis atau diucapkan sebelum atau
sesudah dilangsungkannya akad nikah dalam suatu perkawinan, baik untuk harta
bawaan atau harta yang diperoleh sesudah kawin tapi bukan atas usaha mereka
maupun dari atau harta pencaharian.
2.
Di samping itu syirkah dapat pula ditetapkan
dengan Undang-undang/ peraturan perundangan, bahwa harta yang diperoleh atas usaha
salah seorang suami isteri atau oleh kedua-duanya dalam masa adanya hubungan
perkawinan adalah harta bersama atau harta syirkah suami isteri tersebut.
3.
Di samping terjadinya syirkah dengan cara
tertulis atau ucapan nyata-nyata serta dengan penentuan Undang-undang tersebut,
syirkah antara suami-isteri itu dapat pula terjadi dengan kenyataan dalam kehidupan
pasangan suami-isteri itu. Cara ketiga ini memang hanya khusus untuk harta
bersama atau syirkah pada harta kekayaan yang diperoleh atas usaha selama perkawinan,
apabila kenyataan suami isteri itu bersatu dalam mencari hidup dan membiayai
hidup.
Dalam
Pasal KHI Kompilasi Hukum Islam-selanjutnya disebut KHI --disebutkan:[98]
Pada saat dilangsungkan perkawinan
dengan isteri kedua, ketiga atau keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat
kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan
dinikahinya itu.
Selanjutnya dalam Pasal 45 KHI
disebutkan:[99]
Kedua calon mempelai dapat mengadakan
perjanjian perkawinan dalam bentuk:
1.
Taklik talak, dan
2.
Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Adapun persyaratan yang diharamkan
ialah yang bertentangan dengan syari'at Islam atau bertentangan dengan kesopanan
umum, yaitu:[100]
a.
Persyaratan bahwa masing-masing suami dan isteri mempunyai
hak sama untuk sewaktu-waktu membubarkan pernikahan.
b.
Persyaratan bawa suami tidak akan mensetubuhi isterinya,
sedangkan diwaktu akad perkawinan itu terjadi, isteri telah layak untuk
bersetubuh.
c.
Persyaratan atau perjanjian bahwa sesudah bersetubuh suami
harus manalaknya.
Perlu kiranya diketengahkan disini,
bahwa pendirian Hukum Islam terhadap perjanjian perikawinan ternyata dalam
Al-Qur'an adalah sebagai berikut:
“Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu ....”[101]
Dari
A1-Qur'an tersebut, ternyata bahwa hukum Islam membenarkan perjanjian
perkawinan yana diperbuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya dan mewajibkan
mereka pula untuk mematuhi perjanjian itu.
Dalam
pasal 16 Rancangan Undang-undang tentang Pernikahan Umat Islam tahun 1958 telah
ditentukan:
1.
Kedua belah pihak dapat mengadakan
perjanjian:
- sebelum akad nikah
- pada waktu ijab kabul
- sesudah akad nikah
2.
Perjanjian yang dimaksud dalam ayat 1 tidak
sah, kalau bertentangan dengan Hukum Agama Islam.
Selanjutnya
dalam Rancangan Undang-undang tersebut di atas, pada pasal 21 menentukan:
1.
Pernikahan permaduan dapat dicegah, jika
dibuat perjanjian tertulis, bahwa laki-laki tidak akan melakukan perkawinan
dengan isteri yang kedua dan seterusnya.
2.
Perjanjian tersebut dapat dibatalkan dengan
persetujuan bersama antara kedua suami-isteri dan pembatalannya dilakukan
dengan tertulis dimuka Pegawai Pencatat Nikah.
Demikian
juga pada Rancangan Undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam lainnya yaitu
pasal 24 menentukan:
1.
Atas persetujuan kedua pihak dapat diadakan
perjanjian tertulis antara kedua suami-isteri yang dibuat padasebelum akad
nikah dan kemudian diucapkan (diikrarkan) segera sesudahnya atau pada waktu
lain sesudah melangsungkan perkawinan: perjanjian itu dapat berupa ta'lik dan
lainnya.
2.
Perjanjian yang dimaksud dalam ayat l,
tidaklah sah, kalau bertentangan dengan` tujuan perkawinan sebagai tersebut
dalam pasal l.
Selanjutnya
dalam Rancangan Undang-undang tersebut di atas, pada pasal 27 menentukan:
1.
Perkawinan lebih dari seorang isteri dapat
dicegah jika perjanjian tertulis, segera sesudah melangsungkan atau pada waktu
lain sesudahnya, bahwa iaki-laki akan melangsungkan perkawinan yang kedua dan
seterusnya.
2.
Kedua suami-isteri dapat membatalkan kembali
perjanjian tersebut dan pembatalan itu harus dilakukan dengan tertulis dimuka
Penghului Naib Penghulu.
Dalam
hal ini dapat dikemukakan lagi di sini, bahwa Peraturan Menteri Agama No. 3
Tahun 1975, seperti ternyata pada pasal 11 antara lain berbunyi sebagai
berikut: “Calon suami-isteri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tida'r.
bertentangan dengan hukum Islam. Ada atau tidak adanya perjanjian itu dicatat
di dalam daftar Pemeriksaan Nikah.”
Disamping
hal-hal tersebut di atas, dalam hukum Islam terdapat pula perjanjian lain yang
dapat diterapkan dalam suatu perkawinan, yaitu taklik talak. Dalam suatu taklik
talak yang diucapkan sesudah akad nikah oleh suami dinyatakan mengenai hal-hal
sebagai berikut:[102]
Sewaktu-waktu saya:
1.
Meninggalkan isteri saya tersebut dua tahun
berturut-turut.
2.
Tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga
bulan lamanya.
3.
Menyakiti badan/ jasmani isteri saya itu.
4.
Membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya
itu enam bulan lamanya.
Sesuai
dengan pengertian ta'lik-talak yaitu suatu talak yang digantungkan pada suatu
hal yang mungkin terjadi sebagaimana telah disebutkan dalam suatu perjanjian
yang telah diperjanjikan lebih dulu. Perkawinan menjadi putus atas permintaan
isteri, bila suami melanggar janji ta'liktalak atau janji-janji lain yang
dibuat waktu akad nikah/ sesudahnya. Jadi pengertian ta'lik talak ini
menunjukkan adanya hubungan yang erat dengan perceraian.
Dari
uraian tersebut di atas, jelas ternyata bahwa Hukum Islam membenarkan calon
suami-isteri untuk secara sukarela mengadakan perjanjian perkawinan sesuai
dengan keinginan mereka berdua dan` selanjutnya perjanjian perkawinan itu
mengikat kedua belah pihak, sebab hukum Islam menghormati hak-hak asasi
masing-masing suami-isteri selaku hamba Allah yang bertanggungjawab, sepanjang
dalam perjanjian perkawinan itu tidak terdapat hal-hal yang bertentangan dengan
hukum Islam.
C. Isi dan Bentuk Perjanjian Perkawinan Menurut
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Perjanjian
perkawinan adalah lembaga hukum yang ada di dalam hukum Perkawinan Belanda
yaitu di dalam het Bvrgerlijk Wetboek yang
juga diberlakukan di zaman Penjajahan Belanda pada tahun 1848 di Hindia
Belanda, tetapi hanya diberlakukan bagi mereka yang termasuk ke dalam golongan
eropa dan yang dipersamakan, dan kemudian pada tahun 1917 juga diberlakukan
bagi Golongan Timur Asing Keturunan Cina. Terbuka pula kemungkinan bagi mereka
yang tinggal di Hindia Belanda yang tidak termasuk kepada kedua golongan yang
disebutkan di atas untuk menggunakan lembaga hukum Perjanjian Perkawinan dengan
cara menundukkan diri secara sukarela pada sebagian atau seluruh ketentuan
tersebut.[103]
Berdasarkan
penulusuran sejarah terbentuknya lembaga perjanjian kawin ini, diicetahui bahwa
lembaga perjanjian kawin ini dibentuk untuk menyimpangi ketentuan hukum harta
perkawinan Belanda yang unik, yang menetapkan bahwa begitu perkawinan
diiangsungkan maka terbentuklah percampuran harta perkawinan secara bulat (algehele qemeenschappelijke
huwelijksgoederen). Konsekuensi yuridis dari ketentuan itu, maka begitu
perkawinan dilangsungkan maka terjadilah pencampuran harta bawaan pihak pria
dan harta bawaan pihak perempuan menjadi satu kesatuan harta perkawinan yang
bulat. [104]
Kemudian
pada waktu Indonesia membuat UU tentang Perkawinan, lembaga ini dimasukkan
menjadi lembaga yang dapat dipergunakan oleh seluruh rakyat Indonesia melalui
Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan-selanjutnya
disebut UUP-- jo Pasal 12 huruf "h" Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan UUP.[105]
Dalam Pasal 29 UU No. 1/ 1974
disebutkan:
1. Pada waktu atau sebelum
perkawinan iilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah
mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak
dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut mulai
berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan
berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua
pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Berdasarkan
pasal tersebut di atas, untuk pengesahan perjanjian kawin yang diberi wewenang
oleh undang-undang ialah pegawai pencatat perkawinan, yaitu pegawai pencatat nikah,
talak dan rujuk bagi mereka yang beragama Islam dan pegawai pencatat perkawinan
yang lain (catatan sipil) bagi mereka yang bukan Islam. Pengesahan hanya
diberikan, bila tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan (Pasal
29 ayat 2 UUP).[106]
UUP mengatur
persoalan perjanjian perkawinan hanya terdiri atas satu pasal atau empat ayat,
yaitu Pasal 29 UUP. Jumlah pasal yang mengatur tentang perjanjian kawin ini
dirasakan cukup sedikit kalau dibandingkan dengan pengaturan oleh Burgerlijk Wetboek-- selanjutnya ditulis
B.W.-- untuk materi yang sama. B.W. mengatur perjanjian kawin di dalam Pasal
139 sampai dengan 179. Oleh karena itu, apabila kita mengalami kesulitan yang
berkaitan dengan perjanjian kawin karena tidak tercakup pengaturannya di dalam
UUP, maka kita dapat menggunakan ketentuan mengenai perjanjian kawin yang
diatur di dalam B.W. Dasar hukum untuk penggunaan ketentuan perjanjian kawin
B.W. adalah ketentuan pasal 66 UUP.
Pasal
66 UUP, kalau ditafsirkan dapat dikatakan bahwa ketentuan yang ada di dalam BW
yang mengatur tentang perkawinan dapat dinyatakan masih berlaku sejauh tentang hal
itu belum diatur di dalam UUP.
Mengenai
isi perjanjian perkawinan, UUP hanya memuat ketentuan bahwa isinya tidak boleh
melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Sedangkan mengenai hai
tersebut, undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.
Dalam
B.W. terkandung asas-asas, bahwa kedua belah pihak adalah bebas untuk
menentukan isi perjanjian perkawinan yang dibuatnya. Pasal 139 B.W. menetapkan
bahwa dalam perjanjian perkawinan itu kedua calon suami-isteri dapat
menyimpangi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam harta bersama, asal saja
penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan
ketertiban umum dengan mengindahkan pula isi ketentuan yang disebutkan setelah
Pasal 139 B.W. itu.
Asas kebebasan kedua belah pihak
dalam menentukan isi perjanjian kawinnya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:[107]
1.
Tidak membuat janji-janji yang bertentangan dengan kesusilaan
dan ketertiban umum;
2.
perjanjian kawin tidak boleh:
a.
mengurangi hak-hak yang timbul dari kekuasaan suami sebagai
suami: hak suami untuk menentukan tempat kediaman atau hak suami untuk mengurus
kebersamaan harta perkawinan;
b.
hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua. Misalnya, hak
untuk me ngurus harta kekayaan anak-anak dan mengambil keputusan mengenai
pendidikan atau hak untuk mengasuh anak-anak;
c.
hak-hak yang ditentukan oleh undang-undang bagi suami atau
isteri yang hidup terlama (Pasal 140 ayat 1 B.W.), misalnya: untuk menjadi wali
dan wewenang untuk menunjuk wali dengan "testamen";
3. Tidak dibuat janji-janji
yang mengandung pelepGsan hak atas harta peninggalan keluarga sedarah mereka
dalam garis ke bawah. Ketentuan ini (Pasal 141 B.W.) sebenarnya berkelebihan,
oleh karena larangan tersebut sudah diatur secara umum dalam Pasal 1063 dan
Pasal 1334 ayat 2 B.W.;
4. Tidak dibuat janji-janji,
bahwa salah satu pihak akan memikul hutang lebih besar daripada bagiannya dalam
aktiva;
5. tidak dibuat janji dengan
kata-kata umum, bahwa harta perkawinan mereka akan diatur oleh undangundang
negara asing dan peraturan yang pernah berlaku di Indonesia atau di Nederland.
Dilarang pula, bila j anj i i ,=u dibuat dengan kata-kata umum, bahwa kedudukan
mereka akan diatur oleh hukum adat dan sebagainya (Pasal 143 B.W.).
Pada
umumnya perkawinan-perkawinan dilangsungkan tanpa dibarengi dengan perjanjian
kawin. Dengan demikian menurut B.W. terjadilah kebersamaan harta kekayaan
secara bulat. Suami dan isteri adalah bebas untuk membatasi kebersamaan harta
menurut kehendak mereka, asal tidak melanggar larangan-larangan yang ditetapkan
oleh undang-undang.
B.W.
hanya mengenal 2 macam kebersamaan harta kekayaan yang terbatas, yaitu: “kebersamaan
untung dan rugi" dan "kebersamaan hasil dan pendapatan”.[108]
Bagi
calon suami-isteri yang ingin mengadakan kebersamaan untung dan rugi haruslah
menentukan keinginannya itu dalam perjanjian kawin secara tegas:
a.
bahwa mereka menghendaki kebersamaan untung
dan rugi (Pasal 155 B.W.) atau
b.
bahwa mereka meniadakan kebersamaan harta
kekayaan. (Pasal 144 B.W.)
Jadi
ada 2 cara untuk mengadakan kebersamaan untung dan rugi. Cara yang pertama,
yaitu menurut ketentuan pasal 155 B.W, yaitu bilamana perkawinan bubar, maka
segala keuntungan yang diperoleh selama perkawinan dibagi dua, demikian juga
kerugian yang diderita. Sedangkan cara yang kedua ditentukan dalam perjanjian
kawin, bahwa kebersamaan harta kekayaan ditiadakan berarti, bahwa tiap-tiap kebersamaan
telah ditiadakan, akan tetapi bahwa suamiisteri itu telah kawin dengan
kebersamaan untung dan rugi. Jadi untuk mengadakan kebersamaan untung dan rugi
menurut cara kedua, dalam perjanjian kawinnya harus ditentukan, bahwa
kebersamaan harta kekayaan ditiadakan.
Untuk
meniadakan tiap-tiap kebersamaan harta kekayaan (termasuk kebersamaan untung
dan rugi, dan kebersamaan hasil dan pendapatan), maka dalam perjanjian kawin
harus ditentukan bahwa kebersamaan harta kekayaan dan kebersamaan untung dan
rugi ditiadakan. Hal ini menurut ketentuan Pasal 144 B.W.
Pada
kebersamaan untung dan rugi yang menjadi milik dan beban “bersama” adalah
keuntungan yang diperoleh sepanjang perkawinan pula. Harta kekayaan (aktiva dan
pasiva) suami dan isteri yang dibawa ke dalam perkawinan dan harta kekayaan
yang masing-masing mereka peroleh dengan cuma-cuma (sebagai hadiah, warisan,
legaat) sepanjang perkawinan, modal mereka tetap milik pribadi suami atau
isteri dan tidak masuk dalam kebersamaan.[109]
Dengan
demikian, maka terdapat 3 macam harta kekayaan :
1.
milik pribadi (modal) suami;
2.
milik pribadi (modal) isteri;
3.
untung dan rugi yang masuk dalam
kebersamaan.
Tentang
kebersamaan hasil dan pendapatan, B.W. hanya mengaturnya dengan satu pasal
saja, yaitu Pasal 164, dengan demikian terdapat 3 macam harta kekayaan, yaitu:
1.
harta kekayaan suami;
2.
harta kekayaan isteri;
3.
kebersamaan hasil dan pendapatan
Kebanyakan
sarjana hukum berpendapat bahwa kebersamaan tersebut dalam kebanyakan hal
adalah sama dengan kebersamaan untung dan rugi. Perbedaannya hanyalah bilamana
kebersamaan tersebut menunjukkan kerugian (saldo negatif), maka suamilah yang
mengurus kebersamaan itu, artinya bahwa suamilah yang memikul seluruh saldo
negatif. Sedangkan bilamana kebersamaan menunjukkan keuntungan,maka keuntungan
tersebut haruslah dibagi antara suami dan isteri.[110]
Dalam
hal hanya ada perjanjian peniadaan tiap-tiap kebersamaan harta kekayaan, maka
dalam perkawinan itu hanya ada 2 macam harta kekayaan, yaitu : harta pribadi
isteri dan harta pribadi suami, dan tidak adanya kemungkinan adanya harta
kekayaan milik bersama.
Pasal 35 UUP menyebutkan, bahwa:
1.
harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama;
2.
harta bawaan dari masing-masing suami-isteri
dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah dan warisan, adalah
di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dari
ketentuan tersebut, berarti jika tidak ada perjanjian kawin berarti terjadilah
kebersamaan harta yang terbatas. Yang dimaksud dengan "terbatas"
adalah terbatas pada harta yang diperoleh sepanjang perkawinan yang bukan.
berasal dari hadiah atau warisan.
Sebaliknya,
bilamana pihak-pihak menghendaki adanya kebersamaan harta yang menyeluruh,
mereka harus membuat perjanjian kawin. Hal tersebut dapat ditarik dari
kata-kata akhir dari ayat 2 yang berbunyi: “.....sepanjang para pihak tidak
menentukan lain". Dengan kata-kata ini tidak dapat lain yang dimaksud
adalah “perjanjian.”
Sedangkan
ketentuan Pasal 36 ayat 1 dan 2 mengatur perkawinan, bilamana tidak ada
perjanjian kawin.
Dari
ketentuan Pasal 35 dan 36 UUP, Perjanjian Perkawinan yang dibuat calon pasangan
suami-isteri dapat berisi:
1.
kebersamaan harta yang menyeluruh/ bulat
2.
peniadaan setiap kebersamaan harta
Sedangkan
untuk kebersamaan harta terbatas tidak perlu dibuat perjanjian, karena tanpa
perjanjian kawinpun sudah terjadi kebersamaan harta yang terbatas, yaitu terbatas
pada segala sesuatu yang diperoleh sepanjang perkawinan. Sehingga dengar.
demikian dapat kita samakan dengan pengertian kebersamaan dalam untung dan rugi
seperti yang diatur dalam B.W.
Di
samping hal-hal tersebut di atas, HOCI juga mengenal perjanjian perkawinan,
seperti ternyata dari pasal 48 yang antara lain berbunyi:
1.
Dalam daerah Maluku calon suami-isteri dapat
membuat perjanjian waktu hendak kawin bahwa semua anaknya atau beberapa saja
diantara anaknya, laki-laki atau perempuan atau yang akan ditunjukkan menurut
turunan lahirnya, tidak akan meneruskan turunan suami, melainkan akan
meneruskan turunan dari napak isteri.
2.
Hukum yang timbul karena perjanjian itu,
ditentukan oleh Hukum Adat.
3.
Perjanjian semacam itu harus disebutkar.
dalam akta kawin, dan akan dicatat dalam akta lahir mengenai anak dari
perkawinan yang demikian itu; perjanjian itu hanya dibuktikan dengan akta kawin
itu saja.
Materi
ketentuan tersebut di atas, belum diatur baik Jalam UUP maupun Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, sehingga oleh sebab itu berdasarkan pasal 66 UUP
jo Pasal 47 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 ketentuan Pasal 49 HOCI masih
tetap berlaku.
Dengan
demikian menurut pendapat penulis pengertian Perjanjian perkawinan yang diatur.
dalam Pasal 29 UUP tentang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 jo pasal 12 huruf
"h" Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 adalah perumusan yang luas,
ia tidak hanya mengatur harta benda akibat perkawinan saja, akan tetapi dapat
juga berisi syarat-syarat/ janji-janji lain yang harus dipenuhi oleh salah
satu pihak kepada pihak lain, sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan
dengan batas-batas hukum, agama dan kesusilaan baik.
D. Isi dan Bentuk Perjanjian Perkawinan dalam
Praktek di Indonesia
Berdasarkan
hasil wawancara yang penulis lakukan baik pada KUA Kecamatan Pondok Barnbu,
Pengadilan Agama Jakarta Timur, Pengadilan F.cama Jakarta Selatan, Pengadilan
Agama Jakarta Barat, Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, menyatakan bahwa perjanjian perkawinan itu masih sangat jarang
dilakukan oleh calon pasangan suami-isteri, terutama oleh calon pasanaan
suami-isteri yang beragama Islam.
Hal
tersebut disebabkan hukum yang mengatur harta kekayaan suami-isteri telah
jelas, yaitu dala;n Bab VII Undang-undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan
bahwa:
1.
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama.
2.
Harta bawaan dari masing-masing suami dan
isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.
Walaupun
didalam hukum Islam terdapat perbedaan pendapat mengenai kedudukan harta
bersama tetapi dalam prakteknya harta bersama diakui dan apabila terjadi
perselisihan harta bersama tersebut dibagi dua.
Selain
itu masih jarangnya dibuat perjanjian perkawinan antara calon suami-isteri
tersebut juga disebabkan bahwa adanya suatu prasangka apabila calon pasangan
suami-isteri melakukan suatu perjanjian perkawinan sebelum atau pada saat
perkawinan mereka dilangsungkan, calon pasangan suami-isteri tersebut telah
memperkirakan perkawinan mereka tidak akan langgeng dan menimbulkan rasa saling
tidak percaya satu dengan yang lainnya, padahal seharusnya rasa percaya
tersebut merupakan landasan dan dasar yang kuat untuk membentuk suatu mahliqai
perkawinan yang langgeng.
Dalam
Q. S. An-Nisaa: 21 disebutkan bahwa perkawinan merupakan perjanjiar. yang suci,
kuat dan kokoh yang menyebabkan segala sesuatu yang diperoleh selama perkawinan
adalah milik bersama, kecuali harta yang ditujukan untuk diberikan kepada
masing-masing pihak suami-isteri, sehingga tidak diperlukan lagi suatu
perjanjian syirkah.
Seharusnya
perjanjian perkawinan yang dilakukan oleh calon pasangan suami-isteri tidaklah
menimbulkan prasangka yang demikian, karena suatu perjanjian perkawinan
hanyalah merupakan suatu sarana untuk m(Impermudah dan memperjelas mengenai
pengaturan harta kekayaan mereka ataupun hal lain seiauh hal tersebut tidak
bertentangan dengan UU yang mengaturnya. Dari hal-hal tersebut di atas terlihat
masyarakat masih belum paham benar mengenai perjanjian perkawinan.
Rita
Serena Kalibonso SH, pengacara dari LBH Jakarta, menyebutkan:[111]
"Beberapa
pengalaman membuktikan bahwa banyak perkawinan yang kemudian putus, menyisakan
persoalan pembagian harta antara suami-isteri. Kenyataannya persoalan ini tidak
mudah untuk diselesaikan karena setelah hubungan memburuk, untuk diselesaikan
karena setelah hubungan memburuk, untuk pembagian harta menjadi cukup ruwet.”
Dalam
UUP yang di dalamnya terdapat ihwal perjanjian ini sangat dimungkinkan dipakai
dan dilaksanakan sejauh suami-isteri menghendaki. Perjanjian Perkawinan itu
sendiri sangat penting, karena ada beberapa yang patut diketahui secara jelas
bagi pasangan suami-isteri untuk melindungi hak-hak dan kewajiban dari pada akibat
hukum adanya perkawinan.
Pada
prakteknya apabila calon pasangan suami-isteri melakukan suatu perjanjian
perkawinan, maka calon pasangan suami-isteri tersebut bermaksud untuk mengatur
mengenai harta kekayaan mereka di dalam suatu akta, bukan mengenai hal-hal yang
lain selain mengenai harta kekayaan mereka. Perjanjian Perkawinan yang banyak
dibuat adalah peniadaan kebersamaan harta kekayaan yang disebutkan secara tegas
di dalam akta perjanjian perkawinan.
BAB IV
ANALISA PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM PRAKTEK
DITINJAU MENURUT HUKUM ISLAM
A.
Akta
Perjanjian Perkawinan dalam Praktek
Penulis
bermaksud untuk membanas ccntoh Akta Perjanjian Perkawinan dalam perspektif
hukum Islam, yang diperoleh penulis pada Kantor Notaris di Jakarta Pusat, untuk
mendukung pernyataan penulis.
Dalam
Perjanjian Perkawinan dalam hal ini
disebut Perjanjian Kawinan disebutkan bahwa :
1.
Para penghadap menerangkan, bahwa mereka
telah sepakat untuk mengatur harta bendaayaan, sebagai akibat hukum dari
perkawinan yang akan dilangsungkan.
2.
Antara suami-isteri tidak akan terjadi campur/
persatuan harta sehingga campur harta baik campur harta lengkap maupun campur untung rugi dan campur hasil pendapatan dengan
tegas ditiadakan.
3.
Oleh karena itu, maka suami dan isteri tetap memiliki harta yang dibawanya ke
dalan perkawinan mereka dan yang diperoleh masing-masing selam:a perkawinan
itu, demikian pula semua harta yang diperoleh masing-masing karena penggantian
dari penanaman atau penukaran.
4.
Semua hutang yang dibawa oleh suami atau
isteri kedalam perkawinan yang dibuat
oleh mereka selama perkawinan atau diperoleh mereka secara cuma-cuma, tetap
akan menjadi tanggungan (dipikul oleh) suami
atau isteri yang masing-masing telah membawa,
membuat atau menerima hutang-hutang itu.
5.
Isteri akan mengurus semua harta pribadinya,
baik yang bergerak maupun tidak bergerak dan dengan bebas memungut (menikmati)
hasil dari pendapatat, baik dari hartanya itu maupun dari pekerjaannya atau
dari sumber lainnya.
6.
Untuk mengurus hartanya itu isteri tidak
memerlukan bantuan atau kekuasaan dari suami dan dengan ini suami untuk
keperluannya memberi kuasa yang tetap dan tidak dapat dicabut lagi kepada
isteri untuk melakukan segala tindakan pengurusan harta pribadi isteri itu tanpa
diperlukan bantuan dari suami.
7.
Apabila ternyata suami telah melakukan
pengurusan atas harta pribadi isteri, mereka suami bertangqung jawab akan hal
itu.
8.
Semua biaya yang dikeluarkan untuk rumah
tanqga dan pemeliharaan serta pendidikan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka menjadi
tangqungan, harus dipikul dan dibayar oleh suami sendiri, untuk hal mana isteri
tidak dapat dituntut.
9.
Pengeluaran biasa dan sehari-hari untuk
keperluan rumah tangga yang dilakukan oleh isteri, dianggap telah dilakukan
dengan persetujuan suami.
10. Barang-barang
yang berupa pakaian, perhiasan, buku-buku, surat-surat, alat-alat dan perkakas
yang dipergunakan untuk pelajaran atau pekerjaan oleh suami atau isteri
masing-masing, baik yang sewaktu-waktu terdapat, juga bila terdapat pada waktu
putusnya perkawinan mereka merupakan milik suami atau isteri yang menggunakan
barang-barang itu atau dianggap biasa menggunakan barang-barang itu.
11. Barang-barang
tersebut tanpa diadakan penyelidikan atau perhitungan dianggap sama atau
sebagai pengganti dari barang-barang yang serupa dengan yang dibawa ke dalam
perkawinan mereka.
12. Semua
perabot rumah tangga yang sewaktu-waktu terdapat dalam rumah suami-isteri, juca
pada waktu putusnya perkawinan mereka, terkecuali barangbarang tersebut dalam
ayat pertama pasal ini milik suami, adalah milik isteri pribadi karena perabot
rumah tangga itu dianggap sama dengan atau sebagai pengganti dari perabot yang
dibawa oleh isteri kedalam perkawinan mereka itu, tanpa ada atau diperlukan penyelidikan asal usulnya
atau perhitungan.
13. Barang-barang bergerak lainnya yang tidak
termasuk ketentuan-ketentuan tersebut di atas yang selama perkawinan oleh karena
pembelian, warisan, hibah wasiat, hibahan atau dengan cara lain menjadi milik
(jatuh kepada) isteri, harus terr.yata dari suatu daftar atau catatan lain yang
ditanda tangga oleh suami dan isteri dengan tidak mengurangi hak isteri atau
(para) ahli warisnya untuk membuktikan tentanq adanya atau harganya barang-barang
itu, baik dengan surat-surat bukti lain, saksi-saksi atau karena umum telah diketahuinya.
B.
Analisa
Kasus
Berkaitan
dengan Akta Perjanjian Kawin tersebut penulis mencoba membahasnya dalam
perspektif hukum Islam yang menjadi topik penulisan ini.
Akta
Perjanjian Kawin di atas, sistematikanya adalah:
1.
Tidak ada persekutuan harta dalam bentuk
apapun juga.
2.
Harta masing-masing tetap milik masing-masing.
3.
Isteri berhak mengurus hartanya sendiri
serta bebas memungut hasilnya, tidak perlu bantuan suaminya.
4.
Hutanq masing-masing juga menjadi tanggungan
masig-masing.
5.
Biaya rumah tangga dan pendidikan anak menjadi
tangqungan suami.
6.
Perabot rumah tangga, milik pihak isteri.
7.
Pakaian, perhiasan, buku, perkakas dan
alat-alat yang berkenaan dengan pendidikan / pekerjaan masing-masing adalah milik pihak yang dianggap
menggunakan barang itu.
8.
Barang bergerak lain yang karena hibah,
warisar., atau jalar. lain selama perkawinan jatuh pada salah satu pihak, harus
dapat dibuktikan asal-usulnya.
Apabila
isi perjanjian kawin di atas diteliti dengan seksama, intinya adalah “Peniadaan
kebersamaan harta kekayaan”. Dengan demikian, apabila terjadi perceraian atau
terjadi kematian salah satu pihak dapat seqera ditentukan harta mana yang menjadi
hak isteri dan mana yang menjadi hak suami.
Dalam
hal terdapat perjanjian peniadaan tiap-tiap kebersamaan harta kekayaan, maka
dalam perkawinan itu hanya ada 2 macam harta kekayaan, yaitu: harta pribadi
isteri dan harta pribadi suami, dan tidak adanya kemungkinan adanya harta
kekayaan milik bersama.
Hal
tersebut adalah tidak bertentangan dengan hukum islam, karena hal ini berarti
mereka tidak mengadakan syirkah, artinya tidak terjadi percampuran harta
kekayaan antara suami-isteri.
Dengan
memperhatikan pengertian, syarat-syarat dan unsur-unsur pembentuk suatu
perjanjian menurut hukum Islam, akta perjanjian perkawinan di atas, telah
memenuhi hal-hal tersebut, artinya perjanjian kawin tersebut adalah sah menurut
hukum Islam.
Perjanjian
Kawin tersebut terbentuk dengan adanya:
1.
tharafayil
aqdi (dua pihak akad), dalam hal ini adalah calon pasangan
suami-isteri.
2.
mahalul
aqdi (benda yang menjadi objek akad), dalam hal ini adalah harta
kekayaan masing-masing pihak.
3.
Maudlu 'i1
aqadi (tujuan akad atau maksud
pokok mengadakan akad itu), daiam hal ini adalah untuk mengatur, mempermudah
dan memperjelas mengenai peraturan harta kekayaan suami-istri tersebut.
4.
rukun-rukun akad (ijab dan qabul), adalah ucapan
/ tindakan yang menunjukkan kepada kehendak kedua belah pihak, hal ini
berhubungan dengan Iradah bathinah
(haqiqiyah) dan Iradah dhahirah (kehendak
lahir) yang dimiliki kedua belah pihak yang bersedia membuat Akta Perjanjian
Kawin tersebut.
Masing-masing
pihak ini juga telah memenuhi syarat yang ditentukan syara’ yang wajib dipenuhi
dalam melakukan suatu akad/ perjanjian supaya akad/ perjanjian itu menjadi
sempurna, yaitu:
1)
Ahliyatul
'aqidainii kedua belah pihak
cakap berbuat ).
2)
Qabliyatul
mahallil aqdi li hukmihi (yang dijadikan obyek akad, dapat menerima
hukumnya).
3)
wilyatus
syari'iyah fi maudlu 'i1 Aqdi (akad itu diijinkan oleh syara',
dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya).
4)
Alla yakunal ‘aqdu au
mauduv'uhu mamnu'an binashshin syar’iyin (akad tersebut tidak
dilarang syara).
5)
Kaunul 'aqdi
mufidan (akad itu memberi faedah).
6)
Baqaul ijbabi shalihan ila mauqu 'i1 qabul. (Ijab
itu berjalan terus, tidak dicabut, sebelum terjadi qabul). Ittihadu majlisil 'aqdi (bertemu di majlis akad). Karenanya, ijab
menjadi batal apabila sampai kepada berpisah yang seorang dengan yang lain,
belum ada qabul. Syarat yang ketujuh ini disyaratkan oleh mazhab Asy Syafi’ y, tidak
terdapat dalam mazhab- mazhab yang
lain.
Perjanjian
Kawin yang dibuat oleh pasangan suamiisteri tersebut memenuhi semua
unsur-unsur, syarat-syarat yang harus ada dalam suatu perjanjian menurut hukum
perikatan Islam. Namun, Perjanjian Perkawinan masih dipandang tabu oleh
sebagian masyarakat Indonesia terutama yang beragama Islam, karena mereka
menganggap bahwa Perjanjian Perkawinan tidak sesuai dan bersumber dengan jiwa
ajaran Islam mengenai tujuan dari konsep perkawinan yang memandang perkawinan
adalah suatu ikatan yang suci (mitsaaqan
ghaliizhan), hal yang sakral, mengandung nilai ibadah, sunnatullah serta
keabadian separ.jang hidup, sehingga apabila calon pasangan suami-isteri
membuat Perjanjian Perkawinan berarti mereka telah memprediksi bahwa perkawinan
tersebut tidak akan berlangsung lama dalam hal ini akan menimbulkan rasa saling
tidak percaya yang merupakan hal yang penting dalam suatu perkawinan.
Seperti
telah diterangkan pada bab sebelumnya, bahwa Perjanjian Perkawinan dibuat untuk
mengatur akibat hukum yang timbul dari perkawinan dan pada umumnya calon
pasangan suami-isteri membuat perjanjian Perkawinan untuk mengatur, memperjelas
dan mempermudah kedudukan harta dalam perkawinan. Perjanjian Perkawinan adalah
suatu langkah preventif untuk mencegah terjadinya perselisihan mengenai harta
dalam perkawinan. Hai ini tidaklah dapat dihubungkan dengan tujuan dan konsep
perkawinan dalam Islam.
Adanya
sebagian masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Islam yang memandang bahwa
Perjanjian Perkawinan adalah hal yang tabu untuk dilaksanakan, disebabkan oleh
karena kurangnya pengetahuar. mereka tentang arti pentingnya Perjanjian
Perkawinan.
Perlu
kiranya diketengahkan disini bahwa dengan adanya Undang-undang Nomor 1/ 1974
tentang Perkawinan-seianjutnya disebut UUP-- yang berlaku untuk seluruh warga
Negara Republik Indonesia tanpa membedakan agama dan keturunan, maka segala ketentuan
mengenai Perjanjian Perkawinan harus mengikuti aturan-aturan yang terdapat di
dalamnya.
Pada
praktek yang terjadi di Indonesia, para pihak yaitu calon pasangan suami-isteri
yang akan membuat Perjanjian Perkawinan datang ke Notaris untuk mengatur akibat
hukum dari suatu perkawinan, mengenai harta kekayaan masing-masing, dan
biasanya mereka meniadakan kebersamaan harta baik kebersamaan untung rugi
maupun hasil pendapatan dan untuk pengesahan perjanjian kawin yang diberi
wewenang oleh undang-undang ialah pegawai pencatat perkawinan, yaitu pegawai
pencatat nikah, talak dan rujuk bagi mereka yang beragama Islam dan pegawai
pencatat perkawinan yang lain
(catatan sipil) baqi mereka yang bukan Islam. Pengesahan hanya diberikan, bila
tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan (pasal 29 ayat 2 UU
No.1/ 1974).
Dengan
mellihat isi dari UUP pasal 35, 36 dan 37, ketentuan mengenai harta kekayaan
yang di atur dalam UUP sudah sangat jelas dan sejalan dengan ketentuan hukum
Islam. Di sini hanya ditekankan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan
baik karer,a usaha suami/ isteri atau suami-isteri bersama-sama otomatis
menjadi harta bersama, tetapi apabila terjadi perceraian maka pembagian harta
bersama tetap mengikuti ketentuan hukumnya masing-masing, Jadi bagi orang Islam
tetap mengikuti ketentuan hukum islam.
Pada
hakikatnya Perjanjian Perkawinan kurang berlaku efektif di Indonesia. Meskipun
dalam Pasal 29 UUP disebutkan bahwa Perjanjian Perkawinan dibuat sebelum atau pada
saat perkawinan dilangsungkan, tetapi ada prakteknya banyak pasangan suami-isteri
yang membuat Perjanjian Perkawinan setelah perkawinan berlangsung.
Berdasarkan
wawancara yang penulis lakukan dengan Martin, S.H., pada Kantcr Notaris Yuris,
Martin & Partners, terjadi perbuatan melanggar hukum dalam hal Perjanjian Perkawinan
ini dengan diberlakukannya Undang-undang tentang Perseroan Terbatas, UU No. 4
Tahun 1996, yang meletakkan tanggung jawab direktur PT sampai ke harta pribadi,
banyak pasangan yang salah satunya direktur dari sebuah perusahaan terbatas
(PT), yang telah melangsungkan perkawinan, membuat Perjanjian Perkawinan.
Tujuannya tentunya untuk membatasi jumlah harta kekayaan suami/ isteri yang
direktur PT, agar kalau terjadi sesuatu dan dia harus bertanggunajawab sampai
harta pribadi, maka harta sudah tidak ada lagi.
Para
pihak yang berniat mengingkari tanggungjawab direktur sampai harta pribadi
seperti yang ditetapkan dalam UU PT yana baru, berupaya dengan segala cara agar
hal itu dapat terlaksana dengan cara mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri
agar Pengadilan Negeri membuat penetapan yang berisi izin bagi para pihak untuk
membuat perjanjian kawin setelah perkawinan dilangsungkan. Para pihak dengan
berbekal penetapan pengadilan itu
pergi ke Notaris dan membuat perjanjian kawin yang mengabulkan permohonan
penetapan izin membuat perjanjian kawin berdalih bahwa kalau Undang-undang
tidak mengatur, maka hakim demi keadilan dapat mengisi kekosongan hukum.
Hakim
yang mengabulkan permohonan penetapan izin membuat perjanjian kawin tidak
melindungi kepentingan pihak ketiga yaitu orang yang mempunyai piutang kepada
suami/ isteri tersebut.
Perjanjian
Perkawinan yang dibuat setelah berlangsungnya perkawinan adalah perbuatan
melanggar hukum dan batal demi hukum, hal ini telah jelas diatur dalam UUP di
Indonesia.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah
melakukan penelitian yang mendalam dan membuat suatu penulisan mengenai “Perjanjian Perkawinan dalam Perspektif
Hukum Islam” dengan penuh kehati-hatian untuk memenuhi standar objektif
keilmuan, penulis mencoba membuat suatu kesimpulan berkaitan dengan permasalahan
yang timbul mengenai hal tersebut.
1.
Kedudukan
harta suami-isteri dalam perkawinan :
Pada
dasarnya menurut hukum Islam harta suami-isteri itu terpisah, baik harta
bawaannya masing-masing atau harta yang diperoleh salah seorang suami-isteri
atas usahanya sendiri-sendiri maupun harta yang diperoleh salah seorang mereka
karena hadiah atau hibah atau warisan seseorang, mereka terikat dalam hubungan
perkawinan. Dilihat dari asalnya harta kekayaan dalam perkawian itu dapat
digolongkan menjadi tiga golongan :
a.
Harta masing-masing suami-isteri yang telah dimilikinya
sebelum kawin baik diperolehnya karena mendapat warisan atau usaha-usallia
lainnya, disebut sebagai harta bawaan.
b.
Harta masing-masing suami-isteri yang
diperolehnya selama berada dalam hubungan perkawinan, tetapi diperoleh bukan
karena usaha mereka bersama-sama maupun sendiri-sendiri, tetapi diperolehnya
karena hibah, warisan ataupun wasiat untuk masing-masing.
c.
Harta yang diperoleh setelah mereka berada
dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau salah satu pihak dari
mereka disebut harta pencaharian atau harta bersama.
Mengenai
harta bersama tersebut sampai saat ini belum terdapat kesatuan pendapat tentang
harta bersama antara suami-isteri, apakah ada atau tidak. Al-Qur’an maupun Hadist Nabi
tidak menjelaskan dengan tegas bahwa harta yang diperoleh selama dalam hubungan
perkawinan menjadi milik suami sepenuhnya, dan juga tidak menjelaskan dengan
tegas bahwa harta yang diperoleh selama dalam hubungan perkawinan itu menjadi
milik bersama.
2.
Penerapan
perjanjian syirkah pada persoalan harta suami isteri :
Perjanjian
syirkah dapat diterapkan pada kedudukan harta pribadi dari suami-isteri, yang
siapat terjadi dengan cara :
a.
Mengadakan perjanjian syirkah secara
nyata-nyata tertulis atau diucapkan sebelum atau sesudah dilangsungkannya akad
nikah dalam suatu perkawinan.
b.
Syirkah dapat pula ditetapkan dengan undang-undang/
peraturan perundangan.
c.
Syirkah antara suami-isteri itu dapat pula
terjadi dengan kenyataan dalam kehidupan pasangan suamiisteri itu.
Penulis
sependapat dengan kesimpulan yang diambil oleh beberapa Sarjana Islam dewasa
ini di Indonesia, terutama Sajuti Thalib, S.H. dan Prof. DR. Hazairin, S.H.
(almarhum) bahwa menurut Hukum Islam harta yang diperoleh suami dan isteri
karena usahanya, adalah harta bersama (tidak perlu diiringi dengan syirkah).
Dengan memperhatikan definisi macam-macam syirkah, dapatlah disimpulkan bahwa
pencaharian bersama suami-isteri termasuk golongan Syirkah Abdar/ Mufawadlah.
3.
Pengaturan
Perjanjian Perkawinan dalam Hukum Islam:
Hukum
Islam tidak mengenal istilah Perjanjian Perkawinan, hanya saja dengan
memperhatikan syaratsyarat dan cara terjadinya suatu perjanjian dalam
perikatan Islam, perjanjian dapat diterapkan dalam suatu perkawinan dengan
memenuhi semua ketentuan dalam hukum Islam. Di Indonesia Perjanjian Perkawinan
yang berlaku uncuk umat Islam, diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 52
KHI.
4.
Bentuk dan Isi Perjanjian Perkawinan dalam
praktek:
Perjanjian
Perkawinan di Indonesia diatur dalam Pasal 29 Undang-undang Perkawinan (UU No.
1 Tahun 1974)-selanjutnya disebut UUP-- jo Pasal 12 huruf "h"
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Pasal 45 sampai dengan 52 KHI. Pada
praktek yang terjadi di Indonesia calon pasangan suami-isteri yang akan membuat
Perjanjian Perkawinan datang ke Notaris untuk menoatur akibat hu}:um dari
perkawinan mengenai harta kekayaan mereka.
Untuk
pengesahannya, yang diberi wewenang oleh undanqundang ialah pegawai pencatat
perkawinan, yaitu pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk bagi mereka yang beragama
Islam dan pegawai pencatat perkawinan yang lain (catatan sipil) bagi mereka
yang bukan Islam.
B.
Saran
Berdasarkan
permasalahan yang timbul berkaitan denqan Perjanjian Perkawinan dalam Perspektif
Hukum Islam, penulis mencoba memberikan saran untuk sekedar memberi masukan
mengenai penanggulangan permasalahan tersebut.
1.
Mengenai harta bersama pada waktu terjadi
perceraian antara suami-isteri, pasal 37 tidak memberi patokan penyelesaian
yang pasti, karena disebutkan bahwa kembali kepada hukum masing-masing (hukum agama,
hukum adat dan hukum lainnya). Untuk menghindari perselsihan yang sering
terjadi menqenai harta bersama ini, perlu kiranya diadakan suatu Peraturan
Pelaksana sehingga terdapat kepastian hukum mengenai harta bersama ini.
2.
Syirkah atau perkongsian dalam Islam banyak
macamnya, sehingga terjadilah perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya sesuatu
macam perkongsian. Harta bersama suami-isteri yang digolongkan sebagai Syirkah Abdaan Mufawadlah masih terdapat
perbedaan pendapat mengenai diperbolehkan atau tidak. Oleh karena itu, para ahli
hukum Islam harus melakukan tinjauan mengenai pendapatpendapat yang tumbuh
dalam berbagai mahzab dengan terlebih dahulu rnemperhatikan kaidah-kaidah umum yang
merupakan realisasi dari iirman Allah SWT.
3.
Hukum Islam tidak mengenal istilah
Perjanjian Perkawinan. Al-Qur’an maupun hadits Nabi tidak menjelaskan dengan
tegas mengenai Perjanjian Perkawinan, sehinqga masalah ini merupakan masalah
yanc perlu ditentukan dengan cara ijtihad yaitu dengan penggunaan akal pikiran
manusia dengan sendirinya hasil pemikiran itu harus sesuai dan bersumber dengan
jiwa ajaran Islam.
4.
Dalam praktek di Indonesia, calon pasangan
suami-isteri yang akan membuat Perjanjian Perkawinan datang ke Notaris dan pengesahannya
diberikan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan bila tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan (pasai
29 ayat 2 UU No. 1/1974). Istilah "batas-batas" dalam undang-undang tersebut
kiranya tidak tepat. Seharusnya digunakan istilah "r.orma-norma",
jadi norma-norma hukum, agama dan kesusilaan, sebab norma mengandung perintah
dan larangan, sedankan istilah batas-batas tidak mempunyai arti yang demikian.
Disamping itu, mengenai pegawai pencatat perkawinan haruslah disyaratkan
menguasai hukum sehingga mengetahui bahwa Perjanjian Perkawinan tersebut adalah
sah. Upaya-upaya lain yang harus dilakukan untuk mencapai kepastian dan
harmonisasi hukum adalah mengadakan pengaturan kercbali mengenai Perjanjian
Perkawinan dengan kerjasama dan koordinasi antara eksekutif, legislatif,
judikatif, praktisi hukum dan kalangan lainnya yang berhubungan dengan
perjanjian perkawinan.
[1] H. Zahry Hamid, Pokok-pokok
Hukum Perkawinan Islam dan Undan-undang Perkawinan di Indonesia, cet.l,
(Jogyakarta: Binacipta, 1978), hal 1.
[2] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi
Umat Islam, cet. 5, (Jakarta: UI Press, 1986), hal 93.
[4] Zaitun Abdullah. "Praktik Perkawinan Mut'ah di Indonesia
(Studi Kasus Perkawinan Mut'ah di Jawa Barat)." Program Pascasarjana
Bidang Studi Ilmu Hukum;. Univer$itas Indonesia, Jakarta; 1999.
[13] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah,
cet. 3 (Semarang. PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hal. 127.
[16] Fachruddin Fuad Mohd, Kawin Mut'ah dalam Pandangan Islam cet.
1., (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hal. 6.
[17] Ibid., hal.13
[20] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluaruaan Indonesia Berlaku Bagi
Umat Islam, cet. 5., (Jakarta: UI Press, 1986), ha147.
[21] Indonesia, Undang-undangan
Tentang Perkawinan , UU Nomor. 1 Tahun 1974, LN. No. 1 Tahun 1974, ps. 1.
[22] Al-Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama
Republik Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsiran Al-Qur'an.,
hal. 11
[25] M. Idris Ramulyo, Tinjauan beberaaa asai
UndanQ-undang No.l/ 1974 dari segi Hukum Perkawinan Islam, cet. 1.,
(Jakarta: II-iC, 1985), hal. 26.
[38] Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiaih Munakahat, cet.
1, (Bandung: C.V. Pustaka Setia, 1999), hai. 15.
[48] Ibid
[54] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh
Muamalah, cet. 3, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hal.
154.
[70] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Penagantar Fiah Mu'amalah, cet. 3,
(Semarang : PT Pustaka Rizki Putra), hal. 26.
[72] Ibid
[73] Ibid., Hal.28.
[74] Ibid., 35
[75] Ibid., hal. 40
[76] Ibid., 42
[77] Ibid.
[78] Ibid., hal 43
[79] Ibid., hal 33
[80] Ibid., hal. 34
[81] H. Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri di Indonesia,
cet. 2, (Jakarta: Bulan Bintang,: 978), hal. 55.
[84] Ibid., hal. 56
[85] Ibid., hal. 56
[86] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi
Umat Islam, cet. 5, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 82.
[88] Thalib, Op. cit., hal.80
[95] Ibid.
[96] Ibid., hal. 101
[100] R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan
di Indflrpa, (Surabaya: Airlangga Univ. Press, 1986), hal 57.
[101]A1- Qur'an dan Terjemahannya,
(Jakarta: Departeman Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Penafsir
AI-Qur'an), hal 156:
[106] R. Soetojo
Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan di Indonesia,
(Surabaya: Airlangga Univ. Press, 1986), hal. 61.
[109] Ibid., hal.67.
[110] Ibid., hal. 68.
[111] Rita Kalibonso, “Tak Ada Salahnya Membuat Perjanjian Sebelum
Menikah” , Kompas (17 Maret 1996).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar